I Would 5.

120 14 0
                                    

Tiga bulan di awal adalah bahagianya. Tiada hari tanpa saling merindu, menelpon sampai merasa ngantuk, saling mengirim pesan tak ada akhir.

Hingga beberapa bulan belakangan ini, saya merasa ada perubahan dari Park Sungjin yang saya kenal di awal. Ini adalah hari kami, sudah sepuluh bulan kami bersama. Bahkan biasanya Sungjin mengucapkannya. Entah kenapa, dari bulan lalu, sejak dia memulai semua pertemanan baru dengan bandnya, dia berubah.

Tak lagi ada ucapan selamat pagi. Bahkan sampai dia berbicara "Lebay ya kita kemarin, kayak pasangan yang gak mau pisah sampai setiap hari kasih kabar. "

Itu bagaikan ledakan bom bagi saya, dia membuat sebuah hubungan yang kami jalani dengan baik berubah menjadi sebuah rasa yang rasanya memuakkan dalam hati saya. Jika bisa, saya ingin menyerah. Apa yang saya selama ini pertahankan? Saya bertahan karena saya percaya, rasa sayang Sungjin masih sama. Hanya saja, dia bukan orang yang sama, yang akan membuat hubungan kami membosankan.

Sungjin membuat sebuah pertemuan, saya baru saja tiba dari Surabaya. Dan pria itu menyambut saya dengan senyumannya di Bandara, walau saya tahu bahwa itu adalah senyuman palsunya yang membuat perasaan saya seketika berubah gelisah.

Selama perjalanan, kami jarang bicara. Ucapan Sungjin terhenti setelah dia menanyakan kabar saya selama perjalanan kesini. Saya melihat siratan berbeda dari wajah Sungjin.

"Berhenti di sini Sung, "

"Kenapa?"

"Aku cuma mau jalan aja dari halte kerumah. "

Sungjin melepas sealtbelt nya dan keluar dari mobil. Membukakan pintu itu untuk saya. Seriuskah pria ini tega untuk melakukan hal ini?

Dia menunggu saya keluar dari sana, saya tahu maksud dari tatapannya. Tapi saat di mana saya ingin mengambil koper dari bagasinya, dia malah menutup kencang bagasi mobilnya dan menghasilkan suara yang lumayan keras. Jujur saya benar-benar kaget. Hanya saja, tidak bisa menerima, saya salah apa sampai dia bersikap begini?

"ADA APA SIH?" bentak saya, dia tak tahu bagaimana rasanya menunggu penerbangan yang menjenuhkan sampai saya bisa di sini untuk bertemu dengannya.

"KAMU YANG KENAPA!"

"Masuk kemobil, kita bicara di dalam. " sambungnya, tak ingin membuat keributan seperti terakhir kali kami bertengkar di Surabaya.

Tak ada ucapan sama sekali dari kami berdua. Hanya tatapan wajah yang saling memancarkan wajah amarah. Dengan berat, akhirnya, saya mengakhiri semuanya.

"Mungkin gue yang salah, dari awal. Benarkan?"

"Chi... "

"Kayaknya lo tersiksa banget ya buat jalanin apa adanya sama gue? Atau lo gak suka karena LDR-an itu susah?"

"Apa sih, kamu selalu aja ngelantur tahu gak kalau emosi, "

"Sungjin... Kayaknya saya sama kamu lebih cocok jadi sahabat aja deh. "

"Dengan kata lain, kamu minta putus. Begitu?"

Saya diam, mengusap air mata yang terjun bebas membasahi pipi. Awalnya saya malas untuk berterus terang, tetapi semakin lama rasanya menyesakkan bagi saya. Saya tahu, mungkin dia sudah tak bisa lagi mentoleransi sikap saya.

Sungjin tak berucap, dia menyalakan mesin mobilnya. Membawa saya kerumah Bara. Di sana seluruh keluarga saya sudah menyambut kami.

"Makasih ya Sungjin, sudah antar anak Bunda sampai rumah. "

"Sama-sama Bunda, "

Hanya berpura-pura, itulah yang saya harus lakukan sampai Bunda tak lagi mengawasi kami.

*****

Hujan deras membasahi kota Surabaya yang tenang dengan masih di temani udara sejuk yang setiap hari saya nikmati akhir-akhir ini.

Sudah dua semester saya merindukan Jakarta, di mana semua kenangan bersama Sungjin terukir. Kami benar-benar berpisah dan hanya menjalani sebuah hubungan dalam waktu singkat.

Mungkin dari Sungjin saya belajar, bukan berarti saya menyukainya lebih dalam, saya harus memiliki dia dan berakhir bagaikan musuh yang tak saling mengenal.
Sangat terlambat untuk saya merasa menyesal, bahkan meminta maaf padanya. Walau hanya sekedar ingin berterimakasih padanya, saya sungkan.

Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya menyakiti pria sebaik Sungjin. Harusnya saya tak salah paham malam itu, harusnya saya meluruskan masalah kami, harusnya saya menariknya untuk tidak pergi dari rumah saya agar kami masih bersama. Tapi dengan bodoh dan egois, pada akhirnya hanya mengikuti kemarahan dan mengecewakan. 

"Lo tuh ya emang mikirin perasaan sendiri doang ya Chi?"

"Terus apa bedanya sama kamu?"

"Chi, bisa gak sih gak pakai emosi? Kita baru aja ketemu terus kamu malah ngajak berantem gini? Kamu gak rindu sama aku emang?"

"Sungjin, kita pisah aja. "

"Shilla Park!"

"Aku gak bisa lanjutin terus kalau kaya gini. "

"Aku pergi Chi, jaga diri baik-baik yah. Aku gak perlu lagi repot khawatirin kamu lagi kan sekarang?"

"Iya, "

"Kabarin ya Chi kalau balik ke Jakarta. "

Meski mulut Sungjin diam hari itu, saya terus saja bersikukuh menyudutkan bahwa dia di pihak yang salah.


END.

HI HELLO X DAY6 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang