Notre Dame Cake

8 2 0
                                    

"We cannot decide to love. We cannot compel anyone to love us. There's no secret recipe, only love itself. And we are at its mercy—there's nothing we can do."

By Nina George

Setiap orang pasti memiliki kebiasaan aneh, minimal satu kebiasaan aneh yang mereka lakukan di saat-saat tertentu. Contohnya, Maya Angelou—seorang penulis terkenal asal Amerika Serikat—yang memiliki kebiasaan yang dianggap aneh yaitu sering menyewa kamar hotel hanya untuk bekerja bukan untuk berlibur, atau Jack Dorsey—CEO Twitter dan Square—yang memiliki kebiasaan unik bekerja sebanyak 16 jam setiap hari dimana 8 jam ia habiskan untuk bekerja di Twitter dan 8 jam lainnya ia dedikasikan untuk Square. Bahkan Ludwig van Beethoven juga memiliki kebiasaan aneh yaitu menghitung 60 biji kopi setiap harinya. Aku berani bertaruh pasti mereka memiliki alasan tersendiri di balik itu semua dan mereka tidak memiliki kewajiban untuk menjelaskan alasan tersebut kepada setiap orang. Akupun begitu, aku memiliki kebiasaan aneh, aku akan menundukkan kepalaku dan mencium aroma tubuhku sendiri setiap kali aku merasa gelisah ataupun gugup, seperti saat ini misalnya. Sekarang aku sedang terduduk di dekat jendela suatu Café yang sudah tidak asing lagi, terduduk sambil menundukkan kepalaku dan mencium aroma tubuhku sendiri. Sejak aku kecil, ibuku sudah sering menegurku karena kebiasaan nyeleneh-ku ini. "Hentikan itu! Kau bukan binatang!" begitu kata-kata ibuku setiap kali menegurku tentang hal ini. Tapi hingga kini, hingga usiaku menjelang kepala tiga hal tersebut tidak pernah bisa aku ubah.

Aku memilih untuk duduk di dekat jendela dimana aku bisa memandang bangunan megah nan indah yang terletak tepat di seberang Café ini, Katedral Notre Dame. Tubuhku seperti sudah diatur otomatis untuk selalu duduk disini setiap musim dingin tiba acap kali aku memasuki Café ini. Untuk kesekian kalinya, tatkala kedua mataku memandang Katredal Notre Dame dari balik jendela Café ini, aku menyesal. 'Honestly, of all the precautions that I think carefully before hand! Why should I say yes to meet her here! In a Christmas night? You're so stupid Jacques!' rutukku dalam hati untuk kesekian kalinya.

Café ini memiliki kenangan manis sekaligus pahit di saat yang bersamaan. Bagaimana aku harus menyikapi kedua kenangan yang berlawanan sekaligus? Sampai saat ini aku masih belum memiliki jawabannya. Café ini menorehkan kenangan bagiku sejak aku masih duduk di bangku SMA. Sekolahku di Rue de Passy yang tidak jauh dari 15th Arrondissement, memudahkanku untuk selalu mampir di Café ini setiap pulang sekolah. Café ini, A. Lacroix Pâtissier berlokasi di Que de Montebello tepat di seberang bangunan Katedral Notre Dame di bilangan Odéon. Aku rela pulang terlambat ke rumahku di daerah Les Lilas hanya demi menghabiskan waktuku di Café ini. Bahkan aku sering pulang ke rumah ketika malam tiba supaya di perjalanan aku bisa sambil menikmati pemandangan kota Paris di malam hari.

Saat duduk di bangku SMA, aku bertemu dengannya, orang yang sama yang mengajakku untuk bertemu di sini saat ini. Ya, dia adalah Sophie, orang pertama yang membuatku sadar bahwa aku mengalami apa yang disebut sebagai jatuh cinta. Dulu aku selalu merasa aneh setiap kali melihatnya. Sejak mengenalnya di Year 11 saat kami memiliki proyek bersama untuk sebuah pementasan drama, aku selalu tertarik untuk selalu melihat ke arahnya dan memerhatikan apa yang ia lakukan. Setiap aku berada di dekatnya aku merasa aku bukanlah menjadi Jacques yang sebenarnya. Bayangan dirinya selalu menghantui pikiranku. Mata birunya, rambut pirang sebahunya, suaranya, senyuman indahnya tidak pernah bisa lepas dari ingatanku. Hingga suatu ketika sahabatku Pierre menyadarkanku bahwa aku sedang jatuh cinta. Aku ingat kata-katanya waktu itu, "Jacques, trust me, you're falling in love with Sophie! You wanted her to be yours!". Aku tidak lantas percaya padanya waktu itu sampai aku mengatakan kata-kata yang tidak aku sadari pada Sophie di Café ini 13 tahun yang lalu. Aku masih ingat momen itu. Mataku menatap mata birunya dengan tajam dan penuh keyakinan. Aku waktu itu berkata, "Sophie, would you be my girlfriend?". And luckily she said yes, dan sejak saat itulah kami berpacaran.

Notre Dame CakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang