Jajaran gundukan tanah itu menjadi saksi bisu atas pengakuan dosanya. Wanita berambut ikal itu menangis tersedu-sedu di depan makam suaminya. Berbekal seikat bunga, ia kembali mengunjungi peristirahatan terakhir sang suami dengan agenda penebusan. Tak ada yang tahu apakah itu hutang atau dosa. Mungkin juga dendam?
"Sekarang kau pasti senang. Karena untuk pertama kalinya aku melakukan apa yang kau minta, menyingkirkan dia. Dia yang engkau cintai dengan mengorbankan nyawamu.", ia tersenyum tanpa membersihkan jejak-jejak air mata dipipinya. "Sekarang kau bisa istirahat dengan tenang di sana. Sementara aku akan memulai apa yang tidak bisa kau lakukan. Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, Hyun Sik-ah!", kemudian berbalik pergi sambil memakai kembali kaca mata hitamnya.
Di depan petak pemakaman, seorang pria senantiasa menunggunya di samping mobil. Berbalut jas berwarna senada dengan dress sang wanita, pria itu segera membuka payung sembari berjalan menjemput sang wanita. Membuka lengan kirinya yang langsung diapit oleh lengan putih nan mulus. "Terimakasih, Jim!", ucapnya tulus disertai senyum manis.
"Selanjutnya kita pergi ke mana?", tanya pria itu setelah menyunggingkan senyum penuh kasih sayang sebagai balasan atas ucapan terimakasih yang terlontar dari bibir merah sang wanita.
"Rumah sakit! Aku ingin menyapa Abeoji sebentar."
Di saat yang sama, sebuah pernikahan tengah digelar di ballroom salah satu hotel Kingdom. Suara tepuk tangan meriah mengiringi ciuman hangat kedua mempelai setelah mengikrarkan janji suci masing-masing. Sepasang cincin tersemat dijari manis kanan keduanya. Senyum mereka merekah hingga acara selesai. Bersama sepasang anak lelaki, mereka mengambil foto keluarga yang nantinya akan dipajang di rumah kediaman mereka sebagai simbol keluarga bahagia.
Di tempat lain, seorang anak perempuan kembali menangis setelah bangun dari tidurnya. Mendapati mimpi buruknya menjadi kenyataan adalah satu-satunya hal yang salah yang terjadi pada hari ini.
Seorang anak perempuan yang sedikit lebih besar bergegas datang dan memeluknya. Mengusap-usap lembut punggung adiknya. Kemudian sepasang anak laki-laki masuk.
"Ssstt.... Tenanglah, Wonnie. Eonni ada di sini. Jangan menangis!", gumamnya terdengar lirih. Pula berusaha menguatkan diri sendiri.
Tangis anak berumur 3 tahun itu pun pecah dalam dekapan hangat sang Eonni. "Appa.... Hiks.. Hiks... Appa.... Oppa, Appa... Hiks... Hiks..."
"Gwenchana, Wonnie. Oppa di sini. Oppa tidak akan meninggalkanmu!", tutur namja yang lebih muda sambil mengelus-elus puncak rambut si gadis kecil dalam posisi berdiri.
Namja yang lebih tua segera memeluk namja yang lebih muda. "Gwenchana, saengi. Jangan ditahan, menangislah!", gumamnya seraya mendekap tubuh kurus itu lebih erat.
Namja manis itu bukannya tidak ingin menangis. Tapi dia tidak bisa menangis. Bukannya berpura-pura kuat seperti yang semua orang katakan. Rasanya terlalu menyakitkan hingga dia tidak bisa merasakan hal lain, dan air matanya pun tidak mampu keluar. Terlalu sakit hingga dia tak tahu harus melakukan apa. Dan berpikir menjadi kuat demi adik dan Eomma-nya adalah hal terakhir yang dapat dia pikirkan. Jadi, sesakit apapun itu, dia tidak akan menangis.
***
Hai hai hai...... I am comeback! Siapa yang merindukan aku? (kagak ada. Ya udah) Bye!
Jujur saja, sebenarnya ini cerita setengah mateng. Alurnya masih blur. Tapi berhubung aku udah kangen jadi author (nggak mau ngaku kalo kangen readers 🤫)
Apapun itu aku harap kalian suka dan menikmati cerita ini. Jangan bosen yah ama ceritaku karena genre nya gini-gini mulu. Nggak kreatip. Maklumlah amatiran.😔😔Oke, deh. See You next Chap! 😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
THAT TIME
FanfictionWaktu adalah segalanya. Ibarat 2 sisi koin, waktu bisa menjadi obat mujarab untuk menyembuhkan hati seseorang. Tapi Waktu juga bisa menjadi penyakit yang paling mematikan. Tergantung kepada siapa pemilik waktu tersebut. Bagaikan 2 sisi bilah pedang...