Vague

212 29 3
                                    

1151 words

Shannon menatap jam berwarna cokelat yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Detik setelahnya, sepasang iris abu-abu gelap itu berpaling ke arah pintu kayu yang berjarak tak lebih dari 15 meter dari tempat duduknya. Entah sudah berapa puluh kali ia melakukan hal itu selama 50 menit terakhir. Dan sialnya ia hanya bisa membuang napas jengah karena tidak ada tanda-tanda kedatangan dari orang yang ditunggunya.

“Awas saja. Aku tidak memberinya kesempatan untuk berdalih lagi kali ini.” bibir tipis itu bergumam kesal. Ia lantas meraih cangkir putih berisi teh manis yang hanya tinggal setengah dan meminumnya hingga tandas. Sekarang, sudah ada 3 cangkir kosong di mejanya.

“Perlu kubuatkan lagi, Nona Lee?”

Shannon mendongak, menatap salah seorang pramusajinya dengan ramah. “Tidak perlu. Kau lanjutkan saja beres-beresnya dan tutup kafenya.”

“Baik, Nona.”Pramusaji itu meninggalkan Shannon dengan membawa 3 cangkir kosong di hadapannya.

Perempuan berambut pirang itu menyisir rambutnya ke belakang dengan jemarinya sembari membuang napas pendek. Ia nyaris beranjak meninggalkan meja itu ketika seseorang lebih dulu menjatuhkan pantat di kursi sebelahnya. “Maaf terlambat.”

Kalimat itu terdengar santai sekali, masih meyisakan embusan napas yang sedikit terengah. Hampir membuat Shannon melayangkan nomor meja ke wajah manusia itu. Hampir. Sebelum kerutan di keningnya berhasil menguasai kinerja otaknya lebih dulu.

“Kau berkelahi?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja. Terdengar khawatir, kesal dan lelah disaat yang bersamaan. Sepasang irisnya meneliti pelipis laki-laki di sampingnya yang berdarah, juga beberapa bagian wajah yang lebam.

“Jadi ada apa, San?”

Pertanyaan bernada santai itu membuat Shannon ingin menambahi lebam di wajah lelaki itu. “Kim Namjoon! Jawab aku. Apa kau baru saja berkelahi?”

Laki-laki bersurai abu-abu gelap itu tersenyum lebar. Jelas berusaha mati-matian untuk tidak meringis ketika memaksa otot sekitar bibirnya untuk tersenyum. “Katakan dulu, apa yang mau kau bicarakan denganku?”

“Kim-”

“Akan aku ceritakan nanti.” Laki-laki itu berucap santai, berusaha untuk tidak menambahkan; Kalau masih ada waktu.

Shannon terdiam beberapa detik. Menilik kondisi wajah laki-laki di sebelahnya ini, perempuan itu sangsi jika bagian tubuh Namjoon yang lain tidak bernasib serupa. Dan tatapan teduh serta senyuman tipis lelaki bermarga Kim ini berhasil membuatnya ingin menelan bubuk mesiu sambil menangis.

Baiklah, aku tidak bisa memaksanya bicara sekarang ketika dia sudah mengatakan nanti, 'kan?

“Aku mendapat undangan reuni SMA dan aku bermaksud untuk mengajakmu, karena tidak ada kandidat yang bisa kuajak selain kau. Acaranya satu jam lagi. Tapi, lupakan saja. Tiba-tiba, dibandingkan datang ke acara itu aku lebih berminat untuk merobek isi kepalamu.”

Kalimat pedas barusan membuat Namjoon lagi-lagi berjuang susah payah untuk tersenyum. “Aku bisa menemanimu kalau tema reuni itu pesta topeng.”

“Dasar sinting! Kau kira bagaimana kami reuni kalau wajah saja ditutupi?” Shannon beranjak sembari membuang napas pendek. “Tunggu disini.”

“Aku tidak berencana kemana-mana lagi setelah dihajar habis-habisan.” Namjoon mendesis menahan perih di sudut bibirnya. Lain kali, dia tidak mau berkelahi lagi. Sudah cukup hari ini saja. Walaupun meninju membuatnya merasa sedikit lebih tenang, nyatanya hasil dari tinjuan itulah yang tidak menyenangkan.

Midnight ThoughtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang