Defia Rosmaniar 🥋
Sesuai instruksi Hanif, aku harus fokus pada pelatnas dan harus bisa memastikan tetap dalam timnas Taekwondo untuk kejuaraan dunia sekaligus kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020 nantinya. Seharusnya memang begitu, sebab aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang Hanif berikan padaku, dukungannya pun semangatnya. Dia telah mengikhlaskan keinginannya dan berusaha menjadi suporter terbaik dalam hidupku. Sayangnya, tidak semudah itu setelah aku berusaha mengenal sepak bola dari berbagai lini masa.
Bukan apa-apa, aku harus mengenal dunia sepakbola untuk bisa menjadi pendengar yang baik bagi suami jika saja dia ingin teman untuk berbicara bola. Toh Hanif juga mulai berusaha mencari informasi tentang Taekwondo, dia bahkan sengaja membaca buku tentang taekwondo beberapa hari yang lalu.
Hanya untuk mengenal bola, aku sampai harus merecoki waktu istirahat Haidir dan Wahyu. Bahkan Eko Yuli Irawan selalu aku paksa menjadi narasumber setiap makan malam. Melihat emosionalnya mereka setelah Timnas Indonesia benar-benar dinyatakan tidak lolos ke babak semifinal Piala AFF 2018 ini, aku yakin mereka tahu banyak hal tentang bola. Ya walaupun aku tetap selalu bertanya pada suamiku.
Seperti malam ini, aku, Mutiara yang tiba-tiba juga penasaran dengan sepak bola, Rachmania yang terpaksa ikut, mengajak Haidir, Wahyu, Eko Yuli bahkan atlet pelatnas difabel yang katanya juga akan mengikuti pelatnas untuk kualifikasi Paralympic 2020.
"Jadi sepak bola itu semacam apa, Mas Eko?" Tanyaku setelah kami bercerita tentang kegagalan Piala AFF yang masih menjadi luka.
"Lah, elo mah aneh, suami lo pemain bola, lo bisa tanya lebih jelas sama dia karena dia yang menjalani. Si Mutiara juga bisa nanyain ke Bagas, kan lagi tahap pendekatan lo!" Sambar Haidir sambil memainkan ponselnya.
"Ya dia cuma jawab, ya gitulah, dan cuma bilang, belajar apa offside sama corner aja katanya. Lah itu mah di buku Penjas anak SMA ada," keluhku memang tak semua tentang bola mau Hanif bagikan.
Sejujurnya dia bilang belajar peraturan permainan bola, merasakan tribun, mengerti apa itu arti suporter dan chant, katanya cukup. Hanya saja aku merasa kurang, aku harus tahu sisi dalam dunia yang suamiku tinggali agar aku bisa menjaganya, mengingatkannya, menjadi pendengarnya dan akan selalu memegang tangannya erat, sebab dimanapun duniamu risiko itu ada.
"Ya iya suami lo cuma bilang gitu. Dia masalahnya atlet, masih muda, perjalanan masih panjang, kalau mau berkomentar tentang buruknya dunia sepak bola, nggak akan mungkin. Dia tahu tapi dia akan diam, komentar seadanya. Kenapa? Karirnya bisa terancam oleh penguasa jika membuka suara tanpa perlindungan hukum. Hidup di Indonesia keras, Man!" Celetuk Eko Yuli.
"Kenapa gitu, Mas? Aku nggak paham, otakku kan minim, tenaga yang maksimal! Ha ha ha," candaku sejujurnya menghibur diri.
"Iya nih, Mas. Otak Defia aja nggak nyampai, apa kabar gue yang doyan gosip begini?" Imbuh Mutiara.
"Apalagi gue yang nggak ada niat buat mengerti," timpal Rachmania.
Yang cowok saling memandang, termasuk Fadli mantan pebalap yang jatuh dan harus kehilangan kakinya, sekarang malah jadi atlet difabel dalam cabor balap sepeda. Yang sirkuitnya cuma melingkar di dalam ruangan gitu. Heran apa nggak pusing ya?
Malam ini kami benar-benar tidak melihat perbedaan fisik di antara kami. Kami tetap harus membaur sebab mereka boleh jadi kurang secara fisik dibandingkan kami, tetapi kami tak lebih kuat dari mereka. Kami sama derajatnya.
"Sepak bola lagi gaduh, Def!" Seru Wahyu sepertinya sedang memulai percakapan serius.
"Why?" Aku dan Mutiara bertanya kompak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wisma Atlet Love Story
FanfictionDefia Rosmaniar Kubilang aku tidak akan punya kekasih pemain sepakbola, tuntutannya terlalu tinggi, bisa tiap hari oleng kalau harus dengar nitijen mencemooh kekasihku ketika permainannya turun. kalau boleh memilih aku ingin menjadi kekasihnya Pak I...