I told you something safe
Something I've never said before
And I, I, I can't keep my hands off you
While you lie in the wake
Covered all in the night before
I'm high, high, high, no one's got me quite like youI want you all to myself
Don't leave none for nobody else
I am an animal with you
No angels could beckon me back
And it's hotter than hell where I'm at
I am an animal with youAn ode to the boy I love
Boy, I'll die to care for you
You're mine, mine, mine, tell me who do I owe that to?
And as the days fly by
We'll be more than getting through, yeah
And in time, time, time, we'll build a home for two..
.
.
.
.Kutulis ini sembari menyaksikan kesetiaan embun menyambut pagi dalam dekapmu. Rembulan yang jadi saksi semalam suntuk meleburnya kita dalam penyatuan puisi jiwa telah beranjak dari peraduan. Digantikan semburat merah menjingga di ufuk timur yang kian naik keangkasa membawa seberkas sinar dari celah jendela yang menggores ingatan.
Kamu yang memelukku kini terlelap dalam fase terdamai dari sekian banyak episode-episode hitam putih hidupmu. Aku bagai sedang memandang venus yang telanjang dibawah bintang, kamu lah venus yang paling terang sejagat bima saktiku.
Venus yang menyukai fajar namun lebih memilih tenggelam dalam pekat malam.
.
.Cahaya dan remang bersahabat dalam senyap, kuraba dadamu yang terbuka. Hanya naik turunnya napas lelah yang kujaga agar kau tak terhenyak dari lelapmu. Dalam igauan kau serukan namaku dan aku pun tersenyum, berbisik. Jika aku selalu disini bersamamu, tak lepas dari mimpimu.
Aku selalu berhasrat menulis, bagiku menulis adalah kesempatan terbaik untuk bahagia. Aku menuliskan apapun yang ingin dimuntahkan isi kepalaku. Dan, kali ini kuputuskan untuk menulis kisah kita.
Perihal sebelum tulisan ini kutulis, lebih tepatnya saat aku terombang-ambing bagai bunga dandelion yang tertiup angin kesendirian. Saat itu aku sama sekali tak menemukan jalan untuk kembali dari kedukaan setelah ditinggalkan olehnya —dia yang membawamu kehadapanku sebagai seorang penjaga.
Pada satu masa tak pernah kukira jika kematian akan menghampiri dan memisahkan sebuah kebersamaan. Jemarinya yang pucat menggenggam milikku, menatap dengan tatapan sayu seolah kelopak mata itu tak lagi berdaya menatap wajahku yang berkubang tangis.
"Aku punya seseorang yang akan kukenalkan denganmu."
"Siapa?"
"Dia, sepupuku."
Jawabnya lirih. Matanya menerawang jauh, menghitung setiap tetes cairan infus penyambung hidup.
"Ketika melihatnya nanti, kau akan seperti melihatku."
"Aku tidak akan melihat siapa pun selain kamu."
Mungkin karena aku terlalu dibawa asa bahwa dia dan aku akan selamanya bersama, namun kenyataannya kalimat itu adalah pertanda bahwa hela nafasnya tak lagi bertahan lama.
Seminggu setelah pertemuan kami kabar itu datang, dia pergi tanpa berpamitan. Tanpa berpesan selamat tinggal, tanpa memperdulikan aku yang luluh lantak hancur karena kehilangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
VENUS
PoetrySampai cerita ini ditulis pun aku tak tau bagaimana akhir dari perjalanan kita. Apakah akan berakhir bahagia seperti inginku atau justru kisah ini mempunyai akhir berupa eligi. Namun dibalik itu semua aku menitipkan harapan yang bergelora, mengungka...