Gue kasi boneka itu karna gue tau lo bisa sekuat dia walaupun kalian sama lemotnya.
Happy birthday!
Windy berdiri di depan loker dan menemukan sebuah boneka karakter Baymax mini dan tulisan itu berada di sebuah sticky note. Tak ada nama pengirim maupun inisial nama pengirimnya. Dia juga tidak ingat siapa yang pernah memberinya boneka ini dulu, dia hanya ingat kata-kata itu pernah dia dengar dari seseorang, tapi sudah lama sekali.
Rai.
Windy ingat, dulu saat dia mendengar ibunya sudah menikah lagi, Rai pernah mengatakan kalimat itu. Apa mungkin Rai yang sekarang tidak peduli dengannya itu yang memberi hadiah.
Gadis itu menghela napas pelan, dimatanya mulai tergenang setetes air yang sebentar lagi akan tumpah. Windy mengedip-ngedipkan matanya, dia berusaha agar air mataitu tidak tumpah ditempat seperti ini.
Dia melihat Evan yang kini melangkah kearahnya, boneka pemberian Nata itu dia masukkan kembali kedalam loker dan menguncinya.
"Sya ... kata Bu Helmi kita berdua hari ini disuruh bersihin toilet." Evan kini berdiri tepat disebelahnya, penampilannya masih sama, masih dengan seragam yang dikeluarkan, dan rambut acak-acakan. Namun yang berbeda adalah jumlah gelang yang biasanya selalu banyak ditangan, kini hanya tersisa satu.
Windy mengangguk. "Bentar gue chat Arda dulu."
Windya F:
Ar, pokoknya lo harus temenin gue hari ini jalan-jalan.
Lo nggak lupa kan hari ini ulang tahun gue?
Gue nggak mau alasan apapun!
Windy menyimpan ponselnya pada saku seragam miliknya. Keningnya berkerut saat mengingat perkataan Evan barusan. "Ehh, gue ... gue nggak salah dengar?" kata Windy sambil mengikuti langkah Evan, perempuan itu berusaha menyamakan langkah di sebelah Evan. "Van? Serius kamar mandi?"
Evan mengangguk.
"Kenapa nggak Kevin sama Angga aja sih?" Windy menekuk bibirnya kesal. Dia mengambil ponselnya saat mengdapat geteran disana.
Ardana Guntara
Tapi gue mau jenguk Raina.
Please Ar, kali ini aja."Tadi sih gue yang minta sama Bu Helmi," kata Evan dengan cengiran disana.
Perempuan di sebelahnya mendongak, Windy menggeleng kuat. "Gila!" Windy berjalan lebih cepat mendahului laki-laki sinting itu.
***
Dua hari berlalu sejak hari ulang tahun Windy, dan dua hari sudah berlalu sejak Rai menemuinya di rumah waktu itu.
Cahaya mentari yang terpantul dari kaca jendela di koridor sekolah itu mengenai mata Raina, matanya sedikit menyipit saat melewatinya. Sejak tubuhnya merasa agak sehat tadi malam perempuan itu memutuskan untuk berangkat sekolah, sebenarnya tubuh Raina belum benar-benar sehat tetapi dia tetap memaksa untuk bisa bersekolah.
Sejak memasuki halaman sekolah tadi bibir Raina tak kunjung berhenti tersenyum kepada orang-orang yang dia kenal dan menyapanya. Baru dua hari dia tidak hadir di sekolah tapi sudah banyak orang yang menanyakan kabarnya.
Langkah Raina santai, pandangannya lurus menatap ke depan dengan kedua tangan memegang tali tas Ransel hitam-putihnya. Kelas masih jauh. Sekolah ini memiliki tiga gedung, gedung pertama untuk kelas dua belas, gedung kedua untuk kelas sebelas dan gedung ketiga yang terletak di depan gedung kedua untuk kelas sepuluh.
"Udah sehat?"
Raina menoleh ke belakang saat mendengar suara itu. Arda berusaha menyamakan langkahnya dengan Raina. Perempuan itu mengangguk. "Udah, kok. Alhamdulillah."
"Bagus, deh," katanya membalas senyum Raina. Tangannya dia letakkan pada saku celana, sembari terus berjalan beriringan dengan Raina.
Gadis itu memperhatikan kelas-kelas sekitarnya. "Kak Arda mau kemana? XII IPS 3 bukannya udah lewat?"
"Mau ngantar lo sampe depan kelas." Arda menaikkan kedua bahunya sebentar lalu menurunkannya kembali. "Maaf ya, gue nggak bisa jengukin lo."
Raina menalihkan pandangannya ke depan. "Nggak papa, santai aja." Raina membenarkan letak kacamatanya.
Arda menghela nafasnya, lalu melihat Windy yang berdiri di depan kelas menatap mereka berdua. Kelas XII IPA 2 sudah hampir sampai. Windy masuk beberapa detik setelah Arda melihatnya, ada apa dengan Windy ....
"Kelas aku udah dekat, makasih, ya, Kak." Raina berjalan mendahului Arda setelah laki-laki itu mengangguk.
Arda memilih berhenti setelah beberapa meter lagi sampai di kelas Raina, dia tak mengikuti langkah Raina lagi karena dia sadar ada yang berbeda dari Windy saat menatapnya dengan Raina tadi. Dia kenal Windy sejak kecil, dia paham betul dengan sikap perempuan itu. Dia tidak suka Arda dekat dengan Raina. Arda sudah tahu sejak dia mengatakan itu pada Windy, juga saat Windy melarangnya menjenguk Raina.
Yang dilihat orang mereka hanya teman, namun Arda menganggapnya seperti adik. Arda tahu semua tentang kisah keluarganya, dia kenal dengan keluarganya dan kedua adik Windy yang sekarang tinggal bersama Ayah mereka.
Dia lebih kenal siapa Windy.
~®w~
"Raina!" seru kedua temannya saat Raina baru saja masuk ke dalam kelas. Acha dan Debby memeluk gadis itu sebelum ia sampai pada bangkunya. Inilah temannya yang selalu peduli.
Raina senang saat diperlakukan seperti ini, seolah-olah kehadirannya sangat ditunggu-tunggu oleh sahabatnya. Dia tersenyum, kedua temannya tak kunjung melepaskan pelukannya. Perempuan itu menyapu pandangan mencari-cari keberadaan Windy, dan berhasil. Windy di sana, duduk bersama Salah satu temannya yang duduk di pojok kelas dan menatap adegan itu tak suka. Raina ingin memberi senyum namun urung saat melihat tatapan Windy.
"Mulai, deh, drama dari kedua anak baru!" kata Zaldi yang sudah tau kelakuan dua murid baru di kelasnya ini. Berisik, tukang make-up, dan lebay atau lebih tepatnya dramatis saat menanggapin suatu hal. "Kayak Raina nggak masuk sebulan aja."
"Berisik lo!" Acha menatapnya sinis setelah melapas pelukan.
Zaldi mendengus.
"Lo udah enakan beneran, 'kan?" matanya menatap Raina khawatir.
"Iya Rain, lo udah enakan beneran? Jangan dipaksa kalau belum sehat Rain ... kalau lo kenapa-kenapa gimana," sambung Debby dengan nada dramatis.
Raina tersenyum simpul. "Gue udah enakan beneran."
"Bagus deh, jadi gue bisa ngajak lo nge-mall hari ini." Debby menyengir sambil menepuk kedua tangannya sekali. "Aww!" kata Debby saat sebuah tangan menoyor kepalanya.
"Raina baru pulih, gila lo ngajak dia nge-mall," serkah Acha.
Raina sedikit tertawa. "Gue juga masih ada latihan sampai minggu depan."
"Udah Rain nggak usah di dengarin." Acha menarik tangan Raina untuk duduk di bangkunya, diikuti oleh Debby.
Raina menatap bangku Windy yang kosong, tak ada tanda-tanda tas Windy di sana, lalu matanya menoleh ke arah Windy tadi duduk dan mendapati tasnya sudah berpindah kesana, sementara Windy baru saja bergerak keluar untuk menjalani hukuman.
Windy mau pindah tempat duduk ....
"Windy pindah tempat duduk beberapa menit sebelum lo masuk kelas ...," kata Acha hati-hati takut temannya itu merasa sedih. "Dia nggak bilang apa-apa sama kita."
"Kayaknya dia mulai ngejauh lagi dari kita ..." Debby menatap tas Windy tanpa arti.
Raina diam. Dia mengerti Windy sedang tidak ingin diganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain, Wind and Mine (SUDAH TERBIT)
Fiksi RemajaCerita ini tentang hujan, angin dan apa yang tidak bisa lagi dimiliki. Bagi Windy menjadi salah satu anak broken home adalah hal yang tidak pernah ia duga, seakan hidupnya lenyap seketika. Suatu hari, Windy menyadari bahwa takdir memang sekejam itu...