Pagi ini sangat cerah. Aku berniat keluar dan bermain dengan anak-anak lainnya. Aku mendengar suara bising dari arah luar, bersamaan dengan tangisan anak perempuan.
"Nara ompong. Nara ompong. Nara ompong." Begitu ejekan salah satu anak laki-laki yang sedang mengerumuni Nara.
Tangisan Nara makin menjadi-jadi. Aku hanya terdiam di depan pintu. Hanya terdiam, memandangi anak perempuan itu di ejek habis-habisan dengan anak laki-laki lainnya.
Aku sempat memiliki perasaan bodo amat. Dan saat aku ingin beranjak, langkahku terhenti. Ada salah satu anak berbadan gemuk melempari Nara dengan pasir putih yang mana berhasil mengotor hampir seluruh wajahnya hingga menyerupai aktor pantomim atau bahkan lebih mirip badut.
Tangisan Nara makin menjadi. Ia menatapku seakan-akan mengisyaratkan untuk menolongnya dari kerumunan anak-anak jahil ini. Aku tak tinggal diam, aku mengambil beberapa kerikil yang ada di dekatku. Kemudian mengendap-ngendap, langkahku menjinjit. Lalu......
"Kkkkrrrrssssskkk"
Kulemparkan kerikil-kerikil itu ke arah mereka. Membawa pergi Nara dengan menarik tangannya sambil berlari. Ia sontak terkejut. Beberapa anak-anak itu mengejar kami seolah-olah kami adalah pencuri yang tertangkap basah.
Aku dan Nara berlari memasuki hutan yang berada dekat persawahan belakang Yayasan, dan menerobos alang-alang namun mereka masih saja mengejar. Aku tak kuat lagi, kakiku melemas. Kami berhenti di persimpangan jalan. Tampaknya jalan ini familiar, kataku. Ku tarik lagi tangan Nara dan berlari lagi kesuatu tempat untuk menghindari kejaran anak-anak jahil itu.
"Akhirnya sampai." Kataku dengan nafas yang terengah-engah.
Kami berhenti di sebuah tempat lapang di tengah hutan yang lumayan luas. Terlihat ada pohon ek yang cukup besar dengan ayunan yang terbuat dari ban mobil bekas. Pohon itu mempunyai tangga untuk akses menuju keatas. Terlihat ada rumah yang tidak terlalu kecil terbangun kokoh di atas pohon ek itu.
"Ini dimana?" jawabnya dengan nafas yang tak beraturan.
"Nanti saja aku jelasin. Mereka juga tidak bakalan menemukan kita disini." Jawabku dengan nafas yang terengah-engah.
Kami berdua terduduk, mengatur nafas yang sudah tak beraturan. Ku pijat kakiku yang sedikit terasa pegal. Sambil sesekali mengusap keringat yang membasahi dahiku.
"Bima, itu rumah pohon ya?" tanyanya sambil menunjuk rumah yang ada di pohon ek itu.
"Kamu mau kesana?"
"Mau..mau..mauu" jawabnya antusias.
Kubawa Nara kerumah pohon itu. Sesampainya disana kuurungkan niatku untuk naik keatas. Karna ada beberapa anak tangga yang lepas dan jika aku mengambil resiko untuk tetap naik, akan menjadi bahaya nantinya.
"Nara, tangganya rusak. Kita tidak bisa menaikinya." ucapku sambil menatap ke arah rumah pohon.
"Yaahh gagal deh." Lirih Nara kecewa.
"Bagaimana kalau kita bermain ayunan saja?"
"Iya boleh.. bolehh."
"Baiklah. Kamu yang naik, biar aku yang mendorongnya."
"Oke. Kita bergantian ya. Sehabis aku, kamu lagi yang naik lalu aku yang mendorongnya."
"Baiklah."
Aku mendorongnya dari arah belakang, tak kencang namun cukup membuatnya seperti melayang terbang di udara. Seprti itu terus menerus. Nara menikmati, ia bernyanyi tak jelas. Hanya terdengar kalimat "Naa naa naa" saja yang kudengar.
"Kamu ini bernyanyi apa si?"
"Tidak tahu juga, biar seru saja."
Nara tertawa lepas.
"Ra, coba kamu pejamkan mata kamu. Aku akan mendorongmu lebih kuat, dan rasakan sensasinya. Bayangkan kau sedang terbang di angkasa dengan sekumpilan burung-burung yang terbang di udara."
"Baiklah, akan kucoba."
Dia mulai menutup matanya. Dan aku mulai mendorong ayunan yang ia tunggangi itu lebih kencang.
"Waahh seru sekali Bima." Teriaknya tanpa membuka kedua matanya.
Aku tersenyum. Menurutku tak perlu hal besar untuk menghapus kesedihan menjadi kebahagiaan, kesederhanaan seperti ayunan ini misalnya. Mampu mengubah tangisan seseorang anak kecil menjadi tawa bahagia.
Kulakukan terus menerus, kudorong ayunan itu dengan kencang. Sampai-sampai lenganku terasa pegal. Dan akhirnya aku menyerah, ku lepaskan ayunan itu. Kubiarkan Nara terayun-ayun sendirian di atas ayunan. Aku pergi menepi, duduk disebuah akar pohon ek yang lumayan besar dan menyenderkan badanku. Kurasakan angin yang berhembus menyapu lembut rambut dan mengusap halus kulit wajahku.
"Yah kok berhenti." ucap Nara sambil melihatku yang sedang duduk di sebuah akar pohon ek.
"Tanganku pegal. Kamu mau tanggung jawab kalau tanganku lepas?"
Nara tertawa kecil
"Yasudah sekarang giliranmu. Naiklah, biar aku yang mendorongnya."
"Kau sajalah. Aku capek, ingin istirahat sejenak."
Nara menghampiriku. Anak itu duduk tepat disebelahku di akar pohon yang sama.
"Bim, kau......"
"Sebentar." Aku memotong pembicaraan.
Kuusap-usap tanganku di wajahnya. Memebersikan sisa-sisa pasir yang masih mengotori wajah Nara.
"Nah. Sudah, teruskan."
"Terimakasih." Jawab Nara
"Bim, sejak kapan kamu ada dirumah Yayasan itu? aku lihat kamu sangat dekat dengan Bunda?" Lanjut Nara.
Aku terdiam sejenak. Lalu menarik nafasnya dan mulai bercerita. "Yang kudengar dari bunda aku disana sejak aku bayi. Aku dibawa oleh beberapa warga desa, mereka mengaku bahwa aku ditemukan di tempat pembuangan sampah umum yang ada di ujung jalan. Hanya itu yang kudengar dari cerita bunda."
"Lalu?"
"Lalu apanya?"
"Ya lalu saja." Nara tertawa.
"Umur kamu berapa?" Lanjutnya.
"Umurku 7 Tahun. Sama sepertimu."
"Tempat ini bagus Bim, kamu biasa kesini?" ucap Nara sambil melihat sekeliling.
"Iya, hampir setiap sore. Hanya sekedar untuk melihat senja dari atas rumah pohon."
"Senja? aku juga suka senja."
"Kenapa kamu suka senja?" tanyaku.
"Kenapa harus tidak suka? walaupun senja membawa kita pada kegelapan setidaknya ada hal indah lainnya yang menunggu untuk di nikmati juga."
"Apa itu?"
"Malam. Gemintang tak kalah cantiknya dengan senja. Aku suka keduanya, sama-sama membuatku damai dan tenang saat menikmatinya."
"Untuk anak seusiamu, perkataanmu sudah cukup dewasa."
"Itu hanya kutipan di sebuah buku yang sering aku baca." Nara tesenyum.
Dari saat itu aku dan Nara berteman baik bahkan bisa di bilang kami bersahabat. Aku seperti pelindung baginya jika ada yang ingin macam-macam dengannya atau sekedar mengejeknya. Aku tak segan-segan untuk memberi peringatan kepada orang itu jika berani macam-macam dengan Nara.
Aku dan Nara sering bercerita tentang beberapa hal yang dia sukai tentang kegemarannya bermain boneka atau tentang cita-citanya. Kami sangat akrab dan bahkan sangat dekat. Dan aku juga sering bercerita tentang kegemaranku membaca dan menulis. Dan hal yang paling dia dan aku suka adalah melihat senja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang
Kısa HikayeKau masih lagu-lagu yang sering aku nyanyikan. Kau bukan hanya orang yang ingin aku bagi ketika aku mendapat kebahagiaan. Kau adalah momen-momen bahagiaan yang pernah aku bayangkan. Kau masih doa-doa yang sering aku panjatkan. Mata yang ingin aku t...