- 08 -

911 60 0
                                    


- 08 -

Bel istirahat yang ditunggu-tunggu akhirnya datang membuat heboh saentaro sekolah. Arin masih bertahan di kursinya, sibuk menyalin catatan yang tadi ketinggalan akibat melamun saat guru menerangkan. Beruntungnya gadis itu tidak ketahuan, apalagi diusir ke luar kelas.

"Tungguin aku, Nay. Dikit lagi, kok." Arin menggerakan tangannya secepat mungkin, tak peduli jika tulisannya akan berantakan. Baginya yang terpenting masih bisa dibaca.

Kanaya menupang dagunya di meja, mengangguk-ngangguk sambil mengamati Arin yang seolah sedang dikejar waktu.

Arin bernapas lega, senyumam tipis terukir di wajahnya. "Selesai." Gadis itu langsung menutup bukunya dan menyimpannya di laci.

Kedua gadis itu segera beranjak, sudah waktunya mereka mengisi perut di jam yang memang seharusnya makan siang.

"Rin."

Arin menoleh sembari berjalan bersisian dengan Kanaya. "Kenapa?"

"Gue ke toilet bentar, yaa. Lo duluan aja ke kantin."

"Gak deh, gue tungguin lo di sini aja."

"Ya udah, tungguin yaa. Bentar kok."

Arin mengangguk dan Kanaya langsung pergi. Di koridor utama, Arin berdiri sendirian. Sepanjang lorong tak sedikit anak-anak yang duduk di kursi depan kelas mereka sambil mengobrol akrab dengan menikmati snack dan juga minuman.

Di saat sendirian, kita kadang terjerumus pada sebuah lamunan. Arin juga mengalami hal itu, dia teringat pada kertas yang ditemukannya di perpuskataan. Nama yang tertera di ujung kertas itu cukup mengundang rasa penasarannya. Tapi dia juga tak ingin mengorek sesuatu yang akan membuatnya kembali mengingat. Suara lentikan jari tepat di depan wajah Arin mengembalikan pikirannya.

"Lo mau jatoh lagi, yaa? Ngapain ngelamun di jalan kayak gini?"

Arin mengukir senyuman lebar, melihat Angga berdiri di hadapannya. Tidak tahu kenapa, ekspresi itu tanpa direncanakan.

"Kak Angga." Arin melirik kiri kanan seiring memudarnya senyum di bibirnya. "Kok ada di sini, Kak?"

"Emangnya kenapa? Ini tempat umum, kan?" tanya Angga dengan santai.

"Bener juga." Arin manggut-manggut.

"Kenapa? Lo lagi mikirin sesuatu?"

Tebakan Angga tidak asal, dia bisa melihat dari raut Arin saat ini. Refleks gadis itu mengangguk, hingga akhirnya dia sadar dan menggeleng dengan senyuman tipis.

"Enggak kok, Kak."

Angga tergelak, reaksi Arin sungguh di luar dugaannya. Baru kali ini dia bertemu gadis seperti itu. Arin menyerngitkan dahi, mengumpati dirinya dalam hati.

"Pulang sekolah lo sama gue, yaa."

"Haa?" Mulut Arin terbuka lebar, dia masih tak mengerti maksud ucapan Angga.

"Pulang sama gue nanti. Dan satu lagi, jangan terima ajakan dari siapa pun selain gue!" Angga berlalu pergi, dia rasa kalimatnya sudah cukup menjawab pertanyaan Arin. Bersamaan dengan itu, Kanaya kembali. Sekilas dia melihat dua orang itu bicara.

"Kak Angga ngapain, Rin?" tanya Kanaya sembari melirik ke arah Angga melangkah pergi.

Arin tidak menjawab, dia hanya termangu. Kanaya menggeleng dengan helaan napas pasrah, lantas menggandeng tangan temannya itu menuju kantin. Dia juga tak berminat untuk terlalu mengetahuinya. Mereka duduk di salah satu meja yang ada di tengah-tengah area kantin. Lagi-lagi Arin ditinggal sendiri, Kanaya pergi memesan makanan untuk mereka.

Kebisingan mendominasi lebih dari tempat lain. Arin tanpa sengaja melirik pada satu titik, di meja yang tidak terlalu jauh darinya, dua orang gadis duduk tenang sambil menikmati makanannya. Sejenak, menjadi pusat perhatiannya. Tak lama kemudian dia kembali memalingkan pandangan. Kali ini jatuh pada cowok yang duduk di meja nomor tiga dari barisan meja yang sebelumnya dia perhatikan.

Berbeda dari sebelumnya, kali ini dialah yang menjadi objek pengamatan oleh cowok itu. Segala pemikiran muncul di benak Arin. Dia memutuskan pandangan lebih dulu, tidak nyaman dengan tatapan intimidasi yang diterimanya.

"Nih, pesanan lo." Kanaya datang dengan membawa sebuah nampan. Dia meletakkan makanan milik Arin di depan gadis itu dan menaruh makanannya di hadapannya.

Arin tersenyum lebar. "Makasih Naya."

"Gue laper banget. Ayoo makan! Ntar lagi waktu istirahat selesai." Kanaya mengaduk-ngaduk bakso miliknya, lantas meniupnya sebelum disantap.

Tangan Arin sudah memegang sendok dan garpunya, merasa ada yang mengganjal, dia kembali melirik ke tempat cowok tadi. Meja itu kosong tidak ada siapa-siapa. Perlahan, memang pengunjung kantin berangsur sepi. Tidak ingin berpikiran aneh-aneh, Arin menyengahkan segala yang ada di kepalanya. Kemudian menikmati makanan yang sudah ada di depan mata.

💨💨💨

Arin sedang menunggu angkutan umum di halte dekat sekolahnya. Dia melupakan ajakan Angga untuk pulang bersama. Seusai bel pulang berdering nyaring, dia bergegas ke luar kelas dan menuju tempat ini. Tak lupa dia juga pamit keluar duluan pada Kanaya.

Arin duduk di kursi halte, beberapa siswa berburu naik ketika angkutan umum datang. Tapi tidak dengan gadis itu, dia seperti tidak menyadari hal-hal di sekitarnya. Tersadar dari lamunannya, Arin seolah mendapat arahan. Dia melangkah tergesa-gesa untuk kembali ke kelas. Dia meninggalkan sesuatu di laci mejanya.

"Bego! Kok bisa sih, Rin, lupa?" Arin berdecak sebal pada dirinya sendiri sembari berlari kecil.

Tiba di kelasnya, napas gadis itu terengah. Kemudian berjalan ke arah mejanya, memeriksa laci dan mengeluarkan sebuah note dari dalam sana.

"Aduh, Arin. Ceroboh banget sih," kata Arin pada dirinya sendiri. Dia tidak sadar, jika ada seseorang berdiri beberapa langkah di belakangnya.

"Kecerobohan lo bisa bikin lo dalam bahaya."

Suara datar itu kontan membuat Arin membalik badan. Tangannya memegang erat benda di tangannya, ada rasa takut dan hati-hati menyeruak. Sosok di hadapannya itu Gio. Cowok itu melangkah mendekat dengan mata tajamnya. Arin menelan ludah dengan kaki gemetar.

"Lo ... lo m-mau ngapain?" tanya Arin gagap.

"Ngambil tas," jawab Gio singkat. Dia meraih ransel di meja belakang Arin tanpa mengalihkan tatapan dari gadis itu.

Arin baru ingat, setelah melihat di kantin tadi, dia tidak melihat Gio kembali ke kelas mengikuti pelajaran. Dia sempat bertanya dalam hati ke mana Gio. Sampai detik ini, dia belum juga bisa mengingat kapan dan di mana pernah melihat cowok itu sebelumnya.

Gio tepat berada di depannya sambil menyandang ranselnya. Tatapannya kembali membuat Arin tidak nyaman.

"Gu-gue duluan!" Arin beranjak cepat dengan kaki gemetar. Dia berhasil keluar dari sana.

Gio masih mematung di samping meja Arin.  Senyuman samar terukir di wajahnya, dia tahu gadis itu mulai takut padanya.

Di luar sana, sepanjang koridor Arin berjalan tergopoh-gopoh. Napasnya memburu, tak teratur. Arin mendecak kesal karena tali sepatunya lepas, mau tak mau dia harus berhenti dulu dan mengikatnya. Gadis itu berjongkok dan menaruh buku di tangannya di lantai.

Setelah selesai, Arin mengambil kembali bukunya dan hendak bangkit untuk segera pulang. Beberapa siswa masih terlihat berkeliaran di sekolah, tapi lorong tempatnya berdiri sekarang sepi. Matanya terbuka lebar saat merasakan sebuah tangan menempel di pundaknya. Arin belum siap untuk kabur lagi, apalagi dengan posisi yang masih berjongkok pula. Pikiran buruknya kembali menghantui. Jika dipikir-pikir, pikiran negatif nyaris membuat kita terkurung dalam ketakutan kalau tidak ditangani dengan cepat.


====

Follow instagram : ogghykurniaa

Hai, terima kasih buat yang udah baca ❤❤❤
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar kamu, yaa 😊

GARINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang