Hubungan ku dengan Jimin kembali mekar. Aku bahkan tidak canggung lagi untuk mengobrol lebih lanjut dengannya. Tentu saja, romantis adalah definisi yang tepat untuk menggambarkan jalannya hubungan kami. Aku memutuskan untuk menjaga jarak dari Jungkook karena tidak ingin terjerat lagi. Meskipun aku tahu dia melayangkan sorotan penuntutan atas perlakuan yang ku berikan, namun aku apatis akan hal itu. Aku benar-benar akan mencoba menerima derajatnya sebagai ayah dalam keluarga kami.
"Aku akan kesana berkunjung. Jarang sekali aku bermain ke rumah mu. Aku juga ingin menyapa Ibu mu, boleh?"
Itu Jimin. Permintaannya diseberang sejemang mampu membuat pergerakan ku mengeringkan tubuh sehabis mandi terhenti. Aku terdiam memikirkan jawaban apa yang akan kuberikan sembari mematut diriku di depan cermin. Sesekali aku akan memerhatikan pintu kamar, menyipitkan mata demi memfokuskan pusat penglihatan pada objek penting disana. Sudah. Sudah aman. Aku sudah menguncinya.
"Ji?"
"Ah, ya." Lekas aku segera tersadar dengan mengerjapkan mata cepat. "Maaf, Jimin. Aku jadi tidak fokus mendengar perkataan mu," tuturku penuh sesal sembari melangkah ke ranjang dan duduk dipinggirannya.
"Memangnya kau sedang apa? Kenapa tidak fokus, hm?"
Ku hela nafasku pelan, lantas berujar, "Aku sehabis mandi. Sekarang aku tengah mengeringkan tubuhku."
"Waw." Aku mendengar desisan Jimin yang sontak membuatku menegang dalam duduk. "Mm, aku jadi penasaran. Bagaimana kalau kita video call saja?" tawarnya.
"Kau ingin mati!" Aksen bicara ku sedikit naik, namun itu benar-benar tidak emosi. Aku tahu Jimin saat ini tengah bergurau. Pun aku dapat mendengar tawa cekikikannya mengudara lepas di seberang sana. "Kau sedang apa?" tanyaku lanjut.
"Tidak ada. Kegiatanku selama libur hanya tidur. Jika itu bekerja, tidak ada kegiatan khusus yang menyita waktu ku seharian untuk mengerjakannya. Intinya, aku bukan orang sibuk. Ayah bisa menghandle seluruhnya."
"Kenapa lebih memilih untuk tinggal di apartemen dibandingkan rumah orangtua mu?" Aku mengajukan tanya seraya beranjak dari dudukku. Meletakkan ponsel disana setelah mengaktifkan loud speaker-nya. Lantas, ku langkahkan kaki ku menuju lemari pakaian.
"Tidak ada alasan khusus, aku hanya ingin hidup mandiri tanpa harus bergantung dengan mereka lagi," bibirku refleks mematri senyum manakala Jimin berungkap begitu. "Kau tahu? Saat ini aku sudah berubah status menjadi pria dewasa, Ji. Aku tidak bisa selama-lamanya berada dalam jangkauan mereka."
"Kau benar. Itu keputusan yang bagus," tuturku sembari mengenakan pakaian santai rumahan. Kaos putih kebesaran dengan bawahan hotpants. "Omong-omong, kau bisa datang kapan saja kemari."
"Benarkah?" Aku mengulum senyum saat Jimin membalas antusias. "Aku akan datang hari ini seperti yang aku bilang tadi. Ya, aku akan bersiap-siap."
"Sekarang?" Total keningku mengerut.
"Tentu saja, kalian tidak sibuk, 'kan?"
Kebungkaman menguasai waktu untuk sepersekian detik lantaran aku tengah menimang-nimang situasi dan kondisi di rumah saat ini. Hari ini adalah akhir pekan dimana semua kesibukan dihentikan. Sudah dapat dipastikan jika Jungkook akan berdiam diri seharian di rumah. Begitu pula dengan Ibu yang memang setiap hari bekerja mengurus rumah.
Aku menarik nafas dalam-dalam, lantas berungkap membalas frasanya, "Datang saja. Kami tidak sibuk sama sekali. Ini 'kan hari libur."
"Ya, aku juga sempat berpikir begitu. Selain itu," sebelah alisku menjungkir naik manakala Jimin menjeda ucapannya dan membiarkan keheningan menguasai untuk beberapa detik. Setelah berdehem pelan, ku dengar Jimin bersuara lagi. "Aku juga ingin bertemu dan bersapa langsung dengan Ayah tirimu, Ji."
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Daddy ✓
FanfictionKetika kehidupan damai Park Jiyeon mulai terusik dengan kedatangan ayah barunya. Memporak-porandakan hatinya. © 2019 proudofjjkabs