Jeon Jungkook itu sinting, idiot, brengsek, mesum, bajingan, bodoh, gila, dan penjahat kelamin. Bagian akhir itu aku sedikit meragukan kebenarannya. Namun, Jeon Jungkook itu adalah definisi paket komplit iblis penggoda. Licik dan tidak menggunakan fungsi otaknya dengan baik. Bertingkah semena-menanya adalah kesukaannya. Mempermainkan perasaan siapapun yang sudah terjerat ke dalam jebakan yang ia buat dengan sengaja.
Aku adalah salah satu korbannya.
Aku tidak tahu berapa banyak gadis-gadis yang ia tipu melalui senyuman tipis itu dan aksaranya yang palsu. Kasihan sekali. Sebelum aku mengasihani mereka, sepatutnya aku mengasihani diriku sendiri yang dengan bodohnya mengikuti alur yang ia ciptakan. Bahkan sekarang sudah terlampau jauh. Barangkali akan sulit bagiku untuk kembali ke titik nyaman sebelumnya.
Kendati aku mencoba menepis perasaan asing itu yang datang menggelitik perut dengan sensasi memabukkan di dalamnya, nyatanya jerih payahku untuk mengenyahkan tak membuahkan hasil sama sekali. Ini merupakan perasaan berbeda saat bersama Jimin. Benar-benar di luar dugaan. Pun aku tidak mampu mengendalikan diriku sendiri yang kehilangan pijakan.
Melihat mereka; Jungkook dan Ibu, dalam satu ruangan kamar malam hari begitu sampai di rumah. Melalui celah pintu kamar yang kubuka kecil, sebelumnya aku tidak dapat mendengar konversasi mereka dari lantai bawah. Aku berkamuflase pergi ke alam tidur tanpa sepengetahuan mereka bahwa sebenarnya aku menguping pembicaraan mereka diam-diam. Ada gelak tawa mereka yang saling bersahutan.
Ku tajamkan indera pendengaranku lebih jelas lagi agar tidak ketinggalan frasa barangkali satu kata saja. Sebab, kemesraan mereka yang terjalin sepanjang perjalanan pulang benar-benar membuat hatiku diliputi perasaan tidak nyaman. Aku tahu, aku bodoh. Bukankah mereka wajar melakukan hal demikian?
Ku rasa keputusan ku untuk mempertajam pendengaran adalah pilihan terburuk. Sebab, untuk kedua kalinya aku dapat mendengar kecapan disertai bunyi gemerisik jelas lainnya yang menyambangi gendang telinga. Total aku membeku, membuka daun pintu lebih lebar lagi dan berjalan mengendap-endap untuk menelisik lantai bawah tepatnya di ruang tengah.
Mulutku total terbuka lebar begitu aku menemukan titik dimana sumber suara itu berasal. Sontak aku membungkam bibirku sendiri dengan kedua telapak tanganku dengan netra yang terbelalak. Ekspresi ku tidak dapat digambarkan dengan jelas lagi. Pastinya, itu adalah figur buruk yang kubuat sepanjang masa. Pun, rasa sakit itu kian menancap tajam di ulu hatiku hingga pandanganku mengabur. Nyaris saja bibir ini mengudarakan isakan kecil yang pasti akan menganggu kegiatan mereka.
Ku putuskan untuk memutar arah tubuh dengan berbalik cepat seraya memejamkan mata erat. Sepasang manikku kini telah mengucurkan air mata yang mengalir deras di pipi. Bergerak tergesa-gesa sembari mengendap memasuki kamar. Menutup daun pintu pelan agar tak menimbulkan bunyi. Selanjutnya, tubuhku merosot jatuh begitu aku menyandarkan punggungku di sana. Persendian ku serasa melemah dan tidak mampu menopang berat badanku sendiri.
Ku dongakkan kepalaku dengan air mata yang kian merembes keluar lebih banyak. Isakan ku kini mengudara lepas namun bisa ku kontrol agar tidak mengeluarkan volume lebih keras. Dadaku benar-benar sesak dengan sesegukan hebat yang diudarakan belah bibirku. Nafasku berubah memburu.
Ini lebih sakit daripada aku yang ditinggalkan Jimin tanpa alasan yang jelas dulunya. Ini lebih sakit daripada aku melihat Jimin mengumbar senyum manis pada gadis-gadis di luar sana. Dan ... ini bahkan berkali-kali lipat lebih sakit daripada aku kehilangan ayah.
Apa yang kuharapkan dari Jungkook. Dia adalah pembual handal. Sialnya aku sudah terjerumus ke dalam kubangan penuh tipuan yang ia ciptakan. Tidak. Tidak ada lagi. Tidak akan ada lagi tangisan yang ku persembahkan untuknya.
Aku akan menata hatiku kemana arah yang paling cocok untuk dilabuhkan. Satu hati ini untuk satu hati pula. Berarti bukan Jungkook. Sebab, Jungkook membagi hatinya. Yaa, dugaan ku benar. Jungkook membagi hatinya untuk Ibu ...
Dan untukku.
...
"Kenapa matamu sembab? Kau habis menangis?"
Aku memejamkan mata ketika jemari Jimin mengelus kantung mataku yang membengkak luar biasa esok paginya. Setelah semalaman aku menangis hebat hingga lelah datang dan membuatku terlelap begitu saja dalam buaian mimpi. Namun, ingatan semalam tentu saja tidak akan surut dari dalam kepalaku sekarang.
"Mm, aku ... " Mengulum bibir gugup lantaran kini aku tengah memikirkan kata-kata yang tepat untuk diujarkan kepada Jimin. "Aku semalam bertengkar dengan Ibu. Ya ... pertengkaran kecil," tuturku sembari mengedikkan bahu sekilas.
"Bertengkar?" Jimin mengajukan tanya dengan kening mengerut dalam. "Ada masalah apa hingga kalian bertengkar, hm?"
Suara Jimin benar-benar lembut sekali memasuki pendengaranku. Pun aku dibuat tersenyum tipis dengan perasaan yang mulai berubah cerah kendati sebelumnya masih mendung sedari malam.
"Tidak. Ini hanya masalah sepele," elakku lagi. Ku tarik nafasku dalam-dalam sembari membingkai senyum penenang. "Kami sekarang sudah baik-baik saja. Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku, Jimin."
"Hei," Jimin beringsut mendekat dan semakin mengeratkan genggaman pada tanganku. "Sudah sepatutnya aku khawatir. Bahkan di hari sebelumnya tepat saat aku mendengar suara serakmu. Seperti sehabis menangis. Dugaan ku benar, bukan?" Sebelah alisnya menjungkir naik menuntut jawaban. "Sudah berapa lama kita saling mengenal, Jiyeon. Kau tidak akan bisa menipuku."
Perasaan bersalah lekas menyerangku. Lantas aku menundukkan kepala dengan netra yang memanas. Ah, sial. Kenapa aku semudah ini mengeluarkan tangis? Air mata itu berharga. Aku harus teguh dan kuat.
"Aku ... maafkan aku," aku berungkap lirih. Defensif dalam tundukkan kepala sebelum daguku diangkat oleh jemari Jimin.
Helaan nafasnya menguar manakala melihatku kini yang mengeluarkan air mata. Lantas, jemarinya dengan lembut menyeka liquid bening itu. Bibirku ditekuk ke bawah lantaran perasaan bersalah menghantui lagi di dada. Aku merasa bersalah pada Jimin yang jelas-jelas sangat mencintaiku. Tapi, sampai saat ini aku masih meragu untuk kembali berhubungan dengannya.
Entah karena hadirnya Jungkook yang membuatku bimbang, atau karena aku takut ditinggalkan lagi saat rasa sayang itu masih ada.
"Tidak apa. Aku tidak memaksamu untuk bercerita," Jimin berkata lembut dengan tone beratnya. "Menangislah jika itu membuatmu tenang, hm. Yang pasti, aku akan selalu mencintaimu, Ji."
Maka aku semakin mengeraskan tangisanku. Beringsut mendekat dan memeluknya erat. Menenggelamkan keseluruhan wajahku di dalam dada bidangnya. Meredam tangisku yang kini berubah menjadi raungan. Aku memeluk Jimin erat yang dibalas usapan hangat di punggung ku.
Seharusnya aku tidak menaruh perasaan untuk Jungkook jika akan tersakiti. Pada akhirnya, aku memang tidak bisa mengalahkan posisi Ibu. Jungkook adalah ayahku. Dan Jungkook adalah suami Ibuku. Aku harus menerima fakta itu.
Ingat. Ya, aku harus mengingatnya. Aku dan Jungkook memang tidak akan bisa bersatu.
Maka, apa yang ku utarakan sekarang adalah jawaban mutlak dari perasaan Jimin yang sebelumnya tergantung. Di dalam rengkuhannya aku berungkap tegas. Disela tangisanku yang deras, aku berkata lantang.
"Aku—aku juga mencintaimu. Aku mencintaimu, Park Jimin."
-seagulltii
24 April 2020Gimana puasa di hari pertama kalian tahun ini? Lancar? Atau terasa berat kah?:')
Btw, tinggal beberapa chapter lagi, nih. YD akan berakhir. So, ada yang bisa nebak endingnya bakalan kek gimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Daddy ✓
FanfictionKetika kehidupan damai Park Jiyeon mulai terusik dengan kedatangan ayah barunya. Memporak-porandakan hatinya. © 2019 proudofjjkabs