- 13 -
Cukup lama termangu di tempatnya, Angga melirik Arin yang sedang memandanginya bingung. Tak ada kata yang keluar dari mulut cowok itu, dia langsung membawa Arin pergi. Mereka berhenti tepat di depan toilet perempuan.
"Sana masuk! Bersihin badan lo pake air. Gue tunggu di sini." Angga melepas genggamannya dari lengan Arin, gadis itu tak juga bergerak sesuai instruksinya.
"Kenapa bengong? Mau gue temanin ke dalam?" Angga mendorong tubuh Arin pelan untuk masuk bersama dirinya, namun tangan gadis itu dengan cepat mencegah.
"Gak usah Kak, aku bisa sendiri kok."
Arin masuk sendiri, membersihkan diri. Tidak lama setelah itu, dia keluar dengan keadaan yang lumayan dari sebelumnya. Meskipun sebenarnya dia tak nyaman dengan rambut dan seragam yang setengah basah seperti sekarang ini. Begitu ke luar dari toilet, tanpa kata-kata Angga menarik tangannya dari sana. Arin mengikut begitu saja, hingga mereka tiba di tempat di mana Angga menghabiskan waktu mencari ketenangan.
"Kita ngapain di sini, Kak?" tanya Arin saat Angga memberi isyarat agar dia duduk di kursi yang terletak di taman sekolah itu. Gadis itu mengibas-ngibas rambutnya karena lembab.
Angga menutup kepala Arin dengan handuk putih kecil yang ada di tangannya. Seingat Arin, cowok itu tak membawa apa-apa tadi.
"Keringin kepala lo pake itu!"
"Makasih Kak."
Arin menggunakan handuk pemberian Angga mengelap rambut dan bagian tubuhnya yang lain. Wajahnya cemberut sembari menatapi seragamnya yang basah.
"Gila yaa, seumur-umur aku belum pernah ketemu orang kayak dia. Nyebelin banget!" Arin menghentikan ritualnya, menoleh ke Angga dengan muka berlipat.
"Kenapa sih kakak bisa suka sama dia? Terus kenapa tadi belain aku? Lagi berantem sama dia?"
Angga mengambil alih handuk yang menggantung di leher Arin, dia berinisiatif mengelap rambut dan wajah gadis itu.
"Gue gak ada hubungan apa-apa sama dia."
Arin membuang pandangannya ke arah pohon yang rindang di sekitarnya. Rautnya masih berlipat, karena mendapat perlakuan buruk dari Dara. Dia bahkan tidak sadar jika jaraknya dengan Angga bisa dikatakan dekat.
"Kenapa? Udah putus?" tanya Arin, lalu mengarahkan tatapannya pada Angga. Matanya melebar sempurna dengan napas tertahan melihat cowok itu menatapnya lekat.
"Lo bener-bener cocok dijulukin tukang tanya. Gak usah rewel deh, diam! Cepat keringin kepala lo!" Angga menarik diri menjauh, membiarkan Arin melakukannya sendiri.
"Ini semua gara-gara pacar Kakak itu!" Arin menghempas handuk ke atas pahanya. Wajahnya seperti akan menangis saking kesalnya.
"Dia bukan pacar gue!"
Angga tahu apa yang dialami Arin saat ini adalah karenanya.
"Sekali lagi gue bilang, yaa. Dia-bukan-pacar gue!" tegas Angga setiap suka katanya.
Tidak semua hal bisa dicegah, karena dengan terjadinya sesuatu dapat membuka hal yang tidak pernah kita ketahui muncul. Arin berpikir sejenak, dia melupakan sesuatu penting untuk ditanyakan. Gadis itu memang pelupa, padahal belum satu jam berlalu.
"Kenapa lo diam?"
"Jadi pacar Kakak bukan dia? Terus pacar Kakak yang mana? Kak Gina? Cewek yang marahin aku waktu itu?" Arin mulai menyadari sesuatu ketika menyebut nama Gina. Hal itu membuatnya kembali mengingat pertanyaan penting yang sempat ingin dia tanyakan di awal. Matanya mendadak bergetar menyatukan segala kemungkinan yang terpikirkan.
Pada kasus ini, Angga tidak bisa lari dari kenyataan yang dia terima. Raut Arin tampak serius dari sebelumnya. Sekelebat perkiraan muncul di otak Angga, dia belum menyiapkan diri sepenuhnya untuk menangani situasi yang akan datang.
"Lupain pertanyaan aku yang itu, Kak." Arin memutar tubuhnya benar-benar menghadap Angga. "Tadi ... Kak Panji nyebut nama--"
"Adrian. Nama kakak lo."
Arin terkesiap mendengar itu, dia tak mengira kakaknya memiliki teman bersekolah di sini.
"Kak Angga kenal sama Kak Adrian?"
Angga bergumam iya. "Kita berteman dekat"
"Jadi, Kak Angga temannya Kak Adrian. Aku gak pernah tahu, soalnya Kak Adrian gak pernah mau cerita tentang teman-temannya." Sudut bibir Arin terangkat dan tersenyum kecut. Perasaannya selalu campur aduk setiap kali mengingat Adrian.
Angga menundukkan kepalanya dalam. "Gue juga gak pernah tahu, kalo Adrian ternyata punya adik."
"Mungkin itu karena Kak Adrian gak tinggal sama aku, Mama sama Papa. Dia lebih suka tinggal sama Tante dari pada sama kita." Arin menerawang jauh, dia ingat sekali detik-detik saat kepergian Adrian. Setiap kali mencoba untuk mengumpulkan keberanian, dia selalu gagal. Gagal untuk membuat keluarganya utuh.
"Tapi ... kenapa Kak Panji ngomong kayak tadi?" tanya Arin, dia menemukan suatu yang mengganjal dari ucapan Panji.
"Karena--"
"Ga."
Suara itu membuat Angga dan Arin menoleh serentak, keduanya sama-sama bangkit dari duduknya. Billy berdiri beberapa langkah dari tempat mereka, kemudian berlari kecil hingga tiba di depan Angga.
"Gue cariin, ternyata lo di sini. Buruan ke ruang OSIS. Kita harus bahas kegiatan yang bakal diadain bulan depan. Waktunya udah kepepet banget."
Begitu menyampaikan tujuannya, Arin melirik Arin dan mengulas senyuman. "Gue bawa Angga dulu, yaa."
Arin mengangguk mengerti. Angga meraih bahu gadis itu dengan hembusan napas panjang.
"Gue pergi dulu, yaa. Ingat kata-kata gue di cafe waktu itu baik-baik! Kalo lo lupa gue bakal ingetin lagi nanti."
Arin mengangguk lagi. Billy melihat datar apa yang dilakukan Angga. Yang terlihat olehnya, ada yang lebih dari perlakuan sahabatnya itu.
Memasuki ruangan OSIS, ada kerutan di antara kedua alis Angga. Dia melirik Billy yang baru saja menutup rapat pintu. Tidak ada siapa-siapa di tempat itu selain mereka berdua.
"Cuma kita berdua aja?" tanya Angga sambil duduk di salah satu kursi.
"Gue bohong tadi." Billy mengaku jujur. "Gue ngikutin lo dari kantin tadi."
"Ngapain?"
"Ga, lo bisa gak sih berhenti sama pemikiran konyol lo itu? Jangan biarin si pengirim pesan gak jelas sama orang-orang yang gak suka sama lo bisa nekan lo karena masalah itu!"
"Lo bisa ngomong kayak gitu, karena lo gak ada di posisi gue!"
"Ga ...."
Angga bangkit dari duduknya dengan tangan menggantung di udara.
"Bil, kita gak bisa sembunyi, karena gak ada tempat yang benar-benar bisa bikin kita sembunyi dari kesalahan."
"Gue gak minta lo sembunyi, Ga. Gue cuma minta jangan mengucapkan sesuatu yang bakal bikin lo sulit."
"Sekali pun gue diam, dia tetap bakal tahu. Dan sebelum dia tahu dari orang lain, lebih baik gue duluan yang ngasih tahu."
Hening, tidak ada lagi yang bicara. Angga terlihat benar-benar kepikiran jika menyangkut hal itu. Billy tahu persis, dan kali ini apa yang jadi beban pikiran Angga tidak semata tertumpu pada satu hal.
"Lo suka Arin?"
Itulah yang sangat jelas ditangkap oleh Billy. Angga menatap datar tanpa suara. Dia sungguh tahu jawabannya, namun sulit untuk mengucapkan saat ini.
===
Follow IG : ogghykurniaa
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar kamu, yaa ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIN
Teen FictionRasa bersalah berujung membawanya pada titik di mana sebuah kebenaran mulai terungkap. Kenyataan yang juga akan membuatnya berada di titik tersulit dari sebelumnya. Seorang gadis muncul dalam kehidupannya membawa rasa cemas yang terus menghantui. D...