Bagian 10

1.3K 141 3
                                    


     "Lo ...?"

Bibirku mendesis pelan, tak percaya dengan penglihatan sendiri. Nyatakah ini? Atau hanya sebentuk halusinasi karena rasa kesepian yang menyerang?

Entahlah!

Yang pasti saat ini aku butuh seseorang untuk berbagi. Di saat dikelilingi banyak orang yang menyayangi, aku malah merasa sendiri. Ingin berbagi penderitaan tapi malah takut akan menjadi beban pikiran juga bagi mereka. Sementara jujur aku butuh dukungan agar semangat melakukan pengobatan.

Sejauh ini belum ada perkembangan yang berarti.

Tanpa sepatah kata pun, Roby mendekat. Meraih tubuhku dan membenamkan erat di pelukannya. Debar jantung Roby yang bertalu nyata di telinga.

"Kenapa gak bilang?"

Aku mendongak saat mendengar suaranya yang bergetar. Mata yang sedikit memerah itu menatap sayu.

"Rob?"

"Kalau saja aku gak bertemu Alika di bandara Soekarno-Hatta."

"Alika?" Mataku membulat sempurna.

"Kamu kenal dia?"

"Alika adiknya Rama."

Deg!

Seperti dugaanku. Demi melihat tatapan curiga laki-laki itu, aku tak yakin ia tidak akan mencari tahu. Hanya saja kenapa justru ia memberi tahu ke Alika? Bukan kepada Roby? Bukankah yang ia tahu aku tunangan pria itu? Atau jangan-jangan pertemuan yang terjadi bukan sesuatu yang kebetulan? Berbagai pertanyaan menghantui benakku.

Namun tak satu pun yang  terjawab. Semua terasa begitu aneh.

"Alika bilang apa?"

Bukannya menjawab, Roby malah menatap datar.

"Kamu anggap apa aku, Ai? Kamu anggap apa keluargamu? Keluargaku? Dan mereka yang sayang sama kamu?" Ada emosi yang berusaha diredam di balik nada suara yang meski terdengar pelan.

"Ada apa, Rob?" Aku bersikap setenang mungkin, meski sudah menduga ke mana arah pembicaraan pria ini.

Makin penasaran. Apa saja yang mereka bicarakan? Tentang Ardian kah? Jika benar kedatangan Rama ke rumah sakit waktu itu ada kaitan dengan Alika, artinya wanita itu mengetahui kalau aku sakit? Mungkinkah itu salah satu alasan ia memintaku untuk menikah dengan Ardian? Suaminya. Dan kalau dugaanku benar, bagaimana ia bisa tahu? Sementara aku tak pernah menceritakannya pada siapa pun. Apalagi Alika.

Berbagai pertanyaan yang memenuhi otak membuat kepalaku berdenyut nyeri.

"Sampai kapan akan menutupi? Sampai kamu terbaring lemah tak berdaya?" ujar Roby kembali.

Mata itu tidak saja makin memerah, malah setitik bulir gugur dari sudutnya saat sang pemilik berkedip.

Pertahananku runtuh. Aku membalas pelukan itu dengan erat. Tergugu di dadanya yang bidang. Ternyata aku tidak setegar itu.

"Gue hanya gak mau menjadi beban bagi kalian," sahutku dalam isak.

Roby melonggarkan pelukan. Iris mata coklat gelap itu terpaku tepat ke bola mataku. Berpendar gelisah.

"Beban apa?" sahutnya gusar.

Lantas melepas pelukan perlahan. Mengusap wajah lalu kedua telapak tangan yang besar itu meremas rambutnya sendiri kasar. Roby membuang napas berkali-kali.

"Kamu pikir kamu siapa? Bisa menghadapi masalah yang demikian besar tanpa niat berbagi dengan siapa pun? Aku tau, mungkin kamu gak pernah menganggap aku bagian terpenting dari hidup kamu. Tapi setidaknya lakuin buat diri sendiri. Kamu butuh seseorang, Ai. Dan aku berharap orang itu ... aku," lanjut Roby pelan.

Ia membuang tatap. Lantas melangkah ke bibir kolam, membelakangi. Nyata sekali kekecewaan dari nada suara itu.

Hatiku mencelus. Ternyata aku salah. Sikapku yang sok kuat dan tidak ingin merepotkan orang lain disalahartikan oleh Roby. Dan rasanya itu ... sakit.

Sekelumit sesal menyelinap. Jika Roby saja demikian kecewa dengan kebisuanku, lalu bagaimana dengan Papa dan Mama? Bukankah mereka akan jauh lebih sakit?

"Maaf," desisku dengan suara bergetar. Menubruk tubuh atletis Roby dan melingkarkan kedua tangan di perutnya. Air mataku tak bisa lagi dibendung. Membasahi punggung laki-laki itu hingga membasahi kemeja coklat susu yang ia kenakan.

Sesaat Roby tertegun. Ia hanya diam sambil menengadah ke langit sebelum akhirnya melonggarkan pelukanku dan membalikkan badan.

Pria dengan bola mata coklat gelap itu menatap dalam. Kedua telapak tangannya menangkup wajahku. Dengan ibu jari mengusap bening yang tak berhenti mengaliri pipi. Kemudian meraih tengkukku, membenamkan di dadanya yang bidang.

Ada damai yang mengalir saat kita bisa berbagi rasa. Seolah ada beban yang terlepas setelah menggelayuti pundak selama berbulan-bulan.

"Kamu kurusan sekarang, Ai," gumamnya pelan setelah kami saling terdiam dalam pelukan yang cukup lama. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Pasti rasanya sangat menderita jadi kamu." Ia melanjutkan.

Aku tak tahu menderita seperti apa yang ia maksud. Tentang Ardian kah atau tentang penyakitku. Atau malah mungkin dua-duanya. Satu hal yang pasti aku tak akan mengoreknya untuk saat ini. Karena biar bagaimanapun ini pasti tidak mudah untuk Roby. Biarlah nanti waktu yang akan menjawab.

Pada saat memutuskan untuk memberinya kesempatan, di saat itu hatiku telah bertekad menjadikan Roby tujuan hidup. Tapi siapa yang menyangka? Saat aku tengah berusaha menghapus kenangan masa lalu dan nyaris tenggelam justru Roby sendiri yang mengangkatnya ke permukaan.

"Rob ...."

"Ya?"

"Jangan benci gue," desisku pelan.

"Dasar bodoh! Siapa yang benci kamu." Ia mengacak rambutku gemas.

"Tapi lo barusan marahin gue." Aku merenggut.

Roby mesem.

"Makanya jangan sok rahasia-rahasiaan."

"Gue hanya gak mau lo dan yang lainnya khawatir."

"Lalu kamu pikir sekarang aku gak khawatir?"

"Jadi karena itu lo kembali?"

Roby melengos.

"Masih aja nanya."

"Tinggal jawab aja apa susahnya sih?" Aku cemberut.

"Lagian udah tau gue sakit, bukannya disayang malah diomelin."

"Setelah apa yang kamu lakuin, kamu mau disayang? Sini aku cium sekalian. Kamu ngegemesin tau gak?" sahutnya kesal.

Shit!

Nih orang blak-blakan banget.

Wajahku menghangat.

"Udah ah, gue mau tidur. Udah malam," ujarku menghindari tatapannya.

Saat akan berlalu Roby memegang pergelangan tanganku. Tatapannya menelisik. Jujur ditatap sedemikian rupa membuatku merasa risi.

"Rob."

Bola mataku berpendar saat wajah itu makin mendekat. Tubuh mendadak terserang demam. Panas dingin. Refleks aku memejamkan mata. Entah menunggu ia melakukan sesuatu, entah karena gugup.

Pelan aku merasa ujung jarinya menyentuh pipiku lembut.

"Udah."

Aku membuka mata.

"Bulu mata kamu jatuh, kangen aku ya," ledeknya cengengesan sambil menunjukkan selembar bulu mata yang ia pegang.

'Anjir! Pengen gue bejeg nih orang'.

Dengan kesal aku menyentakkan tangan. Kembali berbalik, melangkahkan kaki yang sedikit dientakkan ke lantai. Siapa yang gak kesal coba.

"Ai ...."

Aku tak menggubris. Masih kesal soalnya.

"Aira ... menikahlah denganku!"

Next ....

DILEMA (Antara Cinta dan Persahabatan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang