EPILOGUE

59 9 1
                                    

SLAMET LAN SUGIH   

                                                      EPILOGUE

  “Ya sudah le, sabar. Kalau kamu sabar ibumu juga ikut kuat menghadapi ini. Pakde hanya bisa mendoakan dari jauh. Kalau mau tinggal di Yogya yo ndang ke Yogya,” terdengar suara Prapto berbicara dengan penelponnya. “Oh gitu, ya tentu saja. Dampingi dulu bapakmu. Dilihat dulu bagaimana kasus yang sebenarnya…..ya..ya…Sementara salam dulu untuk orang tuamu,

    Pakdhe belum bisa kesana. Nanti kalau sudah enakanlah tak kesana,” sambung Slamet lagi sebelum menutup percakapan dengan Bagus, anak semata wayang Prapto dan Tari.
Di sofa panjang rumahnya Slamet merebahkan dirinya. Secangkir teh panas ada di sebelahnya disediakan istrinya yang tercinta. Malam itu ingatan Slamet tak henti-hentinya kembali ke dua puluh tahun yang lampau. Saat segalanya masih tampak absurd, tidak jelas. Mungkin tidak jelas di mata manusia, tetapi itulah jalanku yang harus ku lalui. Itulah peta hidupku yang dirancang zat yang menciptakanku. Dan peta itu sangat jelas di mata Tuhan. Dia tahu aku harus kemana. Aku menerima bungkusan nasibku dengan sepenuh hatiku, tak pernah aku mengutuki nasibku, pikirnya dalam damai.

   Kini Prapto bernasib buntung. Tak pernah sedikitpun dia akan menyangka nasib teman baiknya akan seperti ini. Mereka pernah bertemu dalam satu persimpangan yang sama dalam kehidupan masing-masing untuk kemudian berpisah dan hidup dengan keluarganya sendiri-sendiri. Banyak yang ia pelajari dari Prapto, kepercayaan diri, kerendahan hati, keceriaan, dan semangat belajar. Pemuda itu pula yang menyemangatinya belajar menjadi supir sehingga dia merasa percaya diri.
   
   Tetapi godaan dunia memang sangat berat. Temannya itu tersilaukan dengan uang, akhirnya menjadi koruptor yang selama ini dilawan dan dihujatnya. “Mungkin semua memang sudah ada takarannya,” pikirnya.

    “Porsi atau jatahku sekian setelah ku usahakan dengan ikhtiar yang halal, ya memang segitu yang pas untukku. Mungkin aku akan berani melirik perempuan lain, atau berfoya-foya jika diberi kekayaan yang tidak sesuai kadarnya. Sampai masuk tanah ke dalam mulut manusia, baru manusia bisa puas. Slamet lan Sugih. Ternyata yang benar sesungguhnya adalah rezeki yang mencukupi apa-apa yang dibutuhkan. Mungkin jika aku jadi orang sugih beneran, aku akan lebih banyak menggunakannya untuk hal-hal yang ku inginkan daripada yang ku butuhkan. Yo wis segini saja sudah cukup, alhamdulillah.” Lelaki tua itu menyudahi perenungannya malam itu sambil beristighfar dan berdoa agar rezekinya cukup untuk kebutuhannya dan doa yang sangat tulus untuk Prapto dan keluarganya agar diberi hikmah atas apa yang terjadi.

   Tubuh tuanya semakin ringkih karena dimakan usia dan juga karena paparan angin malam yang bertahun dulu pernah menderanya.
Tak lama ia tertidur pulas tanpa mimpi apapun. Semua yang telah dihadapkan pada wajahnya telah ia jalani dengan ketawakalan dan kerja keras.

Di masa tuanya, tak ada sedikitpun penyesalan akan apa yang ia lakoni. Ia bahagia karena kini di usia yang semakin dekat dengan akhir, dia mengerti bahwa apapun yang Tuhan cobakan dalam kehidupannya adalah sebuah jalur perjalanan untuk menuju ke tempat berikutnya yang lebih baik.

Biarpun dia terlahir dari keluarga miskin dan mengenyam kemiskinan selama puluhan tahun kedepan berikutnya, tidak pernah sekalipun ia mengerjakan perbuatan yang haram dan dilarang Tuhannya, dan itu berarti dia berjalan sesuai rencana Tuhan. Untuk itu dia merasa beruntung.

Tamat
Yogya 16 Januari 2019
Terimakasih semua MMG

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 17, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SLAMET LAN SUGIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang