Pertemuan pertama saya dan Mark sangatlah memalukan dari sudut pandang saya. Bagaimana tidak? Posisinya kala itu saya sehabis menangis, dengan mata sembab dan bekas air mata di pipi. Sedangkan Mark sendiri datang seperti seorang malaikat menawarkan bantuan.
Saat itu sore menjelang petang, dan saya masih asyik berkutat merampungkan tugas Kajian Prosa di sebuah kedai kopi di sekitaran kampus. Dengan laptop yang setia berada di hadapan saya, secangkir Americano dan juga seorang teman –Kiran namanya. Kami berdua ini bisa dibilang certified deadliner, yaitu para manusia manusia yang belum mau mengerjakan tugasnya sebelum hari dan jam deadline yang ditentukan.
"Waktunya masih setengah jam lagi Tess, gue mau ke kamar mandi dulu deh bentar." Kiran tanpa menunggu respon dari saya buru buru meninggalkan kursinya dan menuju ke kamar mandi.
Saya melirik ke sudut kanan bawah laptop untuk memastikan ucapan Kiran. Disana tertera pukul 17.30, sedangkan tenggat waktu yang diminta dosen adalah pukul 18.00. Saya bernafas lega, karena tugas yang sedang saya garap ini hanya kurang di bagian penutup.
Memperhatikan sekitar, saya baru menyadari bahwa saat ini kedai kopi sangatlah ramai. Bangku bangku yang tersedia semuanya diduduki oleh para Mahasiswa yang kemungkinan adalah deadliner juga seperti saya atau hanya para mahasiswa yang sedang berkumpul untuk mengakhiri hari bersama. Baru ketika saya akan melanjutkan mengetik bagian tugas yang kurang, mata saya menangkap sepasang mata lain yang sedang menatap lurus ke arah saya, namun sosok tersebut buru buru mengalihkan pandangannya.
"Tess udahan? Kok malah bengong?" Kiran mendudukan diri kembali di kursinya.
"eh tinggal bagian penutup nih. Lo udah sampe mana Kir?"
"gue tinggal ngirim doang."
menit selanjutnya di isi dengan saya mengetik rangkaian rangkaian kata untuk bagian penutup esai. Menulis esai bisa dibilang sudah menjadi makanan sehari hari untuk mahasiswa Sastra Indonesia seperti saya dan Kiran.
"Done" sepuluh menit menuju pukul enam sore alias batas akhir mengumpulkan tugas, saya berhasil merampungkannya.
"Yaudah buruan kirim lewat email, abis ini cabut yuk, udah sore" saat ini Kiran sedang membereskan barang barangnya yang berceceran di atas meja dan memasukkannya ke dalam totebag yang dia bawa.
"Iya bentar" saya kemudian mengaktifkan wifi di laptop supaya bisa disambungkan dengan wifi yang disediakan oleh kedai kopi ini. "Oh crap! Ngga bisa connect masa Kir"
Kiran memajukan kepalanya lebih dekat ke arah laptop saya, mencoba melihat permasalahan yang sedang saya hadapi. Kemudian terdengar teriakan dari salah satu sudut, "Mas wifinya error ya?"
"eror tuh katanya Tess" Kiran kini melanjutkan aktivitasnya menggulung kabel chargeran laptop. "yaudah hotspot dari hape lo aja"
"lo kan tau gue ngga pernah pasang paket"
"eh iya juga ya, oke pake punya gue nih" Kiran kemudian mengeluarkan ponselnya, "Oh shit. Paketan gue juga abis Tess"
Kalian silahkan bilang kalau saya ini cengeng. Memaki pun saya izinkan untuk keadaan saat ini. Karena yang saya lakukan berikutnya adalah menangis dan merutuki diri saya sendiri, menyesal mengapa sangat suka mengerjakan tugas di menit menit terakhir deadline meskipun sudah tau banyak resiko yang kemungkinan akan terjadi. "Tessa bego bego bego"
Sedangkan Kiran sibuk menenangkan saya. "Jangan nangis Tess, gue mintain hotspot ke orang dulu deh ya"
Begitu Kiran meninggalkan kursinya untuk mencari bantuan, saya mengusap air mata yang jatuh dan merasa dongkol sendiri akibat menangis bukannya mencari bantuan. Saya masih mencoba menyambungkan koneksi internet dengan wifi kedai kopi, berharap sudah tidak eror. Namun nyatanya 'no internet' masih terpampang jelas di layar laptop saya.
Kiran kembali dengan seorang pria. Sosoknya berkaca mata, mengenakan kemeja flannel dan celana berwarna kecoklatan. Entah ini kebetulan atau apa, tapi pria ini sama dengan pria yang tadi menatap saya beberapa waktu lalu.
"Tess, coba connect-in sama hotspotnya dia. Apa tadi namanya Mas?"
"Watermelon" ucap si mas-mas yang kini berdiri di sebelah saya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.59 maka tanpa pikir panjang saya mencari cari di deretan wifi yang sedang aktif.
Tepat pukul 18.00, tugas saya berhasil terkirim ke email dosen.
"Makasih banyak, btw i owe you."
"Its okay, glad i can help" mas-mas itu menyunggingkan senyumnya.
"Eh lo mau kopi? Gue beliin ya? Itung itung ucapan terimakasih"
Pria itu menggaruk tengkuknya, "Mau mau aja sih, tapi gue lagi buru buru. Minta id aja boleh nggak?"
"eh?"
"Biar nagih kopinya gampang" lagi lagi dia tersenyum, memamerkan deretan giginya yang rapi.
"Oh okay, its tessaap. With double s and a"
"Thanks, btw my name is Mark" dengan itu, sosoknya langsung undur diri dan berjalan menuju pintu keluar kedai kopi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story of Us
FanfictionBolehkah saya menceritakan beberapa kisah manis tentang hubungan kami? Tentang sosoknya yang selalu membuat saya jatuh hati. Juga tentang kami yang sama-sama pecinta hujan dan kopi. Izinkan saya bercerita tentang sosok sang kekasih yang akrab disapa...