Bab 1

1.4K 142 5
                                    

Selamat minggu malam.
Apa kabar kalian?  :)

---

Kanvas putih besar perlahan mulai terisi berkat sapuan-sapuan kuas dari tangan Maretha Han. Warna hijau turqoise menjadi aksen yang mendominasi, diikuti warna kuning dan merah yang lembut. Selama beberapa menit, tangan gadis itu bergerak, kuas mencolek papan palet berwarna krem. Angin yang berhembus dari jendela menjadi satu-satunya suara yang mengisi ruangan.

“Mare?”

Satu suara memanggil namanya, membuat sang gadis berbalik ke belakang dan mendapati kakeknya berdiri di pintu, memamerkan senyum khasnya.

“Ada apa, Kek?”

“Ayo sarapan,” ajak Kakek Han. Kakinya melangkah untuk mendekati Mare sebelum matanya beralih ke lukisan pada kanvas. “Apa lukisan ini untuk pameran juga?”

“Ini hanya iseng.” Mare membalas dengan santai kemudian berdiri, meletakkan palet yang dia pangku di atas meja bersama dengan kuas dan pisau palet yang tidak tersusun di atas meja. “Bibi Jung masak apa hari ini, Kek?”

Kendati langsung memberi respon, Kakek Han justru tersenyum. Tangannya bergerak menyentuh kanvas dengan cat yang sudah kering hingga satu senyum bangga terukir di bibirnya. “Kau bisa memajang ini di pameran, Mare. Kakek yakin seseorang pasti mau membelinya.”

“Lukisan itu bahkan tidak akan sampai seratus won, Kek. Aku tidak yakin hasilnya akan bagus.”

Mare yakin. Lukisan itu tidak bagus. Sejak awal, sebenarnya dia membuang ide untuk melukis danau di tengah hutan, karena itu ide yang payah. Dia tahu hasilnya selalu sama. Ada sesuatu yang kosong dari ide itu. Terlalu tenang membuatnya jadi... sepi.

Tidak ingin memikirkannya lagi, Mare berjalan ke wastafel di dalam ruangan untuk membasuh tangannya yang dihinggapi berbagai warna-warna cat.

“Ayo, Kek,” kata Mare begitu dia selesai, mengambil langkah untuk mencapai pintu dan keluar lebih dulu. Suara kekehan Kakek Han sebelum dia mengikuti Mare dan keluar. Keduanya menuruni tangga dan berjalan ke ruang makan.

Seperti biasa, sepupu Mare, Han Jisung, sudah lebih dulu duduk di meja makan. Kedatangan Mare dan Kakek Han disambut dengan gerutu kecil dari laki-laki berambut jingga nyentrik itu. “Lama sekali, aku sudah lapar tahu.”

“Kau ini tidak punya kerjaan selain makan ya?” sindir Mare.

Tak mau kalah, Jisung ikut menyembur. “Kau sendiri bisa apa selain melukis? Bergaul saja tidak bisa.”

Kakek Han hanya bisa mengembuskan napas kasar, memilih untuk langsung menarik kursi dan duduk. Bagaimanapun, Jisung dan Mare memang sudah sering adu mulut. Meski itu agak menyebalkan, tapi kerusuhan itu yang mengisi rumah besar ini. Setidaknya begitulah cara Mare dan Jisung untuk menunjukkan kedekatan mereka.

Mare menempatkan diri di sisi meja yang berseberangan dengan Jisung sebelum mulai menyendok makanan ke piringnya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menyadari apa yang ada di meja makan pagi ini. Sup ayam khas Bibi Jung. Makanan kesukaannya.

Namun Mare tidak tersenyum, tidak juga terlihat antusias. Satu-satunya yang dia lakukan hanyalah menyendok sup ayam lebih banyak ketimbang porsi makan biasanya. Selama beberapa menit semuanya diam, sibuk dengan sarapan masing-masing—kecuali Jisung yang makan dan menyeruput minum.

“Hari ini kelas siang lagi, Mare?” Kakek membuka percakapan begitu sarapannya habis.

Kepala Mare menggeleng sebagai jawaban. Terlebih dulu dia menenggak air minum sebelum membalas dengan suara. “Hari ini aku izin. Klub lukis akan menyiapkan pameran untuk besok. Jam 7 nanti aku mau ke lokasi.”

Night & DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang