Aku menyeka air mata kasar saat seseorang mengetuk pintu. Perlahan bangkit dari ranjang. Lalu bergegas mengambil tisu di atas meja rias. Tak boleh ada yang tahu kalau air mata ini baru saja tumpah."Siapa?" ujarku. Berusaha untuk tidak terdengar sengau.
"Bunda, Ai."
"Oh iya, Bun. Masuk aja."
Pintu terbuka perlahan. Seraut wajah ayu wanita setengah baya itu menyembul dari balik pintu. Sepertinya baru pulang, karena tas besar yang selalu ia bawa setiap kali pengajian masih tersampir di pundaknya.
"Roby bilang kaki kamu keseleo?" Ada nada khawatir dari suara wanita paruh baya itu.
"Hanya sedikit, Bun. Ntar juga sembuh," sahutku tersenyum.
"Kok bisa sih?"
"Namanya juga kecelakaan, kapan dan dimana saja bisa terjadi 'kan, Bun."
"Hmmm, kamu benar. Tapi kudu hati-hati juga lain kali. Karena semua yang terjadi juga pasti karena ada penyebabnya."
Aku kembali tersenyum menanggapi. Seperti biasa, mengobrol dengan Bunda selalu membuat hati tentram. Bertolak belakang sekali dengan anaknya yang ... ah, kenapa juga aku harus memikirkan laki-laki itu. Pakai bandingkan sama bundanya lagi.
Mungkin saja sifat seenak perutnya itu turunan dari almarhum Bapak, ups! Ampun Ya Allah. Gara-gara sebal sama Roby almarhum bapaknya dibawa-bawa.
Setelah mengobrol beberapa lama, Bunda pun pamit.
"Kalau ternyata masih sakit, besok minta diantar Roby aja ke dokter. Takut ntar kenapa-napa," ujar wanita bersahaja itu sebelum meninggalkan kamar.
Roby lagi? Ini justru terjadi gara-gara dia. Meski tak sepenuhnya sih, tapi dia pemicu. Tentu saja ini hanya terucap di dalam hati.
"Ya, Bun." Malah dua kata itu yang keluar dari mulutku.
"Istirahatlah!" Bunda menepuk pundakku pelan.
"Bunda juga."
Wanita yang masih terlihat cantik itu mengangguk sambil melempar senyum tipis.
Setelah Bunda menghilang di balik pintu, aku kembali merebahkan diri. Tapi lagi-lagi istirahatku terganggu. Kali ini si cempreng Rania nyelonong masuk tanpa izin.
"Cieee ... yang dikunjungi calon mertua?"
Aku menatap gadis itu dengan mata menyipit. Apa maksudnya coba?
"Apaan sih, Ran?"
Gadis itu tertawa kecil, memperlihatkan lesung pipinya.
"Kaki Kakak terkilir ya? Maaf, gara-gara motornya aku bawa Kakak jadi kacau gini," sesalnya.
"Bukan karena kamu, tapi Roby," bantahku.
"Oh ya, dia suruh ngasihin obat ini. Katanya bagus untuk pegal-pegal dan salah urat. Pijit ampe terasa panas."
Rania menyodorkan sebotol minyak gosok.
"Eh ..., kalau gak siniin kakinya, Kak. Selonjoran. Biar aku yang urut."
Gadis itu kembali menarik obat itu sebelum aku sempat meraihnya. Aku melakukan apa yang ia minta. Dengan cekatan Rania memijit pergelangan kakiku pelan.
"Kak," ujarnya sambil terus memijat.
"Hmm."
"Keknya Kak Roby suka deh ama Kakak," ujarnya tanpa basa-basi.
Udah tau, tentu saja jawaban itu hanya tersimpan di hati.
"Tau dari mana kamu?"
"Tadi sore itu 'kan ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
DILEMA (Antara Cinta dan Persahabatan)
Ficción GeneralRasa yang tertinggal membuat Aira harus pergi menjauh dari orang-orang yang ia sayangi