Outro : Forever

1K 173 21
                                    

"Jeongin cepatlah!!! Pemandangannya menakjubkan" Hyunjin memanggil dari padang rumput ditepi gunung yang curam.

Banyak orang yang berhenti disana sebelumnya untuk mengagumi pemandangan lembah yang dipeluk gunung yang mungkin setua bumi itu sendiri, juga pemandangan sebuah kota kecil yang meringkuk di pangkuannya. Pemandangan itu menakjubkan, tetapi bagi Jeongin ada hal yang jauh lebih indah dibanding hijaunya hutan yang dihiasi bebatuan besar yang memenuhi lereng gunung.

Mata Jeongin tanpa malu terfokus pada malaikat cahaya yang saat ini sedang berdiri didekat pagar, menatap lembah dan hutan yang menutupinya. Rambutnya yang berwarna karamel sekarang tumbuh cukup panjang dipermainkan oleh angin. Cahaya matahari bulan Mei bermain-main diantara helaian lembut itu.

Mata cokelatnya yang hangat melebar takjub mengamati setiap hal yang terjadi disekitarnya, setiap ayunan pohon karena angin, setiap kelopak bunga yang terlepas dari tangkainya. Bibir merahnya mengecap dalam kekaguman besar. Melihat Hyunjin, Jeongin menemukan definisi kebahagiaannya.

Jeongin melangkahkan kakinya di anak tangga terakhir gunung ini, membawa langkahnya menuju Hyunjin. Ia melingkarkan lengannya di pinggang ramping Hyunjin, menarik punggung si surai karamel ke dadanya, dan meletakkan dagunya di bahu lebar itu.

"Ini indah," Hyunjin berbicara setengah berbisik meskipun hanya ada mereka berdua disana. "Apakah kau ingin membawaku ke sini .... waktu itu? ”ia bertanya, mencoba menyebutkan seminimal mungkin waktu yang paling mereka benci.

Perpisahan mereka memang masa lalu, dan luka baik yang menyerang fisik maupun hati mereka telah sembuh, tetapi luka itu meninggalkan bekas luka jahat yang tak akan pernah hilang.

"Ya. Tetapi sejujurnya aku sangat takut untuk kembali kesini" aku Jeongin dan Hyunjin seketika menggenggam jemarinya lembut. Jeongin tidak takut apapun lagi sekarang. Ia tidak punya alasan lagi untuk memendam ingatannya lagi.

***

"Kota di lembah itu - di situlah aku dibesarkan. Rumah kami berada tepat di ujung lembah. Rumah itu punya kebun besar dimana ibuku suka menanam sesuatu sesederhana wortel dan terkadang serumit gladiol yang tumbuh menjadi lebih tinggi dari aku. Ayah membuat rumah kaca sederhana dimana aku dan kakak perempuanku belajar menanam buah-buahan" Jeongin bicara, membiarkan kenangan indah membanjirinya, memberinya ketenangan sebelum ingatan badai datang.

“Aku dan saudara perempuanku belajar di sini sampai sekolah menengah pertama dan kemudian kami bersepeda ke kota terdekat untuk sekolah menengah atas. Ia hanya dua tahun lebih tua dari saya dan ia menganggap bahwa sudah menjadi tugasnya untuk menjagaku," Jeongin tertawa kecil. Semakin ia dewasa peran kakak perempuannya sebagai seorang penjaga menjadi sangat menyebalkan. Tetapi jika dipikirkan kembali kakak perempuannya hanya ingin yang terbaik bagi Jeongin, yang sebenarnya sekepala lebih tinggi dari si kakak sejak umur enam belas tahun.

"Aku pindah ke Seoul untuk berkuliah kemudian mendapatkan pekerjaan dan menetap disana, sedangkan saudara perempuanku menikah dan tinggal bersama orang tua kami. Ia, suaminya, dan putri kecil mereka. Aku cukup sering mengunjungi mereka, dan terkadang mereka yang datang mengunjungiku. Mereka berlima berdesakan dalam mobil tua ayah agar bisa mengunjungiku. Hal itu adalah rutinitas yang menyenangkan sampai empat tahun lalu..." Jeongin dia menghela nafas gemetar, ia menutup mata sejenak. Kata-kata mengancam akan tersangkut di tenggorokannya lagi, tetapi ia tidak bisa membiarkan itu terjadi lagi. Kali ini ia ingin mengeluarkan semua beban yang menghimpit hatinya.

"Hari itu diprediksi tidak turun salju, hanya suatu sore cerah di bulan Desember. Mereka mengucapkan selamat tinggal padaku, bergegas agar dapat tiba di rumah sebelum gelap, dan aku ingat melambaikan tangan dari jendela. Beberapa jam kemudian salju mulai turun. Lebat, gila, dan tidak terduga. Aku bahkan tidak bisa melihat tanganku jika aku mengeluarkannya melalui jendela. Tak lama aku menerima telepon ... " Jeongin berhenti lagi, ia mengistirahatkan keningnya dibahu Hyunjin, menunggu hingga ia dapat menenangkan diri.

"Jalanan licin dan jarak pandangnya buruk. Ayah tidak bisa melakukan apapun ketika sebuah truk menabrak mereka, dan membuat mobilnya bergulir keluar dari pembatas jalan. Mereka semua pergi dalam sekejap mata" Jeongin menghela nafas dan ia merasakan Hyunjin berbalik. Hyunjin mendekapnya erat dan Jeongin menyembunyikan wajahnya diceruk leher si rambut karamel.

"Aku menjual rumah keluarga kami dan tak pernah kembali lagi. Aku kehilangan kontak dengan semua temanku disini dan tidak pernah benar-benar mendapat teman di Seoul...itulah mengapa aku hancur saat pertama kali kita bertemu" Jeongin mengangkat kepalanya dan memandang Hyunjin.

***

"Sekarang kau satu-satunya yang kumiliki, dan pemikiran itu, perasaan ketika kau pergi juga..."

"Jangan. Tidak ..." Hyunjin menghentikan Jeongin dan menangkup pipinya dengan lembut "Kuharap aku bisa memberi tahumu bahwa mereka semua adalah malaikat, tapi sayangnya itu bukan cara kerjanya. Aku berharap aku menemukanmu lebih cepat dan menghentikan kegelapan yang menyebar di dalam dirimu, " Ia berkata, menatap lurus ke arah mata Jeongin.

"Aku tidak bisa menentang perintah Tuhan atau mengubah waktu. tapi aku bisa berjanji, tidak peduli apapun yang terjadi, aku tidak akan pernah lagi meninggalkanmu. Kau akan selalu memilikiku. Selalu ” Kata Hyunjin, suaranya dipenuhi tekad dan ia melengkapi janji itu dengan sebuah ciuman lembut.

"Aku bahkan tidak pernah memimpikan ini semua. Ini lebih dari cukup" Jawab Jeongin dan kembali menarik Hyunjin dalam ciuman manis.












FIN

heaven on earth || hyunjeong ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang