hoofdstuk

592 148 18
                                    

Belenggu takdir bukan pemisah cinta, sebab cinta tak miliki dimensinya.

|||

Ceracaumu kala itu terngiang dalam rungu, sebab setiap jejak menapak, kudengar getar pita suaramu. Kala penglihatan menutup, yang terlintas justru rupamu dalam gelap.

Menatap ablur hujan yang turun, kudiami diri dalam upaya merekonstruksi ulang memori.

Pretensi. Apkiran harap.

Ada begitu banyak kata terputar dalam otak, tapi tak ada satu dari sekian banyak yang sanggup mengutarakan rindu. Meski bikin tubuh menggigil, kubalut dalam hangatnya rindu yang justru membunuh.

Membunuh dalam lelehan jerit hati.

Kandil-kandil hujan membesar, diikuti merah bibirku yang tertimbun dingin bergetar. Tak sama sekali risih, kokohku berdiri dalam semu mimpi.

"Kau dan aku ibarat waktu, sebab cinta datang beralaskan waktu. Menunggu waktu yang tepat, dan waktu itu kita."

Kau berucap demikian─dahulu─seraya memberi kecupan hangat di jemari tangan. Engkau ambil aku, rengkuhku dalam pelukan lantas menari mengikuti melodi di lantai dansa.

Kucium feromonmu sebanyak yang kubisa kala itu. Kau hujami tatapan penuh cinta sementara tak bisa kuhindari senyum pun rona merah di pipi.

"Matahari bersinar congkak. Tapi kau bersinar dalam lugu parasmu, wahai Puspa."


Mungkin itulah sebab musabab kukenal kau beserta jerat rayumu yang ulung. Kau goda aku, dan aku bagai wanita gampangan; karena berbunga akan ucapmu. Cakapmu yang lihai.

"Namaku Park Jimin. Dan kau ... nama secantik kau membikinku malu menyebut identitas."

Itulah kali pertama kuterkikik perihal ucapanmu. Kau memberenggut, tak menggodaku tapi bertingkah jenaka. Tak ada banyol atau kelakar, tapi kutertawa sebab ucap kau kala itu malu-malu; persis seorang gadis.

"Bila memang ini ujung, maka kau tetap ada di dalam jiwa."

Kuingat betul itu pertama kali leleh liquidku meluncur dari pelupuk. Aku tak sanggup berucap, tapi kau genggam aku. Kau cium keningku dan kau rengkuh aku layaknya hari itu; hari di mana kau suntingku tuk diperistri.

Tapi kini tak lagi sama. Terputar sedemikian rupa, memori itu tinggallah kenangan. Tak lagi kita sama, tak lagi kita sama nikmati hujan seperti kala dulu.

Matahari menunggu janji kita, tapi kita tak lagi mampu. Dunia kita berbeda ....

Tak bisa lagi.

Persaan ini. Absurditas. Penuh dilema.

"Belenggu takdir bukan pemisah cinta, sebab cinta tak miliki dimensinya." Aku berucap, penuh emosi dalam genangan keputusasaan.

Meski cinta tak miliki dimensi, bagaimana bila kematian lebih cepat?







fin

Hiraeth ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang