h i t a m - p u t i h

649 195 247
                                    

Kupersembahkan warna dari kopi hitamku pada kemeja putih kesayangmu; yang pada akhirnya kau biarkan dia mendekap hangat kemeja itu.

Kita bersama.

Iya, aku dan kamu adalah kita. Kini sedang menghabiskan waktu seharian ditemani candaan yang mungkin tidak begitu mengundang tawa, dan juga tak lupa dengan pembahasan yang alangkah baiknya tidak kita persoalkan. Baiklah kalau begitu, mari kita mulai bercerita.

Asal kamu tau, dibalik kata kita ada arti yang berbeda. Dibalik tawa canda ada hati yang terluka. Entah hati milik siapa, akupun tidak mengetahuinya. Baik kamu, aku, dan mungkin, dia?

Diawali dengan beriringannya langkah kita berdua, dinaungi awan yang begitu tulus memancarkan putihnya pada kami berdua. Kamu, dengan kemeja putih kesayanganmu. Kenapa aku begitu tahu? Jelas saja! Kamu kan selalu memamerkan kemeja putih kesayanganmu itu kala kau kenakan pada pekan hari.

"Lihat, sudah tampan betul kan aku hari ini. Apalagi jika sudah mengenakan kemeja kesayanganku untuk jalan bersama mu. Yang untungnya sama-sama aku sayangi. Ahh bahagia sekali menjadi aku ini."

Dan aku, mengulum bibirku sambil sesekali terkekeh geli mendengarnya. Itu lah kamu, tidak pernah bosan pamer ketampananmu apalagi pada pekan hari saat mengenakan kemeja putih, aduh aku jadi pusing sendiri memikirkannya.

Tapi pusing ku seketika hilang saat dengan peka-nya kamu menghentikan langkah didepan kedai kopi kesukaanku. Yashh! Dapet kopi hitam gratis, tis, tis. Aku gak munafik kok kalau emang suka sama yang namanya gratisan, jadi ya amat begitu menyenangkan bila setiap akhir pekan aku diajak oleh mu berkeliaran yang berujung menyeruput kopi hitam di kedai ini.

Kedainya memang tidak begitu ramai, dan jarang sekali remaja seperti kita yang mengunjunginya. Judulnya saja 'Kopi Hitam' sudah jelas bukan siapa yang akan menjadi pengunjung setia kedai tersebut. Tetapi jangan salah, kopi hitam di kedai ini amat sangat enak dan aromanya selalu mengingatkan ku pada mendiang kakekku.

Ada tiga kursi yang mengelilingi meja bundar, tepatnya di samping jendela besar yang membiarkan mata kita nyalang memperhatikan para pengguna jalan raya. Dua diantaranya diduduki oleh kita, dan satunya dibiarkan saja kosong. Toh, siapa juga yang ingin duduk disitu.

Sudah dapat tempat duduk yang bisa dikatakan nyaman, kamu pun bangkit. Aku tahu, kamu ingin memesan kopi maka dari itu aku pun ikut bangkit dari kursi ku, tapi kamu menahannya.

"Sudah, biar aku saja yang pesan. Kopi hitam tanpa gula kan?" aku tidak mengangguk dan hanya tersenyum. Tapi dengan begitu saja kamu sudah paham dan segera memesan kopi hitamku.

Tidak lama, kamu kembali dengan kopi hitamku dan juga teh melati. Aneh bukan? Cowok tampan seperti mu terlihat begitu feminin bila menyukai teh melati. Tapi kalau aku, tidak salah bukan jika seorang gadis menyukai kopi hitam, hahaha.

Sebelum kamu duduk, aku bangkit. Niatku ingin menaruh kopi hitamku dimeja untuk membantumu, tapi kenyataan tidak setulus niatku. Kopi hitamku tumpah, mengenai kemeja putih kesayanganmu.

Aku panik bukan main, tapi kamu malah terkekeh pelan. Kata kamu ini bukan masalah besar. Aku lari kesana kemari mencari kotak tisu, tapi aku tidak menemukannya. Akupun kembali ke meja dan meminta maaf. Aku juga tanpa sadar hampir menyentuh kamejamu yang aku kotori, tapi kamu menghindarinya.

Aku pun tersadar, itu kemeja kesayanganmu. Tidak seharusnya aku menyentuh benda berhargamu. Kini aku hanya bisa terdiam, duduk kembali sambil sesekali memperhatikan sepatu yang kini aku kenakan.

Kamu meraih dagu ku lalu berkata, "Terimakasih. Kamu sudah memberi warna pada kemeja kesayanganku ini." Aku makin dibuat diam oleh kata mu itu. Aku pun perhatikan muka mu, barang kali kamu sedang menahan kesal tapi tak sedetikpun senyuman itu lolos diwajah tampanmu itu.

Aku ingin diberi kesempatan membersihkan kemeja mu itu, walaupun dipikir begitu mustahil bila disulap menjadi bersih seperti semula tapi tidak salah kan kalau usaha terlebih dahulu? Tidak, kamu pun menjawab tidak. "Biarkan saja begini, aku menyukainya."

Dengan terpaksa aku mengangguk dan mengajak kamu pulang sebelum makin banyak pelanggan datang yang akhirnya dapat menyaksikan kemeja kotormu itu.

Kita pun keluar dari kedai itu. Yang sebelumnya kita sepakat untuk pulang ke rumah masing-masing. Iya, karena rumah kita berbeda arah jadi kubiarkan kamu untuk pulang segera tanpa mengantar aku terlebih dahulu.

Kedai itu berada diantara rumah kita berdua, tidak jauh kok hanya terhitung ratusan meter, jalan kaki pun bisa sampai. Aku melangkah ke arah kanan dan kamu ke arah kiri. Kamu berbalik, tersenyum dan melambaikan tangan. Aku pun ikut menyombongkan deretan gigiku. Tapi sepertinya bukan senyum yang tulus. Aku hanya berusaha menutupi rasa bersalahku.

Selesaikah cerita kita? Kurasa belum.

Tidak lebih dari lima meter berjalan, aku segera berbalik menemukanmu yang hampir hilang ditikungan. Aku berlari kecil berupaya memelankan suara langkah agar kamu tidak tahu aku mengikutimu. Bukan, aku bukan berusaha menjadi penguntit. Aku hanya ya, ingin saja memastikanmu sampai rumah tanpa diganggu atau diolok-olok pengguna jalan yang lain ketika melihat kemeja kotor ciptaanku itu.

Dan, ahh. Aku tidak ingin melihat itu. di depanmu, ya tepat sekali di depanmu terjadi suatu kecelakaan kecil. Ada seorang gadis jatuh dengan kendaraan beroda duanya. Untung saja gerak refleks mu bagus. Kamu langsung menghampiri dan segera membantunya terlepas dari timpaan kendaraan beroda duanya.

Yang aku lihat sih, tidak banyak luka di tubuhnya. Tapi pasti dia sangat shock jadi aku memaklumi kamu menyentuh pundaknya hanya untuk sekedar menenangkannya. Tapi ternyata tak cukup sampai situ. Kamu memapah dia sampai naik ke kendaraan itu, tapi dibagian belakangnya. Dan aku tidak habis pikir kalau ternyata kamu membiarkan diri mengantar gadis itu. aku tidak kesal ataupun marah hanya saja terasa begitu menyakitkan, tepatnya di ulu hatiku. Ketika aku melihat lengan gadis itu melingkar di perutmu, erat.

Dan kamu tahu? Dia sudah berhasil. Dia sudah selangkah lebih maju dibanding aku. Jika aku hanya mampu mewarnai kemeja kesayanganmu dengan kopi hitamku, dia sudah mampu menyentuhnya. Mendekap hangat tubuh dan juga kemeja putih kesayanganmu itu. 

Kopi HitamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang