Prolog

4.9K 169 10
                                    

Dari yakinku teguh
Hati ikhlas ku penuh
Akan karunia-Mu
Tanah air pusaka
Indonesia merdeka
Syukur aku sembah kan
Kehadirat-Mu Tuhan

Lagu itu mengalun dengan syahdu. Menyemarakkan kelulusan bagi putra putri negeri yang terpilih. Bapak presiden dan ibu negara beserta jajarannya mulai di panggil oleh pembawa acara. Hari yang bahagia bagi orang-orang yang berkumpul di sana. Sesak, ramai penuh haru.

Masa pendidikan telah usai. Ini saatnya kelulusan. Gong tanda kemenangan telah bertalu. Begitu meriah. Pekak, menyesakkan gendang telinga. Tapi siapa yang peduli. Semua larut dalam kebahagiaan masing-masing. Mosha menarik napas dalam-dalam. Ia sedikit gugup. Ia melirik rekan-rekan yang ada di sampingnya. Tak hentinya tersenyum begitu menyenangkan.

Lagu syukur telah berganti nada. Kini saatnya alunan instrumen dari lagu padamu negri di mainkan. Orang-orang disana tampak trenyuh. Terharu. Melihat putra putri mereka yang sampai pada titik terakhirnya. Gagah dalam balutan seragam masing-masing.

"Kepada para orang tua di persilahkan mendampingi putra putrinya", suara itu begitu lembut.

Terasa begitu indah. Apalagi maknanya. Orang-orang itu mulai berduyun-duyun pergi menemui putra-putri mereka masing-masing. Memeluknya begitu erat. Menangis. Memecah rindu. Bangga dengan apa yang putra-putri mereka telah raih.

"Bangun nak", kata seorang wanita paruh baya.

Namun yang di sentuh tak kunjung bangkit. Ia masih terisak menangis di bawah kaki sang bunda. Tangannya menggelayut memegangi kedua kaki itu. Bahunya naik turun. Tanda menahan sesak yang amat dalam.

"Mosha..", kata wanita itu lagi.

"Maafkan Mosha ma.. maafkan Mosha yang dulu...", Katanya.

Tangisnya tumpah ruah. Betapa baru kini ia menyesali segala yang pernah ia lakukan. Apapun itu. Rasanya perih sekali. Seakan putaran film yang kembali di pertontonkan

"Hei sudahlah. Mama sudah lama maafkan Mosha. Ayo bangun peluk mama"

Pria itu bangkit. Ia meraih tubuh ibundanya. Tubuhnya jauh lebih tinggi dari tubuh ibundanya saat ini. Wanita itu begitu kecil di hadapannya. Ia menangis sejadi-jadinya. Betapa rindu pelukan ini. Betapa ia rindu wanita ini. Sungguh. Tiada tandingnya. Mosha menatap seorang laki-laki paruh baya di balik punggung ibundanya. Laki-laki itu terdiam. Menatap dirinya dengan penuh rasa bangga.

"Papa...", Katanya.

Laki-laki itu tersenyum. Begitu tulus. Matanya panas. Ia kembali berkaca-kaca. Sungguh ia juga rindu ayahnya. Mosha berhambur pada pelukan laki-laki itu. Di peluknya dengan kencang tubuh kurus kering laki-laki itu.

"Papa apa kabar?", Ucapnya.

Nadanya begitu kaku. Suaranya bergetar. Betapa ia sangat rindu. Ayahnya terlihat tak seperti dulu. Tubuhnya makin kurus. Uban di sana di sini hampir menyeluruh, menutupi rambutnya yang dulu hitam. Pria paruh baya itu mengusap bahu putranya. Betapa ia bangga dengan putra bungsunya.

"Papa bangga. Papa cukup sehat nak"

Mosha melepas pelukannya. Ia tatapi inci demi inci laki-laki itu. Sungguh telah banyak berubah. Setelan kain batik yang dulu ia berikan terlihat kedodoran. Kedua kancing lengannya tidak di kancingkan. Sorot matanya seperti kelelahan.

"Papa bangga nak", katanya.

Suaranya begitu parau. Menyesakkan. Anak laki-laki nya telah berjaya. Menjadi seorang perwira muda. Betapa bahagia hatinya. Sungguh melebihi apapun.

"Papa yang telah mendidik saya", katanya.

Tangis haru itu semakin menggebu. Melebur. Betapa hari itu amat bahagia. Bukan hanya pada keluarga itu. Tapi semuanya. Semua yang hadir dalam perhelatan yang luar biasa.

"Selamat kawan"

Tiba-tiba suara itu muncul begitu saja. Mosha menghadap sumber suara. Rekannya, sahabatnya, saudaranya. Berdiri disana. Di samping mama nya. Balutan pakaian yang sama dengannya. Begitu gagah.

Ia langsung memeluknya begitu saja. Simonagar Maruli Hutapea, sahabat karibnya sejak masa SMA. Pria ini yang menjadi penopangnya. Suka dukanya bersama. Ia telah mendarah daging. Bagaikan saudara. Terkadang sebuah hubungan saudara tidak perlu memiliki ikatan darah.

"Selamat pula untukmu", katanya.

Maruli melepaskan pelukan Mosha. Di ulurannya sebuah buket bunga. Mawar putih dengan buket bertali merah muda. Cantik sekali.

"Untukku?", Tanya Mosha.

"Untuk saudaraku. Kita saudara. Satu jiwa satu korsa, satu komando"

"Komando!"

"Komando!"

Maruli tersenyum. Senyumnya sungguh menyenangkan. Pria itu terlihat jarang sekali tersenyum. Tapi sekali tersenyum jangan tanyakan betapa menyenangkannya ia.

"Dimana ayah dan mama mu?", Tanya Mosha begitu saja.

"Ada. Mereka sudah menemuiku. Ku minta izin untuk menemui saudaraku dulu"

Mosha terkekeh. Ia menepuk bahu Maruli. Pria itu benar-benar menyenangkan untuknya. Betapa takdir telah mempertemukannya dengan orang seperti Maruli.

"Maruli!", Sapa seorang wanita dalam balutan kebaya merah bata.

Sungguh anggun. Tangannya di gandeng seorang laki-laki paruh baya berkumis. Mereka berjalan mendekat kearah Maruli. Maruli menatap keduanya. Kemudian tersenyum pada Mosha.

"Itu mereka", katanya.

Laki-laki itu melambai tangan pada keduanya. Keduanya segera menghampiri putra mereka tercinta. Di raihnya lengan Maruli Hutapea oleh ibundanya.

Wanita berkebaya merah bata itu segera menghambur ke pelukan ibunda Mosha. Bukan baru saja mereka saling mengenal. Tapi sudah lama sekali. Entah kapan itu. Kedua keluarga itu saling berbaur. Mencampur rindu satu sama lain. Saling membanggakan putranya.

Maruli menarik tangan Mosha. Sedikit menjauh dari keramaian. Membiarkan para orang tua sibuk dengan cerita mereka.

"Sudah siap kau untuk tugas?", Katanya.

"Pastilah siap"

"Ku dengar kita akan sama untuk di tempatkan tugas"

"Hei Maruli bukan dengar lagi. Sudah pasti. Namamu dan namaku sudah tercatat jelas dalam surat tugas"

Maruli tertawa terbahak-bahak. Ia memukul bahu Mosha. Entah berapa lama lagi ia akan bersama-sama dengan pria bermata bulat biji buah leci.

Bukan rahasia lagi bahwa dua pria itu selalu bersama. Sejak SMA mereka begitu dekat. Hampir dibilang bagai jari telunjuk dan jari tengah, tak terpisah. Pertemuan mereka pun sangat tidak terduga. Maruli sering dihukum karena kenakalannya pasca SMA sedangkan Mosha sering dihukum karena keterlambatannya masuk sekolah. Lewat BK dan ruang hukuman keduanya menjadi sangat akrab. Bahkan hingga kini. Saat keduanya telah sama-sama berpangkat Letnan Dua.

"Aku tak pernah tau, apa aku bisa seperti ini jika tak mengenalmu", kata Maruli tiba-tiba.

Wajahnya tertunduk. Di lepasnya topi taruna miliknya. Ia tersenyum getir. Mosha seperti hembusan angin baginya. Mengubah Maruli yang brandal menjadi seorang yang seperti sekarang. Mosha menepuk bahu Maruli.

"Bukan karena ku. Tapi karena mu. Karena kau yang mau berubah"

Maruli menatap Mosha. Betapa wajah itu sangat menenangkan. Ia mengangguk. Kedua sudut bibirnya tersungging sebuah senyum. Begitu manis. Kedua pipinya menggambar sebuah lesung. Manis sekali.

"Hei Maruli aku lebih suka kau tersenyum seperti ini"

"Hahaha, aku hanya suka tersenyum pada orang tertentu kau tau itu dongan"

Mosha tertawa renyah. Ia memang tau bagaimana laki-laki di sampingnya. Bukan hal yang aneh baginya apapun menyangkut Maruli. Yang jelas dan yang pasti laki-laki itu adalah sahabat terbaik untuknya dan selamanya akan tetap begitu.

Love in OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang