83. Teman Suka Duka

4.5K 529 46
                                    

Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽

Tahun ini, tahun pertama Piala AFF U-22 digelar dan kami pulang dengan tangan kosong. Ucapan adalah doa nampaknya terkabul, atas ucapan Ibu Sekjen PSSI kami sampaikan terima kasih. Kami gagal melaju ke Semifinal setelah dikalahkan oleh Vietnam. Tak apa, doa Ibu Sekjen, turnamen ini hanyalah uji coba, negara dibuat coba-coba. Meski datang dengan optimistis, kenyataannya doa Ibu tentang uji coba itu benar adanya.

Pagi ini kami kembali ke Jakarta, libur beberapa hari dan akan kembali ke Wisma Atlet untuk pemusatan latihan menjelang kualifikasi piala Asia U-23. Tapi malu rasanya menginjakkan kaki di negeri ini, berapa kali kami gagal.

Alhamdulillahnya ketika kita malu-malu untuk pulang karena gagal membela negara, itu artinya kami masih punya hati, masih punya malu, bukan seorang koruptor atau pelaku penyuapan yang jelas berkhianat pada negara tetapi tetap tidak tahu malu numpang di negeri ini. Malah kembali mencalonkan diri.

"Mau taruh mana muka kita, Bang, gagal mulu bela negara," ucap Witan duduk di kursi belakangku.

Kami di atas awan, naik singa terbang, berjuluk burung besi. Jadi ini singa atau burung? Jadi punya sayap atau punya rambut banyak di kepalannya? Atau ini hanya burung berkepala singa yang sering kali terseok-seok di udara?

"Proses juara mungkin, Tan. Tenang dulu," kataku menenangkan padahal aku sendiri carut-marut perasannya.

"Eh, Tan, Ketan, kau taruh itu muka di kepala. Jangan kau taruh itu muka di kau pung dengkul!" Pekik Osvaldo.

"E, Kaka Valdo, kau tak pernah belajar bahasa Indonesia ya? Kau ini, arti kiasan saja tidak tahu. Kau sekolah cuma sampai gerbang ya?" Tantang Witan malah menjadi ramai. "Kau tuh, susah sek..."

"Baby shark dududu Baby shark dududu, baby shark!" Pekik Egy Maulana Vikri membuat Witan terdiam dan malah berjoget Baby Shark.

Memang ini tim isinya oleng semua. Mana ada yang benar. Semua omongan kita kadang omong kosong, yang ada isinya cuma kalau di ruang ganti sama di dalam lapangan.

Padahal ini pesawat kelas ekonomi yang penuh dengan beberapa penumpang sipil, tapi empat bangku depan dan belakang ini tidak pernah mau diam. Ngomong terus tidak ada habisnya, apalagi Valdo dan Witan. Masih saja bersisik sepanjang waktu perjalanan panjang.

"Kau pasti ada rasa malu untuk pulang kan, Bang?" Tanya Witan lagi. 

Aku mengangguk singkat. Valdo yang tadinya menanggapi dengan candaan pun sekarang mengangguk.

"Hasilnya masih nol," seru Valdo sedikit lemas.

Bapak-bapak yang ada di samping kami tiba-tiba saja tertawa. Tidak hanya satu sebenarnya, malah dua.

"Mas, kalian itu sudah memperjuangkan nama baik bangsa semaksimal mungkin. Kenapa harus malu untuk pulang?" Salah seorang Bapak-bapak dengan kepala botak yang sungguh sangat kinclong, macam deodoran berjalan mungkin.

Kita semua menoleh, terutama empat kursi, Egy, Witan, aku dan Valdo.

"Mas, malu itu ketika kamu pulang karena kalah tapi dibayar mafia. Nggak dibayar kan?" Yang satunya dengan potongan cepak khas tentara tapi kuyakin dia bukan tentara.

"Ehh, ya enggaklah!" Jawab kami kompak, sampai diingatkan beberapa penumpang lain.

"Ya sudah jangan malu, Mas."

"Iya, nggak usah malu pulang, kalian sudah berjuang, yang lain juga pasti menyambut kalian datang. Petinggi-petinggi kalian itu yang harusnya malu! Ngomong sana-sini, dipanggil media bicara kebenaran tidak mau. Maunya membela diri, meminta dikasihani, meminta perlindungan football family, tidak mau diajak mereformasi PSSI. Mereka yang kotor aja nggak tahu malu, Mas yang sudah mati-matian untuk negara malu. Bangkit, Mas! Evaluasi dan perbaiki!" Yang botak begitu bersemangat.

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang