Sang Pemimpi
Jumat, 20 Oktober 2017 seperti tersengat aliran listrik dari ujung kepala hingga ujung kaki terbujur kaku larut haru dalam kebahagiaan. Hari itu tercatat sebagai hari bersejarah dalam hidup ini. Sediakala sering terdengar jika impian akan terwujud jika ada usaha dan doa yang dikompilasikan serta dikombinasikan secara intends. mulai detik itu terukir dalam benak ini sebuah kutipan ayat suci Al-Qur'an "Kun Fayakun" yang menggepuk hati untuk kembali bersemangat mewujudkan mimpi-mimpi selanjutnya.
Perjalanan haru bahagia dari seorang anak yang terlahir dari keluarga tak berpendidikan secara formal karena bapak dan ibuk hanya berijazahkan Sekolah Dasar akan segera dimulai. Namun pendidikan karakter yang diberikan oleh kedua orang tuaku yang secara otomatis tercermin dalam kehidupan sehari-hari membuat diri terbiasa dengan benturan-benturan keras hingga memunculkan keberanian diri untuk mendobrak "block" besar. Menggali ilmu pengetahuan dibangku perkuliahan menjadi penting ketika derajat keluarga ini yang menjadi pertaruhan dalam proses pencarian jati diri.
Oke... mari kita mulai cerita dari Sang Pemimpi !!! awal kisah, tempo dulu ketika duduk dibangku Tsanawiyah, kelas 8B MTsN Ngawi kedatangan tamu. Tamu itu entah datangnya dari mana kala itu yang teringat hanyalah sebuah penawaran biasa yang dibawakan oleh tiga manusia; yang satu adalah laki-laki berkulit putih berambut pirang, tinggi seperti perawakan "Bule", dan yang dua adalah wanita manis dengan suara lembut khas orang asli pribumi Jawa. Dipertengahan penawaran ketertarikan hati mulai muncul ketika iming-iming mereka berupa kemampuan mempelajari bahasa Inggris yang kala itu menjelma sebagai mata pelajaran yang seperti setan entah karena gurunya yang "Gak Asyik" atau materi bahasa Inggris yang begitu sulit untuk diserap. Mulailah mereka mengeluarkan jurusnya dengan mengatakan rumus belajar bahasa Inggris dengan lancar hanya dalam waktu singkat, apa rumusnya ? bahasa adalah kebiasaan, mereka mengatasnamakan lembaga dari "Kampung Inggris" Pare Kediri. Hati ini semakin bergetar kala dipaparkan sosok-sosok manusia yang meraih nilai sempurna (10) UN mata pelajaran bahasa Inggris yang merupakan jebolan "Kampung Inggris".Ketertarikan itu tak berlangsung lama setelah tadi membuat hati tergetar, diakhir presentasi ada sebuah pernyataan yang kemudian sontak menjatuhkan ghairah ini, yaitu jika ingin seperti mereka ada biaya yang dikorbankan untuk mendapatkannya. Biaya tersebut tidak kecil untuk sebatas anak seoranga pedagang kerupuk seperti sang pemimpi. Diri ini hanya mampu termengu dan berpikir, "ahh.. mana mungkin aku bisa ikut program tersebut hmmm".
Ditengah riuhnya suasana kelas kala itu ketika teman-teman segera menghubungi sanak keluarganya baik lewat telepon, SMS, hingga yang memiliki gubuk dekat bergegas pulang untuk memberitahu bahwa ada berita yang menakjubkan. Termerenung dan membis,. Akhirnya sekitar 75% populasi kelas memutuskan untuk bergabung dalam program tersebut dan 25% sisanya bernasib malang hanya mampu bermimpi indah lebih lama.
Mimpi dari Sang Pemimpi begitu banyak. Tetapi yang diingat dan selalu teringat hanya beberapa. Mimpi itu terus berjalan dalam bayangan terkait aktivitas yang ada dalam program itu melalui cerita-cerita dari mulut mereka yang berkesampatan untuk ikut. Senyum dari mulut namun tangisan darah muncul membersamai bayangan hasil imajinasi tersebut. Tingginya ambisi ini mengakibatkan suatu kondisi seperti "Dejavu" seolah-olah pernah mengalami padahal belum mengalami di masa mendatang.Beberapa tahun setelahnya mimpi sang pemimpi tak hanya berhenti pada masa itu. Mimpi tersebut merangsang hadirnya mimpi lain yang hadirnya dari sebuah pernyataan juga. Mimpi kedua inihadir dikala berada di bangku kelas X IPS 2 ( Ilmu Pengetahuan Sosial) MAN 1 Ngawi. IPS bukanlah tujuan jurusan untukku, melainkan keadaanlah yang membawa untuk memilih menggeluti jurusan itu. Keadaan itu lucu hehe, waktu itu jarak tempuh antara gubuk dan madrasah yang lumayan begitu jauh untuk ditempuh dengan sepeda kayuh, membuat diri ini memutuskan memilih IPS karena hanya ingin menebeng setiap hari berangkat dan pulang sekolah dengan tetangga sekaligus sahabatku. Asumsi itu muncul dari benak ini ketika dapat menebeng kemudian hal-hal tragis ketika MTsN seperti dengan kayuhan kaki untuk ruas sepeda yang acapkali berubah menjadi jalan kaki dengan menggandeng sepeda, dikarenakan memang sepeda tua itu telah usang tak terjadi lagi. Hanya asumsi itu yang terpikirkan taka da cita-cita atau harapan besar kecuali mimpi kedua yang akan segera tercurahkan.
Waktu menjawab hikmah dari kejadian lucu itu. Aku menyebutnya sebagai hikmah daripada tersesat ke jalan yang benar. Di IPS membuat diri ini berada dikondisi keluar dari zona nyaman tetapi menikmati bagaimana menjadi siswa sosial, berkerumunan dengan anak-anak yang memiliki solidaritas tinggi, tak egois, memiliki loyalitas tinggi yang sering kali memberikan pelajaran hidup diluar nalar. Dimata guru, TU, kepala hanyalah sesosok sampah dibandingkan dari jurusan IPA dan AGAMA. Hal itu tidak lain karena keaktifan anak sosial sebagai anak yang selalu melakukan tindakan diluar dari batasan. Beda halnya di mata mbak "Am" dan yu "Seh" (kantin langganan kami) anak sosial menjelma sebagai malaikat hidup karena pendapatan keluarga mereka meningkat dengan kegiatan anak sosial setiap waktu mojok dibelakang kantin sembari bergurau dan berdiskusi kecil-kecilan.
Suatu ketika, diskusi agak serius ketika anggapan kami yang selalu dikucilkan tetapi dan dianggap sampah menimbulkan niatan untuk membuktikan. Kepada semua orang yang selalu menganggap kami itu sampah terucap ikrar untuk menutup mulutnya dan membuka matanya dengan prestasi-prestasi yang indah. Pembuktian tersebut nampaknya tak sulit diraih ketika ambisi menimbulkan sebuah usaha keras dan diiringi doa. Terbukti tak lama kemudian, diri ini mengukuhkan diri menjadi juara 10 di Kompetisi Sains Madrasah pelajaran Ekonomi, Juara 1 lomba Pencak Silat antar kabupaten serta Juara 3 Futsal Se-Eks Karisidenan Madiun.
Dari pembuktian itu keberadaan sampah mulai menerima pengakuan. Tidak sedikit guru-guru yang terkejut dan kemudian kagum akan keberhasilan itu, salah satunya adalah guru mata pelajaran Geografi bernama ibu Sri. Bu Geo panggilan khusus untuknya, sering memberikan motivasi dikelas kami, salah satu pernyataannya yang kemudian menjadi babak kelanjutan bagi Sang Pemimpi. Beliau bercerita akan keberhasilan kakak tingkat kami meraih Beasiswa Bidikmisi ke jenjang pendidikan lebih lanjut yaitu kuliah. Prosesnya hamper mirip dengan mimpi pertama, tetapi bedanya mimpi yang kedua ini nampaknya tidak mustahil untuk diwujudkan karena Bidikmisi merupakan Beasiswa dari pemerintah yang diberikan kepada siswa miskin yang berprestasi baik dalam bidang akademik maupun non akademik.
Reaksi dari hasil pernyataan tersebut mewujudkan aksi diri ini diakhir masa-masa menjadi siswa menengah atas sering kali mengunjungi kantor Bimbingan Konseling untuk mengorek info sedalam-dalamnya tentang Bidikmisi hingga guru BK dengan nada sedikit bercanda mengatakan bahwa dirinya bosen melihat tampangku yang selalu absen dikantornya.Tapi tak mengapa kunjungan itu bukan sekadar kunjungan, karena ada mimpi besar yang harus diwujudkan.
Informasi tersebut tak berhenti pada pengetahuan pribadi semata. Baiknya sebagai anak berbakti mencoba menyampaikannya kepada kedua orang tua. Ekspektasi tak sesuai realita,, penolakan hadir secara mentah dari mereka. Maklum saja mereka tidak pernah menganyam pendidikan formal secara dalam, jadi mungkin hal itu yang menjadikannya menolak mimpi ini. Perjuangan terus berlanjut, kalau berhenti bukan Sang Pemimpi namanya.
Alasan mereka adalah perihal material berupa bagaimana biaya hidup, biaya perkuliahan, biaya perjalanan dan "Tetek Bengek". Strategi mulai bermain, diri ini mencoba memberikan argumentasi yang realistis namun sedikit melebih-lebihkan, ku katakana pada meraka "Bidikmisi itu beasiswa pendidikan miskin berprestasi pak/buk, jadi kalau aku masuk kuliah dengan Bidikmisi apa-apanya gratis bahkan digaji per bulannya", pernyataan tersebut meskipun belum seutuhnya meluruhkan hati mereka tetapi sedikitnya memberikan cahaya dalam kegelapan dengan melihat respon ibuku kala itu "Yowis le nek tarah anggonmu pengen kuliah temenan, yo lakonono ibuk lan bapak mung iso dedungo amergo bapak/ibuk gak jowo opo-opo, tapi janji pesene ibuk yen pengen kuliah jupuko ning Solo ning kono panganan murah tur ojo lali kuliaho nganggo bidikmisi nek gak nganggo bidikmisi yo kerjoo sik di nggo wira-wiri". Tak kusangka pernyataan itu membuat kristal-kristal air mata membasahi sudut pipi ini, pesan itu langsung memecutku untuk bergegas bergerak menjemput mimpi.
Langkah awal memutuskan untuk terlebih dahulu diri ini mencari kerja untuk bekal biaya nanti. Tuhan mengabulkan doa ini tak selang lama pencarianku terjawab sudah ada lowongan kerja sebagai penjaga dan pembersih Gor Bulutangkis. Masa itu tepat bulan ramadhan, aku membuat target untuk bekerja selama 2 bulan kemudian uangnya untuk biaya pra kuliah. Siang hari aku beribadah menahan segala sesuatu yang dilarang Tuhan ketika berpuasa, malam hari aku beribadah bekerja menyapu, mengepel lapangan serta melayani pelanggan hingga larut malam. Sempat muncul rasa bosan dan capek ingin berhenti. Perasaan itu selalu tak berlangsung lama karena obatnya sudah ada; setelah aku pulang merebahkan punggung di kasur empuk beralaskan anyaman tikar sembari menatap pesan ibu serta mimpi besar yang terukir indah dalam selembar kertas di dinding kamar, seketika rasa capek dan bosan itu sirna.
Dua bulan telah berlalu kala itu mimpi ini memasuki babak pertaruhan, kusesuaikan antara pesan ibu dan keinginan. Akhirnya membawa terhadap pilihan untuk mendaftarkan diri ke kampus biru dengan alasan menurutku kampus itu ideal serta idaman bagi siswa-siswi di Indonesia dengan jalur bidikmisi. Hari-hari harap cemas menunggu pengumuman kuisi dengan mendekatkan diri kepadanya dengan memperbanyak amalan-amalan ibadah salah satunya adalah salat dhuha. Setiap hari sebelum memulai pelajaran didalam diri ini selalu menyempatkan diri untuk menuju masjid sekolah yang tempatnya dipojok dan didalamnya bermunajat hingga tak jarang meneteskan air mata. Pengaduanku atas usaha ini dalam mewujudkan mimpi.
Pergolakkan kemudian memuncak ketika kala itu pengumuman dan hasilnya "Nihil" hanya pesan "Jangan Putus Semangat" berwarna merah di website PPDB Nasional. Berasa dunia berhenti berputar pada porosnya, dan mulai berguncang antara hati dan pikiran, apakah iya Tuhan sebegitu jahatnya hingga mimpi besar kali ini juga tak bisa kuraih lagi ?. Coretan pesan Ibu dan mimpi didinding kamar tak mampu mengobati kali ini, justru aku merobeknya menjadi kepingan-kepingan kecil tak teratur sebagai luapan kekecewaan terhadap apa yang telah menimpa diri ini.
Pagi ke pagi terasa matahari tak bersinar lagi hanya gelap memenuhi setiap sudut bumi ini. Ciutan burung-burung, kokokan ayam, serta panggilan ibu tak mampu menggairahkan diri ini. Sampai suatu ketika ada teman kelas yang lagi-lagi sebagai anak sosial memiliki kepekaan sosial memberikan informasi perihal adanya pendaftaran kuliah di IAIN Surakarta. Meskipun tak juga mengghairahkan sebagai wujud penghormatan, aku hanya menjawabnya daftarkan diriku di jurusan Manajemen Bisnis Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah dan ternyata temanku itu mendaftarkannya dengan handphone nya.
Hari-hari hanya bisa diam serasa garam taka asin lagi, gula tak manis lagi, mahoni tak pahit lagi bahkan cabai tak pedas lagi. Tanpa disangka hal yang tak pernah kuharapkan itu justru membuahkan hasil, ketika aku menerima pesan WA dari temanku itu yang isinya gambar pengumuman tertulis "Selamat Arian Agung Prasetiyawan Anda Diterima" seketika sedikit merubah duniaku. Hal yang pertama kulakuakan memeluk ibuku dan meneriakkan berita itu kepadanya. Tawa haru pecah saat itu, meskipun tidak sesuai dengan rencana semula setidaknya bisa dijadikan pelipur lara.
Keesokan harinya diri ini segera mengurus segala hal terkait pendaftaran itu. Ditengah-tengah melengkapi persyaratan tak disangka muncul sebuah titik putih kembali dalam kegelapan. Titik putih itu berupa berita di website resmi IAIN Surakarta terkait pendaftaran beasiswa Bidikmisi. Tanpa berpikir panjang persyaratan yang tertulis disana segera kucari dan kupenuhi.
Singkat cerita, mimpi itu kembali menumbuhkan harap cemas pada diri ini, pasalnya hingga hari pertama aku membersihkan diri kemudian mencangklong tas dan memakai sepatu serta menginjakkan kaki pertama di kampus untuk melaksanakan PBAK (Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan) hingga perdana mengikuti perkuliahan didalam kelas pengumuman Bidikmisi belum mucul juga. Tak apa diri ini putuskan untuk menjalani setiap perkuliahan dengan biasa tanpa terus berkeluh kesah selain kepadaNYA.
Hingga sampailah pada hari Jumat, 20 Oktober 2018 "Kun Fayakun" sebuah pengumuman bidikmisi di website resmi IAIN Surakarta diantara 1000 anak yang ikut seleksi dan terambil 114 saja tertulis nama "Arian Agung Prasetiyawan". Serasa digepuk diri ini lumpuh beberapa saat terasa dunia begitu megah, kebesaranNya begitu nyata. Berbekalkan modal nekat dan niat kuat untuk mengangkat derajat keluarga mulai diberikan jalan untuk sebuah mimpi besar itu. Bergegas aku menelepon ibu melalui nomor tetangga. Diri ini mencoba menahan air mata yang terjadi mulut terasa kaku tak bisa berbicara dan ibu bertanya-tanya. Dengan memaksa pelan-pelan kukatakan bahwa mimpi itu menjadi nyata kepadanya, luapan air mata tak mampu terbendung, via udara kami berpelukan dan larut dalam haru bahagia.
Mimpi kedua Sang Pemimpi menjadi nyata. Hari-hari berikutnya kaki terasa ringan untuk melangkah menuju kelas, tubuh semakin terangsang untuk beribadah kepadaNya, hati semakin bersemangat untuk melakukan kegiatan apapun. Seperti pepatah "Mendapat badai tertimbakan" ketika pembinaan mahasiswa/I yang berhasil meraih bidikmisi di aula rektorat IAIN Surakarta lantai 3 ada sebuah pesan dari pak Syamsul selaku Wakil Rektor III bahwasanya penerima bidikmisi IAIN Surakarta ada program pengembangan bahasa asing dengan belajar di Kampung Inggris Pare Kediri. Tubuh ini melemas seketika, entah apakah ini adalah jalan dari sang maha kuasa untuk sang pemimpi ? yang jelas mimpi pertama hadir didalam mimpi kedua. Kini mimpi itu tak sebatas mimpi, mimpi itu bertransformasi menjadi kenyataan dalam hidup ini, ucapan puji syukur tiada tara untuk sang Illahi, yang terwujud juga dalam kehidupan sehari-hari untuk lebih peka dalam hal membantu sesama.
DEJAVU
Bidikmisi sebuah beasiswa pendidikan untuk mahasiswa miskin berprestasi dengan slogan "Menggapai Asa dengan Memutus Mata Rantai Kemiskinan". Mencoba menguliti slogan tersebut kemiskinan yang diputus dalam bidikmisi tidak hanya miskin dari segi materil saja melainkan miskin akan ilmu pengetahuan dan wawasan juga. Program pengembangan bahasa di Kampung Inggris Pare merupakan wujudnya.
Aku menemukan orang-orang hebat di bidikmisi, mereka adalah bibit-bibit unggul yang memiliki segudang kelebihan baik dari segi akademik maupun non akademik. Bersamaan dengan terwujudnya mimpi keduaku meraih bidikmisi secara langsung membuat diri ini tergabung dalam keluarga bidikmisi IAIN Surakarta yang terikat dalam sebuah Forum Mahasiswa Bidikmisi IAIN Surakarta. Relasi bertambah dengan sharing minat dan bakat didalam forum itu merupakan kesempatan yang belum tentu didapatkan oleh orang lain.
Tibalah waktunya dimana mimpi pertama menjadi nyata tidak hanya berwujud pernyataan dari mulut pak Syamsul selaku Wakil Rektor III saja. Kala itu liburan semester 2 menuju semester 3, 114 mahasiswa bidikmisi angkatan 2017 bersuka ria. Pra kegiatan kumpulan selalu kita galakkan untuk mempersiapkan diri karena sejatinya hanya satu, dua anak saja yang pernah menimba ilmu pengetahuan disana. Tak jarang dalam perkumupulan rutian yang diadakan di masjid kampus setiap 2 minggu per bulan mendatangkan kakak tingkat untuk memberikan gambaran terkait keadaan disana dan tips apa yang harus dipersiapkan.
Hingga persiapan pra kegiatan sudah matang sampailah pada hari dimana ditunggu-tunggu. Kami ber 114 terbagi menjadi 3 bus pariwisata besar berada di titik kumpul depan gedung Rektorat IAIN Surakarta, siap berangkat. Di dalam bis aku mencoba merenung dan merasa pernah dalam situasi ini, dan setelah melalui proses mengingat ternyata kejadian ini pernah menjadi imajinasi kala mimpi pertama yang belum tercapai dahulu. Meskipun datang ke Pare dengan pikiran kosong nampaknya imajinasiku kala itu mulai menyual muncul satu persatu menjadi kenyataan. Aku menamakanya "Dejavu"
Dejavu berlanjut ketika sesampainya disana aku dan kawan laki-laki dikumpulkan dalam sebuah asrama dimana didalamnya ada batas area yang mengharuskan berbahasa Inggris saja. Kata-kata ketiga manusia yang bersosialisasi dikelasku itu ternyata terbukti. Mereka mengatakan belajar bahasa Inggris adalah sebuah kebiasaan dan imajinasiku terhadapnya tak bertolak belakang dengan realita saat ini.
Kami rombongan bidikmisi IAIN Surakarta dibagi menjadi 3 asrama bahasa Inggris dimana 2 untuk perempuan dan 1 untuk laki-laki serta 2 asrama bahasa Arab 1 laki-laki dan 1 perempuan. Bukan artinya satu asrama itu khusus untuk rombongan kami tetapi didalam asrama ada manusia lain yang hadir dari penjuru Indonesia bahkan luar negeripun ada. Dalam asrama ada peraturan yang menuntut untuk sebuah output kedisiplinan pada diri yang menginap disana. Didalam asrama ada kelas pagi dan juga kelas malam. Kelas pagi dimulai pukul 05.30 am setelah salat subuh, dan kelas malam dimulai pukul 18.30 pm setelah salat maghrib, selebihnya di siang hari kami mendapati kelas sesuai dengan jadwal dan program apa yang diambil.
Imajinasiku kala itu kembali terwujud ketika bayangan waktu itu aku dikumpulkan dalam sebuah ruangan bersama orang-orang hebat dan setiap pagi dengan mata telanjang dapat melihat kebesaranNya berupa matahari terbit diufuk timur menjadi nyata. Satu kamar dari rombongan bidikmisi IAIN Surakarta dan ditempatkan di kamar lantai 3 paling pojok, setiap kami mendapati pemandangan gunung kelud yang begitu gagah dan terpencar sinar matahari yang mulai terbit merupakan pengalaman luar biasa. Dalam satu kamar kami dapat mengetahui kebiasaan masing-masing serta dapat sharing.
Tak berhenti disitu kejadian pembelajaran dalam program itu rasa-rasanya pernah ada dalam hidup ini. Ketika dalam satu kelas berada dengan orang-orang yang berbeda umur ada yang masih SMP da nada yang sudah berumur 40 tahun, berbeda warna kulit, berbeda logat bahasa, berbeda keyakinan tetapi hal itu muncul menjadi sebuah keharmonisan. Mereka datang dengan tujuan masing-masing tetapi secara umum adalah untuk memperbaiki bahasa Inggris mereka, entah itu tuntutan pekerjaan, tuntutan orang tua, atau bahkan untuk bekal mendaftar kuliah.
Kampung Inggris bisa dikatakan miniature Indonesia, ada berbagai macam etnis disini dari Papua hingga ke Aceh. Keramaian disana berupa rumput hijau yang dapat dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai mencari rezeki. Dari berjualan oleh-oleh khas Pare, Café, Studio Musik, Lapangan Futsal, hingga Makanan khas ada disana. Keheranan berlanjut ketika kala itu aku berimajinasi mendatangi sebuah warung sederhana tetapi ramai pengunjungnya bersama dengan wanita dan itu menjadi nyata.
Wujud dari imajinasi diatas adalah dengan kunjunganku dikala libur hari minggu ke warung "Tansu" (Ketan Susu) yang merupakan icon Pare bersama dengan Wati yang merupakan teman sekelasku dikampus dan penerima bidikmisi juga. Waktu itu Wati mengambil program bahasa Arab, ketika janji untuk mengunjungi tansu bersama karena tempatnya lumayan jauh dari asrama kita dia ditemani oleh sahabatnya si Mus. Sesampainya disana persis dengan imajinasiku dahulu, situasi ramai, riuh sekali dan kami mencoba memesan 3 lepek tansu dengan varian lengkap. Percakapan kami mengalir bersama rasa manis dan gurihnya tansu tersebut. Di tengah-tengah percakapan aku mengatakan bahwa kondisi ini seperti pernah ada dalam hidupku, entah kapan dan bagaimana bisa aku tak tahu kepada mereka. Tanggapan dari Wati yang mengejutkan ternyata ia juga menyampaikan mengalami "Dejavu" di sini. Sesendok tansu yang tersisa mengakhiri percakapan ini, dan setelah itu kami memutuskan untuk kembali ke asrama.
Hari terus berlanjut, ketika itu muncul wacana untuk memberikan program kemanusiaan berupa bakti sosial untuk warga sekitar karena kesadaran dan wujud rasa syukur dari kita mahasiswa/I bidikmisi yang mendapatkan dana dari rakyat tentunya ada sebagian hak untuk rakyat lainnya. Akhirnya wacana itu menjadi realita ketika melakukan survei ada 2 keluarga yang memiliki keadaan memprihatikan ditengah hiruk pikuk Kampung Inggris Pare. Keharuan pecah ketika faktanya ada keluarga yang membutuhkan namun tak tersentuh uluran tangan dari sekitarnya. Baksos tersebut terlaksana dengan mendatangkan RT setempat dengan tujuan kegiatan kami ini dapat menyentil beliau bahwa ada warganya yang membutuhkan ditengah kemajuan yang ada di Pare. Senang rasanya meskipun tak sebanding bahkan hanya sepucuk kuku saja yang bisa kami berikan untuk mereka, tetapi setidaknya dengan kegiatan kami ini diharapkan dapat membuka mata mereka-mereka yang memiliki harta lebih untuk peka terhadap keadaan sosial.
Minggu terakhir bisa dikatakan menjadi sebuah imajinasi lagi yang rasanya menjadi penutup mimpi pertama itu. Kami serombongan bidikmisi angkatan 2017 IAIN Surakarta mengadakan kegiatan yang bertujuan untuk taaruf dan mempererat silaturahmi antar sesama. Kegiatan itu bernama Dolanan Bareng. Output dari Dolanan Bareng ini adalah untuk menciptakan suasana harmonis ketika kepulangan dari Pare di kampus kami. Selain itu untuk menutup kepenatan yang hadir setiap harinya ketika melakukan program kelas baik di asrama maupun regular disisa waktu ini. Sesuai dengan namanya dalam dolanan bareng diisi dengan bermain bersama dengan seru, dari berkeringat hingga berbasah-basahan. Untuk mengakhiri dolanan bareng ini panitia mengadakan tukar kado antar masing-masing anggota, supaya kado tersebut dapat teringat terus bahwasannya kita pernah berjuang bersama, belajar bersama, bermain bersama di sini di Kampung Inggris Pare.
Tak terasa satu bulan terasa cepat berlalu, kenangan indah hingga kegiatan sehari-hari bersama ini mungkin tak akan terulang lagi. Bagiku pengalaman berupa kegiatan dan kejadian yang menjadi sisa kesan dari semua ini. Meskipun demikian bekal belajar bahasa Inggris disini yang mungkin mimpiku pertama juga menjadi kesan yang tak terlupakan. Ingin hati untuk menciptakan suasana Pare in IAIN, untuk mengenang sekaligus menindaklanjuti ilmu yang sudah didapat di Pare. Sesuai dengan rumus belajar bahasa adalah kebiasaan dan keinginan itu mulai menjadi nyata ketika terwujud dalam komunitas SIBAS'17 (Sinau Bahasa Bidikmisi IAIN Surakarta).
Sang pemimpi sudah terwujud mimpi besarnya. Kini sang pemimpi memutuskan tidur kembali sejenak untuk menemukan mimpi besar selanjutnya. Ketahuilah mimpi hanya akan sebatas mimpi jika kalian tidak bangun untuk berusaha meraihnya. Jangan lupakan peran Tuhan didalamnya, semua yang ada di dunia ini hanyalah miliknya.
Wahai Sang Pemimpi tidurlah !
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Pemimpi
Short StoryCerita ini berawal dari kisah nyata perjuangan sang pemimpi yang sempat tertunda mimpinya dan terwujud bersamaan waktu kuliah.