Jilid Satu

9 0 0
                                    

Intro

Selamanya memang kehidupan merumitkan isi kepala dan kata hati. Ups and downs. Sebutkan saja masalah-masalah yang biasanya kau alami di waktu-waktu hebatmu selama dirimu menikmati bangku SMA sampai di titik mulainya kedewasaan yang matang di proses perkuliahan atau perguruan tinggi. Tough isn't it? Mana ada pula kopi yang tidak pahit, eksistensi kopi ada karena kenikmatan di balik kepahitan itu. Kalau ada kopi yang decaff, berarti itu pula merupakan modifikasi yang mungkin hanya ingin menjajal icip-icip kopi, dan cenderung menyingkirkan kaidah ngopi itu sendiri.

Sebagai akademisi, itu sudah termaktub dalam kaidah ilmu pengetahuan. Sebagai pengembara hidup, semua bakal saling berkaitan dan luas jua pikiran. Mengapa kita hidup dalam keramaian? Karena hidup kita menyesatkan ketika tidak tahu arah di mana keramaian, yang membuat kita survive dalam kehampaan. Sebagai makhluk sosial, termaktublah takdir oleh Tuhan. Bagi yang tidak percaya keIllahian, mungkin puas dengan hidup seperti angin sepoi atau aliran air dari hulu ke hilir.

#


Telusur

Halim Perdanakusuma, jam delapan malam. Boarding pass-ku sudah berbentuk tak karuan, setelah aku taruh di saku selama beberapa jam penerbangan dari Juanda. Halim, aku menuju Hongkong untuk singgah sahaja sebelum menuju Heathrow, London. Kota di salah satu bucketlistku. Perjalanan yang sangat panjang, pastinya. Di ambang tahun baru, meninggalkan sanak saudara memang menyenangkan dan membebaskan. Apalagi dengan alasan pekerjaan. Ruang tunggu memang menjadikan warna-warni. Ada ibu dan anak yang belum saja tiga tahun usia sedang kerepotan momong agar tenang dia, bisa dilihat ibu itu membawa satu ransel besar untuk keperluan diri dan anaknya yang baru lahir itu. Bapaknya, terberkatilah dia, mungkin sedang kerja untuk menyelamatkan ekonomi. Dari cara berpakaian ibu itu, tampak sudah orang kaya.

Ada remaja yang sepertinya masih SMA, baca buku novel yang cukup tebal. Raut wajah yang serius, tiba-tiba tertawa geli sendirian tanpa arahan. Ternyata judulnya Happiness Project. Sampul buku yang dia baca cukup cerah, mencerminkan isi bukunya mungkin. Pakaian nya nuansa biru-biru cerah, menenangkan hati. Gadis remaja itu, berpakaian rapih sopan ala anak muda, sepatu converse putih dengan garis biru-merah, rambut yang agak pendek disisir rapih, perawakan polos wajahnya mengingatkanku kepada Molly Ringwald waktu main film di The Breakfast Club, atau Sixteen Candles. Mengingatkanku pada masa-masa indah SMA.

Di sela-sela panggilan dari interkom, bapak-bapak yang duduk di pojok dekat booth Starbucks kecil itu tampak seperti pebisnis yang sedang kerepotan dengan kerja, raut wajahnya sedih, berkacamata tidak bisa menyembunyikan raut wajah sibuknya. Perawakan yang khas bapak-bapak, putih botak dan besar badan nya. Arloji yang bukan beli di pasar loak itu menyilaukan berkat lampu-lampu neon di atas yang dengan ikhlas menyinari segala kegelapan diri dan kemuraman wajah. Bapak itu cuma bawa tas laptop. Mungkin bagasinya penuh.

Kakek yang baru saja duduk di sampingku setelah berjalan cukup dari tangga, mencuri-curi pandang ke smartphone yang kupegang dari tadi, kala ku sembari nikmati alunan lagu The 1975 lewat earpiece.

Aku pandangi gadis itu lagi yang kebiru-biruan. Aku tidak ada cukup keberanian untuk mengajaknya bicara, walaupun ya kata hati berkata lain dan ingin mendekati. Tetapi buru-buru aku singkirkan niat itu. Tapi sudahlah, Hongkong masih jauh, Heathrow apalagi. Sepanjang perjalananku menuju diam. Hanya itu-itu saja, selain keramaian yang membingungkan dan pening riuh memabukkan. Kursi ruang tunggu itu menjadi singgasanaku, terpaksa, untuk beberapa jam ke depan. Seraya memanjatkan doa setiap kulihat arloji di pergelangan kiriku, waktu berjalan cepat. Ternyata tidak.

#


Jam sembilan. Masih lama. Aku mulai berada di titik menelusuri Instagram, buka arsip-arsip dan foto lama, mengenang keseharian di kampus yang mana mulai semester depan pun masih lama. Semester ke sembilanku, yang kusisakan dua semester untuk berkelana dalam dan luar nusantara. Sembari mendoakan semoga kawan-kawanku tenang di rumah dan kampung halaman mereka, meninggalkan Batavia yang sepi sunyi sementara ini, bagiku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HalimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang