Jangan kamu kira aku jahat dan berniat menjadi jahat selamanya. Aku memang orang yang minimalis dalam berpikir. Semuanya, aku mau sederhana. Tanpa mendengar cercaan orang lain yang seperti menyumpal separuh telingaku. Tapi... malam itu aku sadar. Aku tak sepenuhnya baik.
Pulang ke kampung halaman menjadikanku sedikit lega. Kemarin, saat cuaca begitu mendukung. Dan suasana hatinya sedang bagus. Aku lontarkan semua yang menghambat jalan pikiranku akhir-akhir ini. Dia mendengar, dia menasehati. Dia bercerita balik, aku fokus pada nasehatnya tadi. Sampai tengah malam, aku tertawa dan membuatnya terbahak-bahak. Menit yang mengagumkan.
Aku tidak pernah terbuka pada ibuku. Aku tak mau terlalu membuatnya khawatir. Aku tak mau jadi manja dan penuh drama. Sekali lagi aku ingatkan, aku adalah orang yang minimalis. Semuanya, aku mau sederhana saja.
Tapi malam itu berbeda. Aku jadi penuh kata. Obrolanku padat, merayap sampai mana-mana. Lega.
.
.
.
Luka yang dulu sempat aku toreh, tak membuatmu mengenang. Meski air matamu menggenang.
Anak macam apa yang tak mau nurut, meski tak banyak nuntut.
Menit semalam sudah aku siapkan dari mulai perjalanan pulang. Meski tak lama bermalam.
Mak...
Anak-anakmu jauh, dan mulai tua.
Dirimu jauh, dan semakin tua.
Aku tak tau, Mak...
Saat aku menikah dan punya anak, apa akan bisa sepertimu
Apa anak-anakku akan berprasangka buruk juga kepadaku. Seperti anakmu yang kurang ajar ini. Yang sulit mengerti dan memahami.
Aku tak takut, Mak...
Saat nanti menua,aku akan sendiri
Anak-anakku akan pergi dari rumah, membiarkanku mengikis waktu tanpa teman
.
.
.
Ah... sudahlah. Aku akan baik-baik saja. Walaupun hanya semenit semalam.
YOU ARE READING
Menit Semalam
Short StoryPercayalah. Mungkin sekarang kamu acuh dengan ibumu. Tapi dimasa tua, kamu akan lebih sering merindukannya. Dan itu... siksa sesaat.