Prolog

595 26 0
                                    

Gadis dengan balutan gamis simple dengan kerudung indah itu tengah sibuk melakukan amanah di tempat serba putih itu. Dengam jas khas dokter yang membungkus gamisnya itu dia terlihat sangat cantik dan elegan. Stetoskop itu selalu setia melingkar di lehernya sejak pertama ia menjadi dokter, dokter bidadari kata para pasiennya.

Pagi itu klinik tempat ia bekerja lumayan sepi, Karin yang ingin melakukan sholat dhuha tak jadi karena tiba tiba seorang pemuda berlari tergesa gesa masuk ke kliniknya.

Dengan sigap ia membantu pria itu yang menggendong adik perempuanya agar segera berbaring di brankar kliniknya.

Wajah anak gadis itu tampak pucat sekali, suhu tubuhnya juga sangat tinggi.

"Dok, adik saya demam dari tadi malam. Katanya susah nafas juga. Tolong di periksa ya dok, saya takut adik saya kenapa kenapa." katanya penuh khawatir.

"Mas nya bisa duduk di ruang tunggu dulu."

Karin menarik tirai penutup ruangan kecil khusus pemeriksaan itu. Lalu ia memulai serangkaian pemeriksaan kecil menggunakan stetoskop itu.

Lima menit lamanya, Karin sudah membuka tirai itu kembali dan terlihatlah sosok pemuda tadi dengan wajah khawatirnya.

"Mas, Hafsyah demamnya lumayan tinggi, ini akibat dari seringnya hujan hujanan dan sering minum minuman dingin tapi selalu telat makan. Hafsyah juga terlalu kecapekan kan?" jelas nya.

Gadis kecil itu hanya mengangguk kecil sambil memaksakan senyum di sudut bibirnya.

"Tadi yang pakaikan hijab nya siapa dek? Kok terbalik gini?" tanya Karin sambil tersenyum.

"Eh, terbalik ya? Maafin abang ya dek."

Karin membantu gadis bernama Hafsyah itu membenarkan kembali kerudung yang di pakai terbalik tadi. Senyum indah tetap saja tak pudar dari wajahnya. Wajah yang meneduhkan.

"Hm, ini resep obat yang harus di tebus di apotik. Di ujung jalan sana ada apotik kok mas. Biar lebih dekat tebus di situ aja, karena Hafsyah harus segera minum obatnya. Oh iya, jangan sering hujan hujanan lagi ya, atur pola makan dan istirahatnya ya dek."

"Iya mbak dokter, terima kasih ya." jawabnya.

Karin mengangguk dan memandang sekilas ke arah pemuda itu. Kontan mata Karin bertemu tepat dengan mata hitam si pemuda itu, segera mungkin Karin mengalihkan pandangannya.

"Bang, pulang yuk. Rindu tempat tidur."

Karin pun membantu Hafsyah yang ingin turun dari ranjang klinik itu. Pemuda itu tampak sangat telaten dan perhatian pada adiknya, membuatnya sangat merindukan sosok kakak laki laki yang dulu sering bersamanya.

Sampai di depan mobil pemuda itu, ia membantu adiknya untuk duduk senyaman mungkin di dalam kursi penumpang. Dan Karin,

"Oh iya mas, ini kartu nama saya. Kalau ada butuh apapun segera hubungi saya. Maksud saya kalau Hafsyah masih membutuhkan saya, saya siap."

Pemuda itu menerima kartu nama Karin yang berisikan nama lengkap serta nomor telepon yang bisa dihubungi.

"Terima kasih banyak ya dokter Karina. Saya pamit dulu. Assalamualaikum." pamitnya.

Karin menatap kepergian mobil itu dengan perasaan aneh yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Rasa ingin tahu lebih meledak begitu saja ketika melihatnya.

Di sisi lain, Pemuda bernama Azka itu masih sibuk mengurus dan menasehati adik kesayangannya itu.

"Bang, hidung Hafsyah tersumbat, gak bisa nafas, suara Hafsyah juga mirip kodok gini."

"Ya biasanya suara kamu mirip kodok juga kok."

"Ih bang Azka nyebelin! Bunda!" kata nya kesal lalu memanggil bunda.

Bunda datang dengan semangkuk sup ayam hangat dan jus jeruk. Dengan penuh kasih bunda merawat Hafsyah, sementara Azka pergi ke kamarnya untuk istirahat. Mengistirahatkan hati dan pikirannya.

"Apa aku kalah cepat darinya ya, Na?" tanyanya lirih pada diri sendiri.

Irrana Humairah, teman sekampusnya yang menjadi cinta pertamanya. Dia juga yang menjadi patah hati pertama bagi Azka.

Azka melihat kartu nama dokter yang merawat Hafsyah.

"Karina Haura? Haura artinya bidadari kan? Pantas aja, orangnya juga cantik."

Melihat nomor telepon Karin tertera di sana, Azka segera mengambil ponselnya dan menekan tombol sesuai dengan angka yang menunjukkan nomor telepon milik Karin.

Karin sangat baik, sopan dan cantik bagi Azka. Karin juga lah wanita pertama yang memanggilnya dengan embel 'mas'. Bahkan cinta pertamanya, Irrana saja tak pernah memanggilnya seperti itu.

Setelah menelpon Karin, Azka kembali teringat pada nama itu. Siapa lagi kalau bukan Irrana Humairah, gadis itu membawa pergi separuh hatinya lalu membuangnya begitu saja ke dasar jurang.

Hari ini dia akan menikah, bukan dengan Azka. Sebenarnga Azka ingin berjuang, tapi ia kalah cepat dengan pria beruntung yang berhasil mendapatkan gadis yang selalu Azka sebut dalam doanya.

Ternyata benar, nama yang mungkin saja kita ucapkan dalam doa belum tentu nama itulah yang akan menjadi jodoh kita.

Nyatanya Allah sudah menyiapkan sosok lain sebagai penyempurna iman dan akan datang tepat pada waktunya.

Memantaskan diri kini menjadi tujuan dari pedihnya sakit hati.

Bukan karena patah hati Azka memperbaiki diri, tapi karena ia tahu, ia tak mungkin mendapatkan jodoh yang baik jika dirinya belum mencapai titik itu.

Jodoh cerminan diri, bukan?

...

Assalamualaikum.
Ini squel 'Haidar' gais. Semoga suka, ya walaupun Haidar belum tamat, tapi buat kalian yang penasaran sama kisah rumah tangga dan kisah cinta Azka dan Karin kedepannya, silahkan baca ya❤

Jangan lupa vote, kalau bisa juga di comment.

Part ini cuma flashback singkat awal mereka bertemu, part selanjutnya masuk kisah rumah tangga mereka. So, pantengin terus❤

Syukran katsiran❤

Teduhnya WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang