Debat | 1

18.8K 1.2K 212
                                    

Jam makan siang di Benito Resto selalu ramai seperti biasa, tapi kebanyakan pelanggan membawa pulang makan siang mereka sambil meneruskan pekerjaan. Lagu yang diputar pun menamani pelanggan siang ini, termasuk gadis cantik yang sedang menunggu temannya datang. Stik yang telah dipesan pun sudah datang, gadis itu menoleh ke arah ponselnya kemudian pintu luar, senyumnya mengembang seketika.

"Erchilla!"

"Hei," sapa gadis yang menunggu temannya sedari tadi.

"Maaf ya lama, aku tadi ketemu Justin jadinya ya ngobrol sebentar sebelum ke sini," kata gadis berambut pendek berbando.

"Enggak juga, kok. Makanannya juga baru datang, Rose."

"Perfecto!"

Keduanya menyantap makan siang mereka, tentu saja bukan karena ingin makan siang saja mereka bertemu. Melainkan, Erchilla ingin membicarakam sesuatu dengan teman dekatnya itu. Rose tahu apa yang akan dibicarakan Erchilla, menahannya dengan satu telunjuk agar Ia diberi waktu menikmati stik yang enak itu. Erchilla tersenyum, melirik ke arah ponselnya dan senyumnya makin mengembang. Pesan dari sahabat lama yang jarang ditemuinya itulah penyebabnya, berkata jika sangat berharap Erchilla sungguhan soal keinginan pulangnya ke Indonesia.

"Pasti dari Sivan. Dia bujuk dengan cara apalagi tuh?" tanya Rose.

"Dia akan berulang tahun lusa, berharap aku bisa memberinya kado yaitu kepulanganku."

"Mana, mana aku yang bicara dengannya saja!" Rose merebut ponsel Erchilla dan menekan icon gagang telepon.

Erchilla membiarkan teman dekatnya itu menelepon sahabatnya di negara seberang. Keduanya biasanya terlibat debat yang cukup serius, topik utamanya adalah kepulangan Erchilla, apalagi? Rose merasa jika Indonesia tempat yang menyeramkan karena di sana, tepatnya di Pulau Jawa terdapat satu anak lelaki yang selalu membuli Erchilla, sementara Sivan terus saja membujuk Chilla pulang karena merindukannya.

"Kau 'kan tahu sih Tahu Bulat, kalau Chilla ke sana tuh si monster kelinci bakal merajalela! Ih, kau ini amnesia apa pikun??" cerocos Rose di telepon.

"Hei, hei, Martabak Mercon. Kaulupa hari ulang tahunku nah? Kau juga seharusnya datang temani Chilla ke sini 'kan?"

"Dih, enggak ya. Aku cukup berdebat sama kamu di telepon aja," sanggah Rose.

"Kalau dia pulang, aku yang akan lindungi dia darinya. Aku sudah kuat hajar lelaki itu kalau macam-macam! Berikan teleponnya pada Chilla, aku mau bicara."

"Enggak! Dia lagi makan, ntar kesedak!"

Chilla tertawa kecil melihat Rose yang masih saja doyan berdebat dengan Sivan. Tapi, sebenarnya mereka sering sepakat soal melindungi Erchilla, keduanya hanya tak mau Chilla sampai sedih lagi karena perkataan pedas Dean. Dean, satu nama yang selalu membuat Chilla menangis saat pertama kali datang ke sekolah. Ingatannya tentang perlakuan Dean yang seenaknya itu membuat Chilla juga bermimpi buruk.

Beruntunglah Chilla punya beberapa teman yang baik dan mengerti akannya. Rose adalah salah satu teman terdekatnya selama ini, tempatnya berkeluh kesah selama puluhan tahun. Rose menaruh ponsel Chilla dengan mengomel jika Sivan itu benar-benar tahu bulat yang seharusnya digoreng garing agar bisa dimakannya dengan mencocol saus pedas. Dan menurut Sivan, Rose seperti martabak mercon yang lezat tapi saat dikunyah sungguh pedas luar biyazah.

"Aku setuju soal ide Sivan, mengajakmu pulang ke Indonesia sekalian ketemu langsung dengannya."

"Tidak perlu, tidak perlu!" Rose mengunyah cepat dan menelan daging stik di mulutnya, "aku sudah cukup bosan bertemu wajahnya di video call, Chilla. Jadi, enggak perlu ketemu dia langsung."

Equanimous #4 - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang