Gelap! itulah yang pertama kali Yuri lihat saat membuka mata. Dia merasa ada sesuatu yang menempel di lengan kirinya, dan saat di sentuh ternyata itu adalah selang infus. Kemudian ia tarik dan membuangnya dari punggung tangan karena terganggu. Pria itu berusaha duduk, seluruh tubuhnya terasa nyeri tapi ia paksakan untuk beranjak dari tempat tidur. Awalnya ia meraba sekitar tempat tidur untuk menghidupkan lampu. Tetapi karena tidak menemukan apapun akhirnya ia beridiri. Mengulurkan tangannya ke depan mencari pegangan. Yuri tidak sadar bekas dari selang infusnya mengeluarkan banyak darah yang berceceran ke lantai. Langkahnya yang di bawa dengan asal tak sengaja menabrak segala benda didepannya."Apa ada orang disana?" ucapnya dengan suara sedikit meninggi, berharap ada orang yang bisa membantunya.
"Bisa tolong hidupkan lampunya?!" masih tak ada jawaban. Hening, gelap. Dia terus berjalan tidak memperdulikan tubuhnya yang membentur meja. Yuri berusaha mencari knop pintu agar keluar dari ruangan tersebut dan mendapat bantuan orang diluar sana, siapa tahu mereka dapat menolongnya untuk menghidupkan lampu.
Sementara tak jauh dari dirinya berdiri, Tiffany membekap mulutnya supaya tidak menangis dan mengeluarkan suara isakan. Wanita itu terus menggeleng, membiarkan Yuri bangun dalam keadaan kebingungan. Dia tak sanggup mengatakan kalau Yuri mengalami kebutaan.
Tetapi... semakin dia berusaha menahan, bendungan di pelupuk mata itu tak bisa bertahan lama. Airmatanya tumpah, Tiffany berjalan mendekati Yuri dengan langkah cepat dan menubruk punggung lelaki itu dengan memeluknya secara tiba-tiba.
Yuri meraba tangan yang melingkar bebas di perutnya.
"Apakah itu kamu sica?" senyum Yuri mengembang.
Namun Yuri hanya mendengar isakan tangis dan punggungnya yang basah. Dia tidak mengetahui bahwa Tiffany lah yang sedang memeluknya saat ini. Tiffany menangis semakin jadi dibalik punggung Yuri.
"Sica kenapa kamu menangis, bisa tolong hidupkan lampunya. Aku tidak bisa melihatmu dengan jelas."
Tiffany semakin mengeratkan pelukannya. Hatinya perih, bibirnya bergetar untuk sekedar membalas ucapan Yuri. Dia tak sanggup, siapapun tak akan sanggup melihat keadaan Yuri dan masih mencari keberadaan kekasihnya yang tak memperdulikannya sama sekali.
"Jangan menangis, sayang. Aku tidak bisa menyentuh wajahmu kalau kamu tidak hidupkan lampunya."
"Tolol!!" Tiffany menyahut dan memaki Yuri. Wanita itu sesegukan dan melepas pelukannya menghadap Yuri. Yuri sempat terkejut karena bukan Jessica yang memeluknya.
"Dia tidak akan pernah menemuimu dan tak akan perduli lagi sama kamu." ucapnya lagi. Tiffany mengusap airmatanya yang tak berhenti mengalir.
"Fany, kenapa kamu disini? Dimana Sica? Kenapa kamu tidak hidupkan lampunya sejak tadi." Yuri bersikukuh tak menghiraukan ucapan Tiffany sebelumnya, dia lebih memilih mengulurkan tangannya untuk menyentuh keberadaan Tiffany.
Wanita itu menangkap tangan Yuri dan menggenggamnya erat. Dia bisa melihat darah di tangan kiri Yuri yang terus menetes. Tiffany mendongak mengamati sepasang mata cokelat yang pernah ia lihatnya dulu, kini dililiti perban.
"Bodoh!" Tiffany memukul dada Yuri. Berharap Yuri mengerti atas makiannya.
"Sica diman___"
"Kamu buta Yul, kamu buta!!" dia berteriak didepan wajah Yuri, memotong ucapannya yang menanyakan keberadaan Jessica.
Tiffany tidak bisa menopang tubuhnya, lututnya seperti tak bertulang, wanita itu luruh ke lantai memegangi kaki Yuri yang berdiri tegak. Kepalanya tertunduk dan memukuli dadanya sambil menangis sejadi-jadinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROBOT? (End)
أدب الهواةjangan mencintaiku karena aku tak pernah memiliki rasa. aku tidak memiliki jantung. aku tidak memiliki emosional seperti mereka. aku hanya mengikuti perintah dari tuanku untuk menjagamu. tolong lupa kan masalalu mu jangan terjebak pada orang yang...