JUMPA

2 0 0
                                    


Kapas putih raksasa menggelayut di hamparan langit. Hampir tak ada warna biru di sana. Sinar matahari tembus menyilau di antaranya hingga membuat kapas putih raksasa itu menjadi agak bercampur orange kelabu. Ini bulan yang spesial. Tahun yang lalu di bulan yang sama hanya panas menjurus terik yang terasa. Tidak terlalu terasa ada nyiur hingga ke darat, karena memang laut lumayan jauh dari sini. Tapi kali ini, panas itu masih terasa namun nyiur juga berkembang intensitasnya menyapa darat, dan bahkan bahkan menjurus menjadi semacam badai berkekuatan mini. Tak jarang pula di bulan ini, terlihat pusara angin yang membentuk puting beliung berukuran kecil yang bagai pekerja sosial paruh waktu mengumpulkan sampah-sampah plastik bekas ciki dan daun kering yang ada di sekitarnya. Atau dahan dan ranting yang berjatuhan ketika sore hari karena angin sudah berkomplot dengan air langit yang tumpah, menumpahkan semacam kekesalannya atas manusia yang suka lupa terhadap alam, yang berhasil memporak porandakan pengendara motor yang lupa pakai jas hujan. Ya, terasa sekali ini memang bulan spesial.

Tapi bagi Karel, bisa saja bulan ini tidak terlalu spesial. Meski di bulan Januari tahun depan dia dan kekasihnya, Anin, akan mencapai usia pacaran yang kedua tahun, nyatanya anniversary terlanjur menjadi semacam ritual berkasih-sayang saja baginya. Dia sudah tidak merasakan gelora yang sama dengan yang dirasakannya pada pertama kali melihat perempuan yang disukainya itu hingga memberanikan diri untuk jujur terhadap perasaannya. Semua sudah terasa beda. Karel tidak lagi merasakan perhatian-perhatian yang dulu didapatnya dari kekasihnya itu. Tidak ada lagi sapaan mesra, tidak ada lagi gelak tawa, juga tidak ada lagi peluk ketika memboncenginya di atas motor. Semuanya terlanjur menjadi tidak biasa. Dan ketidakbiasaan ini makin menemukan muaranya ketika di suatu siang secara tak sengaja dia melihat Anin di dalam sebuah mobil, dimana dia duduk di sebelah laki-laki yang tengah mengemudikan mobilnya. Karel tau siapa laki-laki itu, dia adalah Fanus, seorang yang belum lama ini mereka kenal. Hati Karelpun makin remuk redam ketika didapatinya mobil itu melewatinya, Anin tengah menyuapi Fanus di dalam mobilnya. Ya, langit runtuh saat itu. Kiamat kecil yang diawali gledek mahagemuruh dan petir yang bersaut-sautpun terjadi.

Apalah guna menjalin cinta hingga berlama-lama kalaupada akhirnya bukan dia yang bersama kita hingga hari tua dan ajal yang menjadi pemisah? Ada apa dengan dia? Mengapa jalan itu yang dipilihnya? Kenapa tidak memilih menyelesaikan dulu sebelum mengambil pilihan dengan yang lain? Mengapa...???? Kenapa...????? Itulah sepersekian pertanyaan yang hadir bertubi-tubi di benak Ardi. Sakit memang. Sangat sulit rasanya menerima kenyataan dengan cara yang seperti itu. Bagaimanapun cinta selalu punya pengorbanan. Dan itulah yang membuat sisa-sisa otak waras Ardi coba melenturkan sesaat fakta yang diterima barusan : "Mungkin memang aku yang salah. Mungkin aku tak pernah mau berkorban demi cinta...". Sedetik kemudian Ardi mengambil telepon genggamnya, dipijitnya tombol-tombol pada bagian kontak hingga mengarah pada satu nama : Rania. "Hallo Ran, laki-laki boleh nangis gak sih?"   

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 14, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

JUMPAWhere stories live. Discover now