1

75 4 8
                                    


Kuperhatikan ada pelangi di matamu. Tetap berwarna walau tanpa matahari.
Patahkan kakiku, dan kau menaikkanku ke atas punggungmu.
Ambil nuraniku, dan kau mendekapku untuk mengembalikannya.
Musnahkan jasadku, kau melawan takdir dan sekali lagi menyelamatkanku.

Kali selanjutnya kita bertemu, pelangi itu kehilangan warna. Hitam putih sisanya.

Dan kau menyerangku.

Tidak sekali, hitam putihmu kembali mencoba menghilangkanku dari dunia.

Saat itu kau bukan dirimu.
Tapi saat ini, kau adalah dirimu. Dan pelangi itu tidak ada. Pelangi yang seharusnya disana, tampak setiap irismu bertemu denganku.

Ada yang ingin kusampaikan, kau bilang.

Kau sudah menunggu di halaman depan, diantara patung enam legenda yang berbaris berhadapan di pinggir jalan setapak. Cahaya bulan menerangi sekelilingmu, aku hampiri dengan awas.

"Kaifeng."

"Ya?"

"Apa yang mau kau sampaikan?"

Hitam putih di matanya begitu kelam. Kepala tertunduk. Mulut tertutup.
Kutunggu dan dia masih tidak bicara. Aku menghela nafas. Kalau dia tak mau, percakapan ini aku saja yang memulai.

"Hei. Tadi... kau tidak benar-benar ingin membunuhku kan?"

Dia tertawa. Respon itu malah menambah tanda tanya. Ini kali pertama aku melihat dia tertawa lagi, sebagai dia yang sebenarnya. Dan kali ini hitam putih itu pergi, berganti pelangi yang dahulu. Berkas pelangi yang berbinar di matanya.

"Kenapa? Kau takut, Xiaoyi?" Nada meledek.

"Enak saja!" Sangkalku, "Lagipula, aku tidak mungkin kalah darimu!"

Belum lewat satu kedipan, pelangi itu pudar. Tatapan hitam putih kembali. Kosong. Terlalu tiba-tiba. Lengang suasana membuatku merasa salah kata.

"Kau benar. Aku tidak mungkin mengalahkanmu."

Sekeliling Kaifeng menggelap. Aura gelap terkumpul pada tangannya yang terkepal, membesar perlahan. Instingku mengatakan bahwa dia masih mungkin menjadi musuh, bersiaplah menangkis serangan dengan pedang,

"Kau akan selalu lebih hebat dariku,"

Tapi keliru. Aura hitam di tangannya justru dia lemparkan ke langit malam yang tanpa kusadari kini berawan.

"dan aku harus bisa menerima itu."

Dia mengeluarkan sisi buruknya lagi. Emosinya dilempar ke tempat dimana tidak ada yang terluka. Atau mungkin dia hanya menolak melukaiku lagi.

"Kaifeng, maksudku bukan itu."

Iris kehijauannya menolak menatapku.

"Aku hanya tidak percaya kalau saudara terbaikku ingin mengakhiri hidupku."

Halaman memori pertarungan kami terbuka lagi. Desing pedang yang memekakkan telinga. Air yang menghilang bersama api yang ia padamkan. Segala perasaan yang terkubur bangkit saat itu juga, mengabutkan pandangan kami tentang siapa lawan kami sebenarnya. Aku yang dimakan emosi. Dia yang ditelan kegelapan.

"Aku tidak mau menyangkal kalau ada kegelapan dalam diriku."

Pada kalimatnya ada keraguan. Keraguan tentang pantas tidak dirinya bertarung atas nama kebenaran

"Xiaoyi, aku iri padamu. Benar-benar iri."

Sekilas, seberkas warna terlihat pada matanya. Sekilas, lalu menghilang. Aura gelap kembali mengelilinginya, sama kuat dengan sebelumnya.

"Tapi kau saudara terbaikku. Aku akan selalu ada di belakangmu dan menjagamu kalau kau jatuh, mengabaikan keinginanku untuk menusuk dari belakang."

Senyum tulus itu datang bersamaan dengan perginya aura gelap. Aku terpaku menatapnya, rasanya sudah lama sekali tidak melihat senyum yang dulu kukira permanen di wajahnya.

"Kaifeng, kau ini benar-benar terlalu baik." Aku tidak tau apa respon yang harus kuberikan. Aku tidak mau dia terbawa kegelapan lagi.

"Aku seringkali lebih baik darimu, tapi kau banyak sekali membantuku. Selalu, malah."

Kuingat kembali bagaimana dia menopang kakiku yang pincang, bagaimana dia hampir kehilangan nyawa melindungiku, dan bagaimana kukira nyawanya benar-benar hilang ketika melindungiku.

"Dan hei, kalau kau menghitung berapa kali aku mengalahkanmu, harusnya kau juga hitung berapa kali kau menyelamatkan nyawaku!" Aku tertawa cengengesan, "Kalau dipikir-pikir memang iya, mungkin sekarang aku sudah mati kalau kau tidak ada."

Ekspresi terkejut untuk satu detik. Selanjutnya, senyumnya kembali. Pelanginya berkilat singkat, aku melihatnya. Tidak lama sebelum kembali berganti warna.

"Xiaoyi, ada yang ingin kusampaikan."

Dia melangkah mendekatiku.

"Walau aku tidak akan bisa meraihmu..."

Tangan yang tadi penuh kegelapan meraih tanganku. Yang satu lagi merangkul pundakku dan menarikku ke dalam pelukan. Wajahnya mendekat dan bibir kami bersentuhan, kecupan singkat yang bahkan belum sempat kunikmati karena cepatnya ia menarik diri. 

Dia memandangku. Dalam jarak sedekat ini, terlihat sekali apa yang tergambar di matanya. Aku seolah bisa merasakan kembali kenangan kami lewat matanya. Apa yang dia lihat ketika kami bersama. 

Saat itu juga aku melihat kedua iris yang dahulu memancarkan pelangi. Seberkas warna baru muncul. Warna miliknya. Kemudian berubah menjadi warnaku. Merah, perlahan turun menjadi biru, kemudian merah lagi. Berulang. Terus, sampai aku yakin itulah warna dia yang sebenarnya.

"Aku ingin kau tau siapa aku yang sebenarnya."

Itu warna yang cocok untuk dia.

---

Alt. Title: I'll Show You (My True Colors)

Author's Note:

Yaelah bocah 13 tahun baper ae lu. Semoga Baiyi memaafkanku sudah menistakan mereka berdua hehehehehehehehehehehew

Yup, color symbolism. Pelangi, hitam putih, lalu merah dan biru. Harusnya merah muda, tapi karena Xiaoyi merah jadi biarlah. 

Fic ini dibuat di Juli 2018, tapi aku edit sedikit dan aku post disini Januari 2019. Terima kasih sudah membaca!


IrisWhere stories live. Discover now