Aku selalu disuruh ibu ke sekolah setiap hari, katanya biar aku menjadi pandai. Aku menolaknya terus-menerus, aku tidak suka sekolah.
"Nak, sekolah ya. Kamu mau jadi anak yang membanggakan mama kan?" Itu kata-kata yang ibuku selalu gunakan waktu aku sedang merengek-rengek karena tidak mau sekolah.
"Mau," jawabku pada ibu. Lagipula semua anak tentu ingin membanggakan orang tuanya, begitu juga aku.
"Kalau gitu, sekolah ya!"
"Enggak mau bu," kataku dengan pelan sambil kesengukan.
"Kenapa kamu selalu tidak mau sekolah nak?" Tanya ibuku.
"Pak Anton jahat, aku enggak suka!" Jelasku dengan rengekan, maklum aku masih duduk di bangku SD kelas dua. Dulu, guru SDku memang hanya satu namanya Pak Anton, guru berumur empat puluhan dan dia mengajar seluruh mata pelajaran di kelasku.
Ibuku mengira semua anak kecil pasti tidak ada yang mau pergi ke sekolah karena malas belajar dan memilih di rumah karena bisa bermain bersama orangtuanya.
Ibuku terus-menerus membujukku. Aku menolaknya keras berulang-ulang. Akhirnya ibuku naik pitam dan langsung membopongku tanpa peduli rontaanku kemudian berjalan kaki dari rumahku menuju sekolah.
Aku tidak bisa mengalahkan tenaga ibu yang begitu erat mengendongku. Aku berusaha sebisa mungkin untuk lepas dari gendongan ibuku. Aku tidak peduli tatapan orang sekitar yang berasumsi ibuku sedang menculik anak.
"Aku mohon bu, aku tidak mau sekolah."
"Pak Anton jahat bu. Dia tidak baik.."
"Itu karena kamu tidak mau belajar," kata ibu dengan tenang. Sorot matanya menunjukan kelelahan tiada tara.
"Nia, kamu ingat kan. Sewaktu ibu mengambil rapotmu?"
"Pak Anton berkata kamu malas belajar makanya beliau sering memarahimu.."
"Tidak bu, aku anak yang rajin."
Kami telah sampai di sekolah dan ibuku langsung membawaku ke depan kelas kemudian memberikanku pada Pak Anton begitu saja.
Aku memegangi ujung kaos ibuku dan aku menggelengkan kepalaku berulang kali ketika ibu berusaha melepaskan tanganku dari ujung bajunya. Aku mempertahankannya tapi percuma saja.
Aku ditarik oleh Pak Anton kemudian ibu berjalan pulang, punggungnya mulai menghilang dari pandanganku.
Aku merasakan cengkraman keras yang berasal dari Pak Anton. Kutatap wajahnya, wajah Pak Anton memerah seperti menahan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun.
"Nia," panggilnya padaku selembut mungkin namun aku merasakan ketakutan yang teramat dalam.
"Kamu tidak melaporkan apapun pada ibumu kan?" Tanyanya dengan sorot mengintimidasi, ia bertanya sambil menggendongku dan memasukkan tangannya ke dalam celana dalam bergambar barbieku.
Kebetulan saat itu kelas masih sepi sebab teman-teman SDku belum sampai. Aku terdiam membisu ketika jemarinya memasuki mulut kemaluanku, aku yang masih polos hanya terdiam dan tidak ada niat sedikitpun untuk berteriak. Aku tidak tahu menahu kalau tindakan itu adalah asusila.
"Ingat, jangan katakan pada ibumu kalau bapak melakukan hal ini. Jangan melapor! Atau bapak akan berkata pada ibumu kalau kamu adalah anak nakal dan malas," ucapnya dengan nada gairah sambil memasuk dan mengeluarkan satu persatu jemarinya mulai dari ibu jari sampai kelingking.
Kemaluanku sakit, aku hanya bisa meneteskan air mata. Andai ibu ada di sini.
Waktu itu aku tidak melapor karena kupikir aku tidak boleh membebani ibuku, semenjak ayahku meninggal, ibuku sudah cukup mengemban tugas yang berat yakni membagi waktu untuk bekerja dan mengurusku.
Aku kemudian dibawanyalah ke gudang sekolah, aku menurut saja walau darah segar menetes dari kemaluanku. Ia meniduri tubuhku di atas matras yang sudah sobek-sobek dan memeloroti rok merahku.
Ia kemudian membuka juga celananya dan memasukkan kemaluannya ke dalam mulut vaginaku. Aku menangis kencang, aku tidak tahu harus berbuat apa.
Kemudian beberapa guru datang sebab tangisanku yang begitu kencang dan mereka terkejut melihat Pak Anton yang sedang memasukkan barangnya ke kemaluanku.
Bu Veni mengangkatku lembut dan berusaha menenangkanku. Beberapa guru memanggil polisi untuk menghukum Pak Anton dan Bu Veni memanggil dokter untuk mengobati luka sobek yang berada di mulut vaginaku.
Aku merasa tubuhku lemas, darah terus mengucur diiringi rasa nyeri yang tiada kentara. Aku pingsan saat itu juga.
"Nia, maafin ibu." Samar-samar aku mendengar suara halus khas ibuku. Aku membuka mataku dan aku sudah berada di rumah sakit bersama ibu.
"Bu, Pak Anton jahat bu." Ibuku lantas langsung memelukku erat-erat dan menangis.
"Maaf Nia, maafin ibu."
"Nia enggak mau sekolah bu.."
"Iya, Nia. Iya," kata ibuku dengan suara pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku tidak mau sekolah
القصة القصيرة"Aku tidak mau sekolah bu. Pak Anton jahat!" "Kamu harus sekolah nak, agar bisa membanggakan ibu."