24 | Sebuah kekecewaan

622 37 3
                                    

Ia tersenyum tipis saat membaca pesan yang pertama kali masuk pada ponselnya setelah jam dua belas malam ini. Dia masih melangkah menuju kamarnya, dengan tangan dan tatapan masih tertuju pada ponsel.

Pesan itu tidak banyak hanya beberapa dari orang terdekatnya, dan yang paling pertama masuk pada ponselnya adalah Raina.

Raina ... selalu saja jadi orang pertama yang mengucapkan ulang tahun untuknya, Raina tak pernah lupa pada dirinya.

Langkahnya terhenti saat mendengar suara decitan pintu yang berasal dari kamar mamanya. Mata Windy berbinar, senyumnya merekah. "Mama ...."

Wanita paruh baya itu kini melihat ke arahnya. "Bagus, ya. Pulang sekolah malah jalan-jalan sampe nggak ingat waktu." Alis Windy bertaut, dia lagi-lagi kecewa. "Itu siapa yang bawa kamu? Nggak ada sopannya pulang tanpa izin dulu."

Ma, ini ulang tahun Windy. Seharusnya ngucapin.

Windy menatan mati-matian airmatanya, juga dengan gumpalan pahit di tenggorokannya yang menyulitkan dirinyauntuk berbicara lagi. Ia menatap sang mama datar tanpa ingin mengucapkan apapun lagi. Satu kata saja dia mengeluarkan suara air matanya akan meluncur bebas di udara.

"Awas aja kalau sekali lagi kamu ulangin!" Bunda memarahinya lagi. Tubuh wanita paruh baya itu bergerak menuju dapur, meninggalkan Windy dengan segudang harapan yang gadis itu miliki.

Di tempatnya, Windy terpaku menatap punggung mamanya yang tak ingat dengan ulang tahunnya sama sekali, menatap mama yang dulu memeluk dan mencium pipinya disaat ulang tahun.

Tanpa dia perintahkan air matanya menetes

Dia tidak boleh di sini!

Windy melangkahkan kakinya menuju kamar, menutup pintu kamar dengan kasar kemudian menyeka air matanya.

Selalu seperti ini. Mely memang tak pernah ingat dengan ulang tahunnya semenjak berpisah dengan papanta, kalaupun ingat bunda tidak pernah langsung mengucapkan padanya.

Tadi, saat melihat mama keluar dari kamar, besar harapan Windy agar mama memberinya ucapan dan memeluknya seperti saat sebelum orang tuanya berpisah.

Setelah orang tuanya bercerai tak ada yang perduli akan dirinya, bahkan dengan hal sederhana seperti ini.

Dia menutup seluruh tubuhnya dengan bedcover, menyeka air matanya berkali-kali kemudian mengeraskan hatinya untuk tidak perduli pada apapun saat ini.

Dia perlu sedikit egois untuk kali ini.

Windy menyeka air matanya lagi-lagi. Kemudian membaringkan tubuhnya terlentang, matanya menatap fokus beberapa pesan yang masuk pada ponselnya. Hanya sedikit pesan masuk yang mengucapkan ulang tahun untuknya, dia mencari nama Rai disana namun tidak ada. Biasanya sama seperti Raina, Rai juga mengucapkan wish tepat pada jam dua belas, meskipun mereka memilih tak lagi bertegur sapa.

Namun kini, semenjak Rai dekat dengan Raina semua terasa berubah. Semua tak sama, orang-orang seolah hanya peduli pada Raina.

Sementara dirinya tidak lagi dipedulikan. Hal-hal yang dulu menjadi miliknya hilang seketika.

~®w~

Gadis itu membuka mata berlahan, kemudian mengedipkan matanya beberapa kali saat pandangannya terlihat kabur dan silau akibat cahaya matahari yang masuk lewat celah-celah jendela. Ia memilih mengambil kaca mata yang tadi malam dia letakkan di nakas, memakainya dan memilih duduk sembari menunggu penglihatannya kembali normal agar bisa bergegas ke sekolah.

Layar ponsel yang terletak di nakas menyala menampilkan notifikasi Line dari seseorang. Matanya melebar saat menyadari itu. Bukan, bukan pengirim pesan yang membuatnya terkejut tapi karena jam digital yang tertampil pada layar benda yang berbentuk kotak itu. Raina beralih pada jam dindingnya yang menunjukan jam tujuh lewat empat puluh delapan menit. Raina menepuk dahinya karena dia lupa memasang alarm di ponsel karena jam wekkernya rusak tadi malam.

"Bodoh banget sih gue! Hari ini ulang tahun Windy...." Dia berdecak. Raina melirik kado yang terletak di depan cermin. "Gue nggak bisa dong ngasi kado itu."

Raina mengambil ponselnya, menggeser layar dan membuka pesan yang tadi dia lihat. Matanya melebar saat membaca isi pesan itu.

Raian Tri Mahardika:
Tadi gue ke sekolah, tapi disuruh pulang karna telat, gue kerumah lo aja ya.

Keningnya mengernyit, sejak kapan seorang Raian Tri Mahardika telat datang ke sekolah?

Tiga bulan kenal dengan cowok itu membuat Raina tau betul apa kebiasaan Rai. Ia tidak pernah punya sejarah telat sejak kelas sebelas ini.

Ponselnya berdering menampilkan panggilan dari Rai. Cepat-cepat Raina menggeser ikon hijau.

"Halo Rai, kenapa?" Raina menarik selimutnya hingga ke dada.

"Gue di depan rumah lo, bukain pintu."

"Hah, ngapain? Gue belum nge-iya-in permintaan lo."

"Bukain dulu pintunya."

Raina mengangguk. "Sebentar." Katanya lalu memanggil Bi Nani.

"Kenapa Non?" Wanita paruh baya itu masuk ke kamar Raina setelah di panggil.

Raina menjauhkan ponsel itu dari telinga. "Mama kemana?"

"Nyonya baru saja pergi, tapi Bibi nggak tau kemana," katanya kemudian diam setelahnya.

Pasti pergi sama om-om kemarin.

"Bi tolong bukain pintu, ya, temen Raina datang."

Bi Nani mengangguk dan beranjak setelahnya.

"Lo udah baikan?" Suara itu terdengar lagi.

"Udah lumayan sih, tapi gue masih sering pusing," ucap Raina dengan Nada kecewa.

"Makasih Bi." Suara Rai yang mengucapkan terima kasih itu masih bisa terdengar di ponsel Raina. Raina memilih menunggu Rai bertanya lagi tanpa memilih bersuara duluan.

Panggilan mereka terputus tepat setelah pintu kamar Raina terbuka. Raina dapat langsung melihat Rai yang memakai seragam sekolah dan membawa bungkusan.

Raina tersenyum tipis saat bibir Rai lebih dulu melengkung. Perempuan itu berusaha bangkit untuk duduk. "Lo kok bisa telat?"

"Gue bangunnya kesiangan, tadi pas gue datang eh Pak Wira nggak ngasi gue masuk," katanya bebohong. Sebenarnya dia memang sengaja tidak masuk dan memang sempat ke sekolah untuk meletakkan sesuatu.

"Tumben," kata Raina sambil menarik sedikit selimutnya.

Asisten rumah tangga Raina masuk membawa sebuah mangkuk kosong dan sendok juga segelas air hangat. "Makasih Bi," ucap Rai setelah menerima benda itu.

Ia menuangkan sop yang tadi sempat dia beli di jalan, setelah tertuang semua Rai membuang bungkusannya ke tempat sampah yang ada di kamar Raina.

Tubuhnya bergerak maju membuka kaca mata Raina dan meletakkannya di nakas, setelahnya tangannya bergerak ia menyulangi sop ke mulut Raina.

Matanya menatap lekat mata Raina kemudian dengan gerakan tubuh dia menyuruh Raina membuka mulut. Tanpa pernah dia tau, Raina selalu jatuh cinta dengan tatapan itu.

Setiap kali mata cokelat itu menatap lekat matanya.

Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang