part 3

496 13 0
                                    

Telah banyak yang sudah ku lalui bersama Nara. Jujur, aku adalah anak yang pemalu dan tak pintar bergaul dengan anak lain. Tapi kehadiran Nara membuatku menjadi orang yang lebih berarti. Masih jelas kuingat saat pertama kali dia datang ke Yayasan ini dengan boneka beruangnya yang berwarna coklat lusuh dan kotor.

Bunda juga ikut senang karena aku bisa bergaul seperti anak-anak lainnya, walaupun hanya Nara yang senang bermain denganku. Bagaimana tidak, aku punya hobi membaca dan menulis terlebih aku suka menyendiri saat sore. Melihat indahnya anugerah tuhan yaitu senja.

Kebanyakan anak-anak di Yayasan ini memandang diriku aneh. Katanya gaya hidupku terlalu tua. Anak laki-laki berusia 7 tahun dengan kegemarannya membaca, menulis, dan menikmati senja. Mereka menganggapku tidak normal, punya hobi dan gaya hidup seperti itu. Namun aku tetap tak memeperdulikan apa kata mereka. Lagi pula ada Nara sekarang yang bisa menerima aku apa adanya.

***

Waktu berjalan maju, umurku sekarang 10 tahun begitupun dengan Nara. Tak ada yang berubah, kami tetap menjadi sahabat. Dia bisa menjadikanku tempat mengaduhnya, begitupun aku. Aku menjadikan dia tempat mengeluarkan kegelisahanku, terkadang aku curhat dengannya, ya tentang apa saja.

Nara sempat bercerita bahwa ada beberapa pasang suami istri dari kota yang menginginkan dia untuk dijadikan anak angkat mereka. Nara yang dulu bukanlah yang sekarang. Tubuhnya kini lebih terawat. Gigi ompong yang dulu jadi bahan ejekan anak lelaki lain kini sudah rapih dan putih, kulitnya bersih, matanya bulat dan berwarna kecoklatan, hidungnya mancung, dan bibirnya tipis. Itu yang menjadi daya tarik seoarang Nara, banyak sepasang suami istri yang ingin menjadikannya anak angkat.

Aku sempat memberikannya nasihat untuk ikut dengan salah satu dari mereka. Dia harus melanjutkan sekolahnya agar kelak tidak bisa di bodoh-bodohi oleh orang lain. Tapi ia selalu menjawab. "Bagaimana denganmu jika aku pergi?"

Sebenarnya berat melihatnya pergi dari sini. Aku yang sudah di anggap sebagai anak sendiri oleh Bunda Indah tak ingin melepasku ke keluarga lain. Sempat sedikit kesal melihat masa muda Nara ia sia-siakan seperti ini. Ia harus mengejar cita-citanya menjadi dokter, atau bahkan menjadi pemilik pabrik boneka yang pernah ia ceritakan.

***

Di penghujung sore seperti biasa, kami berdua menunggu senja di atas rumah pohon.

"Bim kau lihat pemandangan disana. Desa kita telihat sangat kecil ya dari sini. Begitu banyak orang yang membanggakan semua harta dan kekuasannya namu tak ada artinya jika dilihat dari atas langit." ucap Nara sambil menengok kearah jendela rumah pohon yang langsung terhampar pemandangan desa.

"Iya, Ra." Jawabku singkat.

"Kau ini kenapa? Tak biasanya seperti ini."

"Tidak apa-apa." Jawabku apa adanya.

Nara menyentuh pipiku. Wajahku memerah. dadaku sesak karna berdegub tak beraturan.

"Kau ini kenapa? Dari kemarin sikapmu dingin."

"Tidak ada apa-apa. Tak usah dipikirkan." Aku menyingkirkan pelan tangannya dari wajahku.

Nara mengambil sebuah pisau kecil yang ada sudut rumah pohon itu. Dia terilihat mengukir sebuah nama seseorang di dinding rumah kayu itu , terlihat seperti tulisan "Bima".

"Aku sudah menuliskan namamu di dinding ini supaya suatu saat kalau kau atau aku yang pergi kita bisa melihat ini kembali. Persahabatan kita terlalu indah untuk tidak di kenang."

"Kau tumbuh menjadi wanita yang alay rupanya."

"Isshhhh nyebelin kamu." Nara menyubit kecil lenganku.

"Sekarang kamu tulis nama aku di sebelahnya." Nara memberikan pisau kecil itu kepadaku.

"Harus seperti itu ya?" Jawabku seadanya.

"Baiklah. Aku pulang saja."

Belum sempat ia beranjak. Aku menarik tangannya, dan menyuruhnya duduk kembali.

"Begitu saja sudah marah."

"Lagian kamu nyebelin."

Aku mengambil pisau kecil dari tangannya. Ku ukir namanya tepat di samping namaku, menandakan bahwa kita pernah disini. Seperti yang dia bilang. Persahabatan kita terlalu indah untuk tidak di kenang.

"Sudah."

"Nah gitu dong. Aku ingin kau dan aku tetap menjadi sahabat sejati. Jangan ada ingkar di antara kita berdua, dan paling penting jangan ada yang berhianat."

"Oke." Jawabku singkat.

Kemudian Nara kembali memandang hamparan rumah penduduk yang rapih tersusun dengan sinar matahari yang menyinari bumi desa. Ia tersenyum, entah karena bahagia atau karena berhasil berhianat.

Aku memandanginya dalam sambil tersenyum tipis. Ku ingat pesan bunda dua hari yang lalu. Kulihat lagi wajah Nara yang masih tersenyum, ingin rasanya ku pukul bibir manisnya itu saat dia katakan tentang penghianatan.

"Ra?"

"Iya Bim?" Dia menoleh menatapku.

"Kau berhianat."

Nara tak mengerti apa yang Bima bicarakan. "Maksudnya?"

"Iya, Kau berhianat. Kau baru saja mengucapkan jangan ada yang berhianat di antara kita. Tapi kau mengingkarinya."

"Apa yang kau maksud Bim?"

"Kapan kau akan pergi? Bunda bilang kau akan pergi beberapa hari lagi. Kau sudah mendapatkan orang tua angkat bukan? Hah.. Bagaimana kau tak memberitahuku?"

"Maafkan aku Bim." Ia berhenti sejenak lalu melanjutkannnya.

"Ini sudah keputusanku. Kau yang sering bilang kalau aku harus mengejar impianku. Aku ingin sekolah di tempat yang semestinya. Bukankah bunda selalu bilang kalau semua anak punya kesempatan yang sama. Aku tidak bisa terus-terusan berdiam di sini. Kau bisa bersekolah di tempat dimana yang kau mau karena kau sudah di anggap sebagai anaknya bunda. Sedangkan aku Bim? Bukan tak bersyukur, aku juga punya impian. Bukan hanya kau."

Nada Nara meninggi. Derai air matanya mulai keluar membasahi pipinya. Aku sempat terdiam, tak pernah aku melihat dia semarah ini.

"Maafkan aku Ra." Kataku sambil mengelus lengannya seraya menenangkan.

Senja Yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang