Chapter 11

2.6K 184 1
                                    

Di dapur Gareth tersenyum sendiri membayangkan kejadian barusan di kamar mandi. Salahkan memori di otaknya yang masih mengingat jelas tubuh bugil gadis itu.  Tanpa disadarinya, Juju sudah berada di dapur mengawasinya sejak tadi. 

"Aku nggak nyangka kamu bisa masak."

Gareth terkejut menoleh ke si empunya suara. Dia tersenyum begitu melihat sosok yang sudah lengkap memakai baju itu.

"Mamiku bilang katanya aku seharusnya jadi chef." 

"Serius? Sejago itukah kamu masak?" 

"Kita liat aja nanti kamu suka apa nggak?" Ujarnya tersenyum penuh percaya diri. "Sorry, ya, tadi. Aku khawatir kamu pingsan di kamar mandi," tambahnya.  Kini dia sedikit khawatir gadis itu akan menyebutnya sebagai tukang galon playboy yang cabul. 

Juju tersenyum. Entah kenapa dia tak marah sama sekali dengan kejadian itu. "Nggak apa-apa. Aku yang makasih karena kamu udah jagain aku selama sakit." Lalu dia menawarkan diri untuk membantu. 

"Kamu duduk aja disitu. Jadi pengawas," balas Gareth.

Lagipula gua nggak bisa masak apapun kecuali air dan mie rebus.

Melihat kelihaian lelaki itu di dapur, jati dirinya sebagai perempuan merasa di obrak-abrik. Selama hidupnya baru kali ini seorang lelaki menyiapkan makanan untuknya. Apalagi lelaki itu adalah anak bosnya semata wayang dan seorang Don Juan pula.

Seperti sedang terbius, tatapannya tak bisa lepas  dari lelaki yang sedang tekun memasak. Lelaki yang sering dimakinya dalam buku hariannya terlihat begitu mempesona di  matanya saat ini. Entah karena peralatan dapur di tangannya atau karena apron yang dikenakannya, dia tak bisa memastikannya. Tetapi yang jelas, pemandangan itu membuatnya meneguk air liurnya. 

"Ju?" Panggil Gareth untuk yang kedua kalinya.

Juju masih bergeming menatapnya. Gareth melambaikan tangan di depannya. "Hello?" 

Juju terkesiap gugup. Kemudian dia beranjak dari duduknya.  "Aku boleh pinjam telepon? Mau nelepon emak." 

"Ada di kamarku. Kamu ke sana aja."

Juju bergegas meninggalkan dapur sambil menyumpahi dirinya. Begitu memasuki kamar lelaki itu, Juju memandang sekelilingnya. Lagi-lagi dirinya merasa seperti upik abu di antara kamar mewah itu. Pandangannya menangkap telepon yang ada di meja, dia pun melangkah mendekatinya dan langsung memanggil nomor emaknya. 

Mendengar suara emaknya yang nyaring membuat Juju sangat merindukan rumah dan masakannya. 

"Juju baik-baik aja mak. Besok Juju pulang."

Terpaksa dia harus berbohong. Paling tidak untuk saat ini. Mengabari emaknya dengan berita soal batu empedunya adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin. Wanita itu akan mendadak depresi dan jatuh sakit. Dia sendiri tidak mengerti kenapa keluarganya mudah cemas dan depresi. Mungkin karena situasi ekonomi. Mungkin genetik. Atau mungkin karena begitulah kondisi psikologis orang yang hidup di Jakarta. Entahlah. 

Usai berbincang dengan Emak, Juju kembali meletakkan telepon di meja dan matanya menangkap sebuah foto. Foto Gareth yang sedang memeluk pinggang seorang wanita berparas cantik. Dia meraih foto itu dan keningnya berkerut melihat lelaki itu nampak bahagia dengan wanita di sampingnya. Wanita yang belum pernah dia lihat sekali pun. 

"Siapa dia?" guman Juju.

Gareth tersenyum saat melihat Juju  berjalan ke arahnya. "Gimana ibu kamu? Baik-baik aja, kan?" 

Juju mengangguk tersenyum. "Makasih, ya, teleponnya." Tebersit keinginan untuk menanyakan soal gadis di foto yang baru saja dilihatnya di meja kamar. "G?" 

"Ya?" 

Dia memandang ragu lelaki yang mulai sibuk menyiapkan hidangan ke meja.

Gareth menoleh. "Kenapa?"  

Juju menggeleng tersenyum. "Nggak apa-apa." Lalu dia mulai membantu lelaki itu menyiapkan hidangan ke meja makan.

Di akhir menyiapkan hidangan Gareth menyalakan lilin. Juju tak bisa menahan rasa penasarannya untuk tak bertanya, "Apa ini kurang terang?" 

Mau tak mau Gareth tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Lilin ini bukan untuk menerangi tapi biar terkesan, umm ..." dia ragu untuk melanjutkannya. "Biar nggak ada lalat," katanya masih dengan senyum di bibirnya. 

Juju memandang sekelilingnya dengan heran. Dari mana datangnya lalat?

"Yuk, makan," ujar Gareth sambil meletakkan celemek  di pangkuannya.

Dengan gugup Juju mengikuti apa yang lelaki itu lakukan. Inilah makan malam teresmi dalam hidupnya. Dengan menggunakan celemek, garpun, pisau dan ... ugh, sederet sendok besar dan kecil. Kenapa pula dia butuh sederet peralatan makan sebanyak itu?

"Oh, my, my god," guman Juju sambil memejamkan matanya. 

Gareth tersenyum melihat reaksi gadis itu. Reaksi yang sangat dramatis yang pernah ia lihat dari semua gadis yang dikencaninya. 

Juju kembali menyantap steik lembut itu. "G, ini enak banget tapi sorry porsinya nggak cocok sama perut aku," ujarnya tak tahu malu. Selera makannya memang setara dengan porsi seorang kuli bangunan. Maklumlah, dia hanyalah seorang gadis yang sedang dalam masa pertumbuhan.

"Serius? Kamu mau aku masakin lagi?" sautnya dengan mata terbelalak. Siapa sangka gadis bertumbuh ramping itu memiliki perut sapi.

Juju menggeleng. "Nggak usah. Mami kamu bener. Seharusnya kamu buka restoran aja. Masakan enak begini harus dikonsumsi sama orang banyak." 

Mau tak mau dia tertawa mendengar komentar gadis itu. Belum pernah ada wanita dalam hidupnya yang begitu ekspresif dengan makanan di mulutnya. Hanya gadis itu yang melakukannya tanpa malu. 

Usai makan malam mereka memutuskan untuk  menghabiskan sisa red wine di ruang tamu. Entah red wine yang sudah di tenggaknya atau lelaki itu yang membuatnya bahagia, Juju melupakan kesedihan dan rindunya pada rumah dan emaknya. Malam itu hanyalah tentang kebahagiaannya bersama  anak bosnya. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Pengaruh alkohol mulai menendang-nendang emosinya. Waktunya untuk pergi dari sana, menjauh dari pemuda itu sebelum sesuatu yang diinginkan terjadi. 

"Aku mau tidur ya. Besok pesawatku jam sepuluh pagi," katanya sambil beranjak dari sofa. 

"Oke, Ju," saut Gareth ikutan beranjak dari sofa..

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Gareth bergegas menghampiri Juju yang sedikit sempoyongan.

Juju menggeleng tersenyum. Dia hanya minum satu atau dua gelas red wine, atau .... tiga, empat gelas, mungkin? Tidak mungkin dia mabuk. Ini alkohol pertamanya. Dia baik-baik saja. Dia tidak mabuk. Titik.

"Good night. Thank you for the dinner," katanya lalu menghampiri lelaki itu dan entah setan dari mana dia mendaratkan bibirnya di pipi lelaki itu.

Gareth terkejut dengan aksi berani gadis itu namun dia langsung menyadari alkohol telah membuatnya seberani itu. Dia berusaha mengontrol dirinya untuk tak merangkul pinggang gadis itu dan mencium bibirnya. Disadarinya atau tidak, Juju telah menggodanya. Gareth menghela napas begitu Juju meninggalkan ruang tamu.

"That's enough." bisiknya pada diri sendiri. 


* * *

KOPI HITAM JUJUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang