Bab 2.2

82 15 17
                                    

Lelaki yang mencuri sebagian kesadaranku, namanya Genta. Aku bingung, dia pakai apa? Karena kupikir... kalau bukan aku, mungkin tidak ada yang bisa mencintainya sebesar ini. Menyebalkan. -Aira-

***

"Genta," Ucapku lirih.

Sekarang, di sini aku berdiri, menatap sosoknya yang sedikit terkejut karena kehadiranku tanpa tahu malu. Hatiku berdesir, tatapannya sudah tak sama, ada binar tak suka yang kurasakan. Tapi kutepis jauh-jauh, perasaan itu.

Aku hanya ingin menyapa, mungkin? Apa itu salah?

Mendadak bisu, itulah yang kualami sekarang. sederet kalimat yang tadi sudah kususun rapih, seolah menghilang, meninggalkan gugup yang tak berkesudahan.

Genta masih menatapku, seolah bertanya ada apa? Tapi memang si mulut bodoh, kenapa sulit hanya untuk sekedar digerakkan?

Aku menarik nafas dalam. Seakan mencoba meyakinkan diri untuk lebih berani menatap tepat ke dalam matanya. Tapi, baru sedetik, aku gagal. Lantas menunduk lagi dengan pipi merona.

"Kenapa?" tanyanya, yang membuatku terlonjak kaget.

Terlalu bingung ingin bersikap bagaimana, kenapa mendadak jadi canggung sendiri?
Ah, aku merutuki kebodohanku yang selalu bertindak tanpa dipikir lagi. Menyesal, tidak menuruti Alika yang mengajak untuk langsung pulang.

Aku kesal! Ini salahnya rindu, yang tidak sabaran.

"Kalau hanya diam, lebih baik pergi." Jantungku seakan dihantam oleh ribuan beton, ketika mendengar sederet kalimat sinis itu keluar dari mulutnya.

Apa aku baru saja diusir secara terang-terangan?

Aku menatapnya tidak percaya. "Kamu-"

"Loh? Aira?" Tiba-tiba suara seorang wanita memotong perkataanku. Lantas aku pun menoleh dan tersentak.

"Bunda?" Senyumku seketika merekah. "Bunda dari mana?"

Kucium tangan kanannya, tanpa melunturkan barang sedetik senyum manisku. Terlalu bahagia, bisa bertemu dengan wanita cantik-bernama Lily- yang tak lagi muda ini

"Abis beli kue di toko itu," katanya, yang kubalas dengan anggukan.

Bunda Lily mendudukkan dirinya tepat di samping laki-laki yang semenit lalu, terabaikan. Aku terlalu asik sekaligus excited.

Aku mengalihkan pandangan pada Genta, menyadari raut datarnya masih sama, memutar bola matanya malas meladeni obrolan kami -aku dan bundanya- yang tak terlalu penting.

"Abis beli kemeja untuk ayah Genta," jelas Bunda Lily ketika kutanya sedang apa di sini? Aku mengangguk seolah mengerti.

Aku terlarut dalam obrolan ringan dengan bunda Lily. Jadi teringat dulu, beliau sudah seperti ibu kedua untukku. Beliau baik, cantik, perhatian, dan bisa dijadikan teman sharring yang menyenangkan.

"Kamu ngapain aja? Kok jarang main ke rumah sekarang?"

"Ah itu, ak-"

"Masih lama ngobrolnya? Temanmu sudah mati bosan tuh." Lagi-lagi ucapanku dipotong, dan kali ini oleh Genta, yang sedari tadi diam.

Jujur saja, aku sedikit meringis mendengar nada bicaranya yang terkesan dingin dan tak bersahabat. Dia benar-benar seperti ingin menyuruhku pergi sekarang juga.

Tapi, pertanyaan Genta membuatku teringat akan sosok Alika. Astaga, kenapa aku bisa melupakan sahabat yang tukang ngambek itu?

Aku memutar kepalaku ke belakang, melihat raut tak menyenangkan Alika yang tengah menyeruput minumannya yang hampir habis. Wajahnya ditekuk, pipinya menggembung, matanya bergerilya ke sana ke mari. Lucu.

"Kamu sama Alika? Kenapa dia gak disuruh gabung ke sini, Ra?" ucap Bunda Lily.

Aku tersenyum canggung, andai saja keadaanya masih sama seperti dulu, tanpa disuruhpun aku sudah mengajak Alika untuk bergabung Di sini, mengobrol random bersama... Genta.

Tapi, sekali lagi kutekankan, itu dulu.

"Hobimu, sekarang melamun ya?" Aku memutar bola mataku malas, mendengar perkataan Genta yang terkesan menyindir itu.

Aku sering melamun kan, karena dia!

Aku berdiri, menyampirkan tas selempangku yang tadi sempat dilepas. "Aku duluan ya, Bun. Maaf gak bisa ngobrol lama-lama."

Bunda Lily tersenyum, mengusap kepalaku ketika aku mencium lagi tangan kanannya. Kemudian, beralih menatap Genta yang menatapku malas. Aku merasa, bahwa dia benar-benar sudah muak denganku, terlihat dari tatapan matanya yang tak lagi sama.

Kata orang, mata itu tidak pernah berbohong. Aku memang tidak pernah belajar ilmu psikologi, tidak juga mengerti arti di balik tatapan mata seseorang, aku tidak sepenuhnya yakin, tapi aku merasa bahwa ada sebersit rasa kecewa dari tatapannya.

Aku pernah mendengar, orang yang merasa bersalah cenderung berpikiran negatif, cemas, dan memandang usaha apapun dengan pesimis, seperti tertekan, karena tidak bisa memaafkan diri sendiri.

Terkadang, kehadiran Genta membuatku ingin bisa baca pikiran orang. Untuk bisa tahu, apa masih ada  aku dalam pikirannya? Apa kekasihnya yang sekarang hanya sebatas pelarian saja?

Aku cuma sedang menimbulkan harapan yang sempat runtuh. Kupikir, selagi janur kuning belum melengkung, aku masih bisa mendapat maaf serta hatinya.

Aku merasa seperti perempuan penggoda, yang mencoba menghancurkan hubungan orang jika seperti ini.

Tapi... bukankah cinta itu memang membutakan?

"Tidak jadi pergi? Kenapa terus melamun dan menatapku seperti itu? Kamu makin menakutkan." Suara Genta menarikku kembali pada kenyataan.

Aku tersadar, lantas merunduk merasa malu. Sudah berapa kali aku kepergok tengah melamun? Apalagi di sini bukan hanya ada Genta, melainkan juga ada bundanya. Astaga.

"Genta, kamu gak boleh gitu," tegur Bunda Lily.

"Bukan gitu Bun, tapi kasian temannya tuh," katanya, seraya menunjuk Alika yang kali ini tengah menidurkan kepala di atas meja.

Aku ingin tertawa, tapi juga merasa kasihan.

Lalu, setelah itu aku benar-benar pamit, menatap dalam sosok Genta untuk terakhir kalinya, sebelum beranjak pergi menuju mejaku dengan Alika.

Baiklah, setelah ini aku siap mendapat omelan dari sosok cantik yang pastinya akan merajuk itu.

***

Ara
Genta?

Genta
Siapa?

Ara
Ini aku, Aira.
(Read)

Ara
Siapkan hati, aku akan sedikit mengganggu setelah ini.
(Read.)


***

Haii hehe
Masih menarik untuk dibaca atau emang alurnya membosankan?
Kasih kritik dan saran aja, aku seneng loh hehe.

Kasih bintangnya juga boleh😊

Salam sayang, Nurul sakinah❣️

17 januari 2019

Only YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang