"Terima kasih, Jimin. Sudah mengantarku."
Tersenyum lembut, lantas Jimin mengusak puncak kepalaku seraya berkata, "Seharusnya itu kalimatku. Terima kasih sudah menemaniku seharian ini." Aku mengulum senyum, kembali mendengar lanjutannya, "Dan ... terima kasih sudah mau menerimaku kembali, Ji."
Iyaa, aku memutuskan membuka pintu maaf selebar mungkin untuk Jimin. Park Jimin dengan tatapan memelasnya membuatku lupa diri sejenak. Dan segala penuturan yang ia jelaskan sedikit membuatku paham, bahwa Jimin tidak sengaja.
Tidak sengaja dalam mengakhiri hubungan kami kendati Jimin teramat menyesali perbuatannya. Lantaran semuanya bermula dalam keadaan berduka, Jimin bisa saja lupa diri dan lupa dalam mengontrol emosinya. Sebuah sifat alami manusia. Sehingga Jimin memutuskan untuk mengakhiri segala yang terjadi diantara kami secara tiba-tiba.
Sedikit menyakitkan manakala aku membuka kembali memori runyam tersebut. Sebab, berkat hari itu aku lebih menjadi pendiam dan tubuhku mengurus total. Sakit terus menyerang sekujur tubuhku tiada henti hingga membuatku tetap terbaring diatas ranjang dengan kondisi tubuh yang kian melemah.
Ah, aku tidak mau mengingatnya lagi. Hari itu benar-benar hari terburuk ku sepanjang masa sebab patah hati.
Park Jimin itu cinta pertamaku yang tidak pernah terlupakan. Jimin adalah pria dewasa yang membimbingku menuju alur benar di dunia ini. Tatanan dunia penuh dengan berbagai jebakan yang bisa saja menjerumuskan ku ke arah yang salah. Maka, Jimin adalah penunjuk jalan benar ku.
Kehadirannya benar-benar bercahaya. Aku dapat terus melangkah lurus berkat bimbingan dan dukungannya tanpa takut akan rintangan atau bahaya apapun. Sebab, Jimin selalu ada untuk melindungi. Dan ketika Jimin memutuskan segala-galanya, aku merasa kosong. Aku merasa kehilangan dunia dan cahaya kebenaran ku. Tidak heran jika rasa sakit itu masih ada kendati Jimin sudah memperbaiki sebagian dari kesalahannya tersebut.
"Hei," aku tersentak kala merasakan colekan pada daguku. Terlalu larut dalam memori kelam sepertinya. "Kau melamun?" tanya Jimin, sembari memiringkan kepala menunggu jawabanku.
Lantas aku mengulas senyum tipis, menggeleng pelan sebagai balasan. "Tidak. Maksudku, ya, sedikit." Aku terkekeh lirih, menertawakan jawaban ku sendiri. Kemudian dengan ragu aku berujar, "Aku—aku hanya merasa takut jika kau pergi lagi, Jimin," tutur ku lirih.
Aku berterus terang saja. Sebab, aku benar-benar merasa takut jika Jimin kembali memutuskan segala-galanya dan membuat harapanku pupus sudah. Aku hanya tidak ingin kesempatan yang kuberikan terbuang sia-sia. Pun harap ku hanya satu, Jimin benar-benar memegang teguh ucapannya untukku manakala akan menjalani hubungan serius.
Sebab, aku benar-benar tidak ingin melepaskan Jimin.
"Jiyeon," tangan besar Jimin menangkup wajah kecilku. Lantas aku menatap lekat bola matanya yang membalas dalam. "Hei, kenapa kau berkata seperti itu?" Jemarinya mengelus lembut permukaan wajahku. "Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan menjalani hubungan ini dengan serius bersamamu. Apa kau meragukan ku, Ji?"
Aku menjilat bibir bawah pelan kemudian menggigitnya kuat. Bingung akan menjawab seperti apa. Lantas aku hanya menghindari sorotan irisnya dengan mengalihkan pandangan ke segala arah.
Selang beberapa detik sibuk dengan isi kepala masing-masing ditemani kesenyapan yang berlangsung mengelilingi kami, aku tersentak total merasakan rengkuhan hangat yang kurindukan mengitari sekujur tubuhku. Begitu penuh afeksi, dan proteksi.
"Apa perlakuan ku dulu menghilangkan segala rasa percayamu padaku, Ji?" Suara lirih Jimin menyambangi indera pendengaranku. Aku dapat merasakan punggungku diusap lembut olehnya hingga dadaku bergetar. "Aku mohon, percayalah padaku, hm? Aku berjanji akan memegang teguh kalimatku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Daddy ✓
Fiksi PenggemarKetika kehidupan damai Park Jiyeon mulai terusik dengan kedatangan ayah barunya. Memporak-porandakan hatinya. © 2019 proudofjjkabs