Satu bulan berlalu. Hubungan ku dan Steve semakin dekat. Kami berbincang online 24/7, bahkan terkadang Ia menelpon.
Sekarang pukul 9 malam, dan aku masih mengerjakan mading untuk lomba yang diadakan lusa. Hampir semua siswa sudah pulang, tersisa kami ber-6 di lantai 3 gedung sekolah.
"Apa kabar dengan Steve?" tanya Andrew, salah satu anggota timku.
"Baik, aku belum memeriksa ponselku lagi" jawabku
"Bagus, apa Ia tahu tentang lomba ini?"
"Ya, tentu"
Andrew mengangguk. Ia mengenal Steve dengan baik, sejujurnya Ia yang pertama kali tahu tentang hubungan kami.
Lalu kami memasukkan semua peralatan dan mading ke dalam ruangan, dan kami pulang. Setibanya dibawah, aku hendak membuka aplikasi taksi online, tapi seseorang memanggil namaku.
Saat itulah aku melihat Steve duduk di motornya, dengan helm hitam di tangannya.
"Kau keberatan?" ucapnya
"Kau tidak harus melakukan ini, kau tau. Semalam kau tidak tidur, menemaniku lembur. Istirahat adalah hal yang kau butuhkan" jawabku, setelah berdiri di sampingnya.
"Aku tidak kesini untuk berdebat. Tapi untuk menghantar mu pulang" jelasnya
Mau tak mau aku tersenyum. Aku tak pernah berpacaran sebelumnya, jadi semua hal ini masih baru bagiku. Tapi Steve membuat semuanya sangat mudah. Begitu aku duduk di belakangnya, Ia menyalakan mesin, dan memulai perjalanan kami.
***
Waktu berlalu, dan aku terduduk di kursi peserta, menunggu pengumuman lomba.
"Kau gugup?" tanya Andrew
"Yeup" ucapku.
"Ada pesan dari Steve, kalau itu membantu" ucapnya.
Spontan, aku menyalakan ponsel dan membaca pesannya.
"Fokus, Scarlet" ucap Diana di sampingku.
"Kau benar"
"Dan, inilah pemenangnya!!" aku menatap layar, berharap semua usaha terbayar.
Hingga air mata mengancam. Kami gagal. Mencegah tangis, aku menelan ludah. Semuanya sia-sia.
Aku berjalan keluar ruangan. Dengan mata berkaca-kaca aku berdiri menghadap jalan raya. Lalu aku melihat Steve, Ia berjalan mendekat, dan seketika itu juga, air mataku jatuh.
"Aku gagal"
Tanpa sepatah kata, Ia memelukku dan mengusap punggungku. Sebagai balasan, aku melingkarkan lenganku di lehernya, dan menangis.
"Shhh, tak apa Scarlet, masih ada kesempatan lain, oke, shhh" ucapnya
Untuk sesaat aku terdiam, dan tak beranjak dari dekapannya. Aku membutuhkannya sekarang.
Beberapa tahun terakhir aku mengurus semuanya sendiri, aku hanya punya 7 sahabat yang sekarang terpencar, kecuali Diana, yang bersekolah ditempat yang sama denganku.
"Semua akan baik-baik saja, oke, semuanya baik-baik saja" ucap Steve.
Lalu aku menarik diri, dan mengusap pipi.
"Maaf, aku bertindak kekanak-kanakan" Ia tersenyum, dan mengusap air mataku
"Ada saatnya kau berhenti menjadi kuat. Saat ini kau menangis, tak masalah, hanya esok kau harus kembali bangkit dan meneruskan hidup" Ia menyematkan helai rambutku yang jatuh.
"Terimakasih" ucapku
"Tak masalah, sekarang bagaimana kalau kita pergi makan?"
Aku tertawa, Ia berusaha untuk mengajakku jalan dari minggu lalu. Tapi aku tak pernah punya waktu. Sekarang, aku tak punya pilihan selain berkata iya.
Dengan itu, aku berkemas, dan berpamitan. Lalu pergi bersamanya.
***
"Sampai besok, Scarlet" ucap Steve begitu aku berdiri di depan pintu gedung apartemenku.
"Yeup, terimakasih banyak Steve, hati-hati" balasku
Lalu Ia menyalakan mesin, dan pergi. Sambil tersenyum, aku berjalan masuk. Akhir-akhir ini aku sering stress. Tapi bagaimanapun caranya Steve selalu membawa ku kembali ke zona aman.
Ia menjadi alasan aku tersenyum tiap hari, dan berangkat sekolah dengan semangat.
Entah apa yang akan terjadi kedepannya, tapi untuk saat ini, aku ingin berpegang pada apa yang terjadi. Sedikit hiburan tak akan menyakiti siapapun. Setidaknya untuk sekarang ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bertahan atau Melepaskan?
Teen FictionKetika Scarlet Jackson pada akhirnya luluh dan meruntuhkan setiap benteng pertahanannya untuk Steve Dowler dengan keyakinan penuh bahwa Steve akan bertahan. Tapi apakah Steve benar-benar akan bertahan?. *Cerita ini berbasis pada pengalaman pribadi...