Slamet Lan Sugih Eps 17

50 3 0
                                    

Cerbung by Lulu

SLAMET LAN SUGIH

EPS 17.

   “Le, Alkhamdulillah sudah sampai rumah sekarang awakmu,” sapa ibunya yang terbaring lemah di pembaringan.

“Mbok, apa yang dirasakan sekarang? Yang sakit sebelah mana mbok?” tanya Slamet sendu. Meskipun dia adalah anak satu-satunya dalam keluarganya, dia sama sekali tidak bisa bermanja-manja dengan harta. Kedua orang tuanya memiliki beban yang cukup berat dalam hidup mereka yang merupakan petani miskin.

Hanya memiliki sebidang tanah garapan. Bagi orang Jawa, sawah adalah salah satu perlambang hidup yang kebahagiaan dan ketentraman. Tanpa sawah mereka seperti kehilangan sumber penghidupan.

“Aku cuma kekeselen (kecapekan) saja, sudah ndak perlu khawatir. Sing penting sekarang kamu di rumah simbok seneng sekali,” balas ibunya lemah tapi terdengar bahagia.

  Slamet berusaha tetap tersenyum di depan ibunya yang menurut dia, terlihat sangat pucat, leih dari biasanya. “Piye usahamu le?”tanya perempuan tua itu. “Njih alhamdulillah sekedhik kulo klumpukke Mbok ( Ya Alhamdulillah sedikit-sedikit saya kumpulkan Bu).”

Waktu berlalu cepat bagi perempuan tua itu ketika Slamet menceritakan tentang pertemanannya dengan banyak kalangan; dari mahasiswa sampai dengan wanita panggilan. Sesekali simbok mendesah menahan sakitnya, pusing katanya. Tetapi sesekali juga ia terlihat terkejut atau sesekali tertawa mendengar kejadian-kejadian lucu yang dihadapi anaknya.
Namun sekuat apapun cinta anak pada ibunya, dan cinta suami pada anaknya, cinta sang Ilahi pada mahluknya melebihi.

Cinta yang tak akan pernah dimengerti oleh banyak manusia. Hanya segelintir yang dapat memahami cinta semacam itu. Bahwa Tuhan pun ingin memberi hadiah kepada mahluk yang dicintaiNya berupa kematian.

Kematian sebagai hadiah? Ya, yang diberikan Tuhan selamanya adalah cinta. Jika orang baik yang diambil maka kepadanya akan diberikan kebahagiaan yang lebih indah dan hakiki. Jika orang kurang baik yang dipanggilnya maka kejahatannya tak lagi berlangsung lebih lama di dunia.

========

Ibu. Di bawah tapak kakinya yang berjalan kesana kemari untuk menghidupi dan melindungi anaknya seumur hidupnya lah terdapat surga. Itu sangat difahami oleh pemuda desa yang belum menikah itu.

Ibunya tak lagi bisa bersamanya dalam keheningan nasib atau keriuhan cobaan. Mursini, simboknya, telah bertemu penciptaNya yang telah dengan adil memberinya paket-paket kehidupan dan menyembunyikan hadiah untuknya kelak di alam keabadian.

Ditengah-tengah tangisan yang tercipta di dunia ini, Mursini pernah tersenyum akan anugerah yang luar biasa dari Tuhannya, yaitu kelahiran anak semata wayangnya. Cinta yang dimiliki seorang ibu pada anaknya mengundang cinta Ilahi untuk membersamainya.

Tinggal kenangan atas cinta suci dan agung itu saja yang kini tertinggal di dalam kesadaran Slamet.

Cinta yang menghancurkan. Bukan karena cinta itu merusak tetapi karena cinta ibu yang sangat sejati tak lagi bisa ia gapai. Dan hatinya hancur karena tak lagi didekap cinta itu. 

Kehilangan sesuatu yang sangat besar dan berharga dalam hidupnya membuat Slamet limbung tak tentu arah. Tiga hari setelah kedatangannya ibunya meninggalkan dunia fana ini.

“Sakit e ming mumet (pusing) wae loh, padahal,” ujar Yu Surti.
“Loro ne mung kanggo jalaran (sakitnya memang hanya untuk pertanda kematian),” sahut Poniyem.
“Gek yo Slamet durung rabi (mana itu Slamet belum menikah),” penjual warung seberang rumahnya ikut berkomentar.
Memang hanya pusing. Hanya pusing, tetapi ibunya kini tiada.

Dan mereka: Slamet serta bapaknya, tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Demikianlah malaikat maut telah datang. Tak ada yang dapat menolak kehendaknya. Pemuda itu kini terpekur di depan gundukan tanah yang masih merah. Merahnya tanah itu tidak bisa menyaingi merahnya mata dan hatinya.

“Ora papa ora muleh ndeso, teruske usahamu. Tilik bapak sak wektu-wektu,” begitu saja pesan ibunya. Ibunya tidak berpesan agar dia kembali ke desa dan menjadi petani, tetapi meneruskan usaha angkringannya di kota Yogya. Dia juga tidak tahu mengapa itu yang dikehendaki perempuan yang sangat disayangi dan dihormatinya.

Bahunya pelan ditepuk dari belakang oleh bapaknya. “Ayo bali le. Pakdemu wis ngenteni ket mau (ayo pulang nak, pamanmu telah menunggumu dari tadi).” Disekanya air mata yang bukan penghabisan itu dan dengan gontai berlalu menjauh dari makam.

Di luar, terlihat pakde Widji telah menunggunya di dalam mobil dan segera mereka menembus keheningan sore dengan rasa yang tak bisa diberitakan. Angin seakan takut berhembus mengusik jiwa dua lelaki yang sedang menatap kosong ke depan.

Begitu hebatnya seorang wanita yang bernama ibu dan istri dalam hidup mereka sehingga ketika ia pergi tak kembali, seakan mereka baru tersadar dari tidur panjang.

Hendak kemana dan bagaimana.
Sardjiyo, lek Sukar, Harso, Kirman, Miryo, bahkan Sumirah telah hadir di rumahnya. Agak tergagap Slamet melihat nama terakhir itu. Kirman, Miryo dan beberapa pelanggan setia angkringannya di Yogya menyalaminya disusul Sardjiyo pemuda pencopet itu dan terakhir Mirah.

Semuanya mengucapkan bela sungkawa dan tak banyak bertanya.

12 Mei 1998, menjadi catatan tersendiri pada diri Slamet. Kelabu harinya. Tetapi juga demikian dengan sahabat mahasiswanya, Prapto. Prapto dan teman-temannya baru saja termangu dalam kemarahan dan kekagetan yang luar biasa. Luka tembak di kakinya tak dihiraukannya. Demo mereka yang terakhir berakhir ricuh dan memakan korban nyawa.

Tak pernah terbersit sedikit pun pada dirinya bahwa peluru-peluru tajam itu akan memotong jalan nyawa dan darah dari Elang, Heri, Hafidhin dan Hendriawan. Sore itu mereka telah beranjak mundur tetapi para tentara tetap maju memburu dengan bertameng peluru.

Apalah daya mereka, siapalah mereka. Mahasiswa yang hanya punya suara beberapa oktaf untuk bersuara dan berteriak sedari pagi menyuarakan jeritan saudara-saudara sebangsanya dengan perekonomian yang carut marut ditingkahi korupsi dan nepotisme yang menggurita dari para pemimpin dan kroni-kroninya. Tak ada tameng.

Tak ada pelindung badan. Kulit mereka setipis ari-ari. Tak kuasa menahan terjangan peluru tajam. Tetap saja, peluru itu yang menyambut langit merah di Jakarta hari ini.

Tergeletak dia di rumah sakit itu, ditemani rasa marahnya yang membara. Disampingnya Tari dan Edy, dua rekan seperjuangannya yang berasal dari Yogya juga. “Semoga kematian mereka tidak sia-sia,” katanya tercekat. Kedua temannya hanya mengamini dengan wajah sendu.
Ribuan kilometer dari situ Bismo mendengar apa yang terjadi pada Prapto.

“Setidaknya dia tidak diculik, aku perkirakan semua sudah lebih aman buat para aktivis itu. Konstelasi politik setelah ini pasti berubah. Media internasional akan mengawasi Indonesia lebih intens. Anak itu sudah aman dengan sendirinya,” jawab lelaki itu pada orang suruhannya yang ia tugaskan mengawasi Prapto.

Dia mendengar Prapto terluka tetapi kaki masih jauh dari jantung. “Pasti dia bisa bertahan,” pikirnya.

Nanti suatu ketika dia akan berencana bertemu dengan mahasiswa yang mengingatkan dirinya pada almarhum anak semata wayangnya. Untuk waktu yang lama dia lega Prapto berhasil luput dari intaian para penculik aktivis. Malam itu Bismo tidur lebih nyenyak.

SLAMET LAN SUGIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang