2061.
Mimpi itu masih menempel jelas di otak Hendra ketika ia terbangun, mimpi di mana ia menyipitkan mata karena cahaya matahari di tengah hamparan pasir dan sesuara ombak terdengar.
Ia sadar betul berhari-hari ia memimpikan itu, aneh rasanya untuk dicocokkan dengan akal Hendra. Tapi, biarlah mimpi itu menjadi misteri, pikir Hendra.
Ia terduduk di emperan sebuah toko yang sudah hancur, di depan matanya banyak debu beterbangan dan ..., telinganya terasa pening luar biasa, seperti baru saja mendengar dentuman bom, kecuali kalau tiga puluh menit yang lalu bom memang meledak di dekatnya.
"Bang, cepat! Kita harus lari!" Pemuda bernama Ito berlutut di depan Hendra dan mengajaknya berlari, tangan kanannya sibuk menekan pundak kirinya yang tertembak peluru 'mereka'.
"Hah?"
Tanpa ba-bi-bu Ito menarik lengan Hendra dan memaksanya berlari, sedetik kemudian suara ledakan kembali terdengar, seperti tak jauh dan disusul teriakan.
"Ito! Cepat! Cepat!" Teriak seorang pemuda lagi dari ujung jalan, di sampingnya terparkir mobil bak hitam yang usang.
"Ayo Bang, dikit lagi," Bisik Ito kepada Hendra yang nampak kaget dan bingung apa yang sedang terjadi.
"Ayo cepat masuk! Masuk!" Perintah Bayu kepada Ito dan Hendra. hendak menutup pintu, ia mendengar rintihan suara perempuan.
"Mas, tolong saya," Rintihan itu terdengar jelas di telinga Bayu. Ia hendak menolong tapi tak tahu di mana perempuan itu.
"Saya di sini mas, tolong saya," suaranya dari dalam kios di belakang mobil teparkir, Bayu segera membuka pintu kios dan menemukan seorang perempuan di sampingnya. Tergeletak memegangi tembok yang jatuh menimpa kakinya.
"Ito!!! Tolong saya!" Teriak Bayu dari dalam kios, menarik perhatian Ito dan Hendra yang langsung ke dalam kios.
Mereka bertiga mengangkat tembok itu, disusul ngilu ketika melihat wajah Nadia yang menahan sakit kakinya yang robek. Darah mengucur deras, Bayu segera mengeluarkan kain dari dalam tasnya dan mengikat kaki Nadia dengan kuat. "Tahan terus yang kuat mbak," begitu pesannya.
Hendra dan Bayu memapah Nadia ke dalam mobil sementara Itu mengambil apapun yang tersisa dari dalam kios, dan hanya terdapat dua buah pisang ambon yang tergeletak di lantai.
"Tenang mbak, tarik napas yang dalam, jangan tidur, tahan ngantuknya kuat-kuat. Terus tahan kainnya," Pesan Bayu kepada Nadia. Hendra di sebelahnya hanya mengipasi Nadia dengan koran dan sesekali melihat ke luar mobil.
Bak mobil sebagian tercecer darah, dan Bayu menyuruh Ito menjaga Nadia di bagian bak, sementara Hendra dan ia duduk di depan.
______T__E__R__U__L__A__N__G______
Asap mobil meninggalkan bekas, menambah hiruk pikuk polusi yang kini makin liar di jalanan. keadaan negara Nesia sekarang menjadi titik terendah mereka bahkan lebih rendah dibandingkan krisis moneter yang dialami Nesia 60 tahunan yang lalu. Pemerintah kini makin kejam, melarang rakyatnya ke luar negeri, melarang rakyatnya mengadu kepada lembaga seperti PBB atau yang lainnya, melarang rakyatnya membantah, semuanya harus patuh terhadap hukum pemerintah, yang tidak mau dan terlacak oleh pemerintah, akan ditembak dan dipertontonkan secara umum di Taman Moral Bangsa di Kota Karta.
Dan barusan, di sebuah daerah bernama Kasila di kota Karta baru saja dilakukan pemboman masal oleh pemerintah, karena terlacak menjadi sarang bagi para boikoter dan non pro pemerintah.
Kini mereka berempat terdiam di sunyinya jalanan yang hanya terdengar suara deru mobil. Di bagian belakang, Ito mencoba memulai pembicaraan.
"M-mba, masih hidup?" Tanya Ito penuh gemetar, lalu disusul dengan Nadia yang melipat jari-jari tangannya kecuali yang tengah, Ito pun langsung terdiam.
"Rokok?" Tawar Hendra di samping Bayu yang sedang menyetir. "Enggak dulu lah, kamu duluan saja," Balas Bayu.
Setetes air jatuh di kaca mobil, rintik hujan pertama setelah lima belas tahun Nesia terserang bencana El Nino yang berkepanjangan. Setetes itu diikuti oleh ribuan tetes yang langsung jatuh sedetik kemudian, Bayu tahu betul, ini adalah masa-masa tenang, pemulihan dan damai sebelum perang yang sebenarnya terjadi.
Memasuki jalan bukan utama menuju
Kota Tandung membuat mereka melewati jalan besar yang sudah tidak dipakai aktif puluhan tahun lalu, hanya tersisa tiga billboard yang bertuliskan "Kembalikan Munir." , "Menolak lupa 98." Dan "#2034gantipresiden."Bayu, dan Hendra hanya saling pandang ketika melihat tiga papan itu mereka lewati, Bayu jelas tahu siapa yang meminta perusahaan cetak billboard untuk memasang tulisan-tulisan tersebut. Ia menghela napas lalu melanjutkan mengendarai mobil.
______T__E__R__U__L__A__N__G______
"Jadi bagaimana!? Omongan anda sedari tadi berbelit-belit macam orang mules! Mana janji manis yang kau ucapkan tadi pagi, hah!? Semua boikoter sialan itu semuanya lolos! Tidak ada yang tertangkap! Bagaimana kerja anak buahnya tolol!" Presiden memaki-maki Jenderal TBNN (Tentara Bersenjata Nasional Nesia) Angkatan Darat.
"Berubah sekali istana ini," Suara parau seorang Kakek tua yang masih menggesekkan sapu ijuk tuanya di lantai dekat dengan meja Presiden. "Dulu istana ini masih putih susu, tempat para petinggi tinggal atau yang memilih tinggal di luar istana."
"Hey Tua!" Presiden berteriak lantang ke arah muka si Kakek penyapu. Kakek tersebut langsung menunduk dan mendekat ke arah meja.
"Ngomong apa tadi kau? Hah!?"
BRUUKK!!
Kali ini si Jenderal yang menendang badan si Kakek hingga terjatuh keras. "Kalo ngomong tuh dijawab, goblok!" Maki si Jenderal, mendekati Kakek tua yang masih dalam posisi di bawah lalu meludahinya.
"Kasih saya pistolmu Jenderal!" Suruh Presiden diikuti dengan si Jenderal yang langsung menyerahkan pistolnya.
Presiden membuka laci mejanya, lalu mengeluarkan karung coklat kecil seukuran kepala. "Pakaikan ini ke si cebol itu," suruh Presiden kepada Jenderal.
Si Kakek yang hendak ditutup kepalanya langsung mundur dengan posisi terduduk, dia memberontak dan terus mundur dikejar Jenderal. Si Kakek mundur cepat dan mengaduh ketika badan kurusnya terbentur tembok. Tamat sudah riwayatku, pikir si Kakek.
Presiden langsung mendekat ke arah Jenderal dan si Kakek sambil menenteng pistol. Si Kakek sudah keadaan kepala dibungkus karung dan badan kurus yang bajunya sudah dibuka, tersisa kaus dalam putih saja. Badannya gemetar, mulutnya terus-terusan membaca doa dan dzikir. Tangan Presiden yang menggenggam pistol diacungkan ke wajah si Kakek. Dingin, pistol hitam itu terasa dingin di kening si Kakek.
Cahaya senja masuk perlahan ke ruang Presiden yang dipenuhi kaca besar itu. Lantai putih yang melambangkan kesucian itu langsung ternodai darah merah tua yang sudah lelah akan kehidupan hari tuanya.
"Hahaha!!! Mampus kau tua!" Tawa si Jenderal dengan keras. Mengusik Presiden di sebelahnya. "Kau juga, ambil sendiri tutup kepalamu, lalu jongkok di hadapanku."
"HAH!?"
Jenderal malang akhirnya jongkok di hadapan Presiden seraya menyerahkan tangan ke atas, ampunnya tentu saja sia-sia di hadapan Presiden yang maha kuasa.
"Sujud!" Perintah Presiden.
"Tapi Pak...," Rintih si Jenderal.
"Saya bilang, sujud!"
Akhirnya si Jenderal terpaksa sujud di hadapan Presiden yang maha kuasa. Kepalanya menyentuh ujung sepatu Presiden yang mengilat. Tepat setelah kalimat 'Pak mohon ampuni saya' yang diucap oleh Jenderal, bunyi tembakan menggelegar untuk kedua kalinya. Lantai menjadi merah putih.
Ucok mengetuk pintu, lalu masuk dengan senyuman yang hilang seketika kala melihat dua mayat tergeletak di hadapannya. "Astaghfirullah!"
"Cepat bereskan!"
PART 1, SELESAI.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUNYI #ODOC_TheWWG
Fantasy2061. Kondisi Nesia yang terus menerus ditekan oleh pemerintah yang maha bejat. Semua masyarakat menjadi target buronan dan akan dikirim ke sebuah tempat di tengah lautan. Empat orang pemuda yang selamat tengah diburu oleh pemerintah. Selamatkah mer...