13. Namun hatimu bukan untukku

46 4 0
                                    

"terus kita apa?"
"temen lah" ska sembari mengambil kebabku.

Maksudnya? Aku tak mengerti, ska

"temen, ska?"
"hm"
"emang mau apalagi?" ska masih fokus dengan kebabnya

*dering telfon*

"ko dimatiin? siapa, ska?"
"hm... itu.. temen gue di Malibu, iya"

Mengapa aku meragukanmu lagi ska? Mengapa kamu terlihat biasa saja denganku disini? Hadirmu untukku, ragamu untukku, tapi mengapa banyak aku kehilangannya.

"makan yuk? lagi mau sate padang ni"
"gak deh qil, udah malem"
"sekali ska"
"besok deh"

Ska tidak menanggapinya lagi. Ia hanya dan tetap fokus pada ponsel yang ia genggam,

"yaudah yuk pulang"

🌯

*tok tok*

"skaa, biasanya juga langsung buka"

Seorang perempuan, dengan rambut perpaduan coklat dan merah, cantik, memakai pakaian bukan seperti orang Jakarta sebagian.

"siapa ya?"
"Aqsa nya ada?"
"lo siapa?"
"Freya" ia menjulurkan tangannya dengan senyuman

Aku menyuruhnya masuk, untuk apa seorang perempuan mencarimu,ska?

"aku dari New York, satu Universitas dengan aqsa"

Aku meminta freya untuk cerita, ia hanya temanmu? Jarak menempuh Jakarta dari New York bukan sekedar 5 meter atau kiranya dekat, namun itu sudah lebih dari negara satu ke negara yang lainnya.

"aku kira aqsa tinggal disini, aku dapat alamat ini dari deya,"
"deya?"
"iya"

"nih qil sate padangnya"
"freya?"

Aku dan freya hanya terdiam melihat ska datang dengan wajah yang bisa dikatakan senang membawa sesuatu untukku.

Aku memang mendambakan pelangi yang bisa membuat hariku berlomba dalam kesenangan, namun aku lupa. Aku harus menemui sang abu yang membawa kenangan diatas semua air yang ia bawa. Kenangan dimana semua pasti berjalan, kesedihan rupanya. Namun aku salah lagi, tak ada pelangi setelahnya. Apa karna pelangi tlah bertemu dengan pujaan hatinya yang lain? Sehingga tak ingin menjumpai semesta untuk sebentar saja untuk insan yang menunggunya?

Aku harus bisa menyembunyikan air mata ini, ska. Saat aku tau, pelangimu bukan aku?

Freya memelukmu erat, ku jumpai wajahmu melihatku dengan wajah kebingungan. Gak boleh nangis, aqila.

"katanya kamu akan sebentar ke Indonesia, sa" ska melepas pelukan wanita itu
"iya sebentar frey,"

"qil" ska memegang pundakku
"pulang ska" ska menggelengkan kepalanya
"bahagia lo disana, bukan disini"
"gue janji gue akan sering kesini"
"gaperlu ska,"
"gausah kalau perlu,"
"gue bisa sendiri"

Tak segampang itu menahan air mata. Bahagiamu juga bahagiaku bukan? Kenapa rasanya hancur seperti ini? Dengan kenyataan memang bukan untukku lagi. Ska, jangan pergi. Aku wanitamu, bukan dia.

Ska meninggalkan freya dirumahku, ia ingin bicara denganku katanya. Sudah, sudah lebih dari ini tak usah kamu tambah atau kurang, hasilnya akan sama saja. Sakit.

Sore ini, mungkin menjadi senja terakhir ku bersamamu ska, air mataku tak habis dipundakmu diatas motormu. Seakan senja perlahan berganti menjadi langit abu abu yang membawa segenap kesedihan ku, yang mendukung ku, yang menyertaiku, yang meniru keadaanku. Lengkap sudah. Aku tak ingin kamu pergi, andai 1 kalimat ini aku ucapkan dengan mudah, akan aku ucapkan dengan lantang.

sekiranya, hampir.  [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang