Setelah jam pelajaran keenam hari ini, sebuah tugas terus menghantui pikiran Lee Jinan dalam lamunannya. Tugas itu mengharuskan Jinan membuat sebuah puisi mengenai seorang ibu, sosok wanita yang sudah sepantasnya dimiliki oleh semua orang. Saking sulitnya, tugas ini selalu melayang dalam otak Jinan meski pemuda itu berusaha melawannya.
"Heh, kok melamun terus sih?" Tegur Richene setelah dia dan anak-anak Superior Mansion lainnya berkumpul pada sebuah meja dalam kafetaria sekolah.
"Ada masalah, Ji? Kalau mau cerita ya dicerita aja, jangan dipendam." Sambung Yaheskiel sambil mengaduk krim supnya.
"Mama." Ucap Jinan lantas mengundang perhatian para remaja di sekitarnya. "Mamaku ada dimana, ya?"
Reyjune menjawab, "kita semua aja gak tau Ji istri atau mantan istri ayah kita semua kemana atau dimana."
Jika ketujuh remaja ini membahas tentang ibu, maka mereka semua akan terdiam dan kehilangan jawaban. Walaupun mereka sudah dikelilingi barang-barang mahal, belajar di sekolah elit, mempunyai semua keinginan sementara, dikagumi banyak anak perempuan bahkan anak lelaki sekalipun, menetap di mansion mewah, tetapi tentunya mereka juga ingin memiliki figur seorang ibu yang berada di samping ayah dan diri mereka sendiri.
Dylan menimpali, "papa gue—papa gue gak begitu suka membahas tentang mama gue. Tapi gue sendiri sebenarnya tahu mama tinggal dimana sekarang."
"Seriously?" Tanya Marcel yang diangguki Dylan. "Ya kalau begitu lo harus bersyukur karena lo tahu mama lo dimana."
"Sebenernya sih gue lebih kangen sama adek gue."
"Hah?!" Reyjune, Richene dan Jinan terkejut secara bersamaan. Sementara sisanya seperti sudah tahu fakta itu.
"Oh, lo semua belom tahu ya? Papa mama Dylan sempat konflik gitu tentang hak asuh anak sebelum cerai. Yang pasti Dylan bukan anak tunggal." Jelas Jonathan pada ketiga temannya. "Maklum sih kalau kalian belom tahu, kan kalian baru tahun lalu masuk ke mansion."
Dengan cepat Reyjune menyambungkan, "jadi adek lo dimana, Lan?"
"Namanya siapa? Cewek atau cowok?" Jinan menjadi antusias.
"Cewek. Namanya Nakamoto Dyrin, sekarang dia tinggal bareng mama gue. Tapi katanya dia mau pindah ke mansion gue minggu depan."
Richene menengah, "kenalin ya ke gue, hehehe."
"Dia masih kecil, bego." Balas Dean sambil menjitak kepala Richene.
"Yeee, namanya juga gue gak tahu!"
Dylan tersenyum tipis sambil mengeluarkan ponselnya yang bergetar. Di sela-sela waktu perkumpulan mereka, tiba-tiba seorang gadis sebaya Richene dan Jinan datang sambil membawa sepucuk surat.
"Lee Jinan." Panggilnya menyodorkan surat berwarna pink, "kamu baca ya."
Yaheskiel yang berada lebih dekat dengan gadis itu berniat untuk membantu memberi surat kepada Jinan. Tetapi saat suratnya sudah ada di tangan Yaheskiel, gadis itu terburu-buru pergi meninggalkan tempat mereka.
Alis Yaheskiel mengerut dan bertanya, "kenapa tuh? Cewek lo ya, Nan?"
"Ya bukanlah." Jinan menggeleng keras untuk membantah, "dia yang sering deket-deket ke gue."
"Namanya Kim Ashley. Dia emang suka sama Jinan. Tapi kok lo gak ngerespon apa-apa sih?" Tanya Richene seraya menepuk-nepuk lengan Jinan.
"Gue gak begitu suka berdekatan sama cewek. Maksudnya—secara garis besarnya itu bukan karena gue yang benar-benar gak mau, tapi karena papa ngelarang gue buat main sama cewek."
Dean menepuk jidatnya saat mendengar penuturan Jinan. Jadi kalau begitu—"masa lo mau main sama cowok doang sampai lo dewasa? Gak takut dikatain gay?"
"Haduh, Om Tyrese ada-ada aja."
Tidak lama kemudian, Jinan meraih surat tadi dan membuangnya ke tempat sampah terdekat. Dia tidak mau papanya sampai tahu dan akan memberi peraturan lebih ketat.
Di sisi lain, Jonathan yang tidak banyak bicara hanya bisa melihat teman-temannya terus mengobrol. Pikiran lelaki itu kini dipenuhi oleh perkataan daddy-nya, yang menekankan jika orang yang telah melahirkan Jung Jonathan telah tiada.
• • •
"Oke, secepatnya akan saya urus. Oke, siap-siap. Nanti kalau sudah rampung, tolong arahkan ke pegawai baru." Pinta Nakamoto Yuta sedang sibuk menjawab telepon dari seorang rekan. Dan setelah itu Yuta meletakkan telepon khusus dalam ruang bekerjanya, beralih melihat berkas-berkas lain.
"Kim Doyoung—Dong Sicheng—" gumamnya sambil membolak-balikkan beberapa lembar dokumen secara bergantian. Beberapa menit berselang, pintu ruangannya begitu saja tanpa didahului suara ketukan lebih dahulu. Lantas Yuta mendongak, mendapati Jung Jeffrey dengan dua cup kopi di tangannya.
"I'm coming." Kata Jeffrey.
"Iya, iya. Gue tahu gue kebanyakan dokumen baru. Lo gak usah ganggu, bisa?"
"Awalnya sih, gue mau ganggu." Jeffrey menyimpan satu cup kopi di depan Yuta, "tapi ada orang lain tuh yang mau ketemu."
Belum sempat Yuta bertanya, pintunya yang masih terbuka diketuk, memperlihatkan seorang wanita bersama dengan seorang gadis kecil. Sontak Yuta bangkit, meletakkan penanya begitu saja sebelum merentangkan tangan.
"Papa!" Teriak si gadis kecil itu sebelum turun dari gendongan ibunya. Ia berlari ke arah Yuta yang tersenyum riang menyambut kehadirannya. "Papa!" Serunya sekali lagi.
"Dyrin sayang, anaknya Papa Yuta." Ujar pria tersebut dan memeluk anak perempuannya yang sudah lumayan lama tidak bertemu dengannya. Yuta lalu menggesekkan hidung mancungnya kepada hidung mungil Dyrin.
"Papa papa, Kakak Dylan mana?"
"Kakak kamu lagi sekolah, sayang." Jawab Yuta kemudian beralih menatap Danela—mantan istrinya—yang merekahkan senyum tipis.
Danela mengeluarkan sebuah undangan berwarna peach dari tas rajut miliknya, lalu menyodorkan selebaran itu pada Yuta yang masih menggendong Dyrin. "Sebentar lagi aku akan nikah, datang ya? Dan kalau bisa, ajak Dylan."
Ucapan Danela mencekat nafas Yuta. Bukan karena Danela yang sebentar lagi akan melepas masa kesendiriannya, namun karena Yuta terpikirkan oleh Dylan, si sulung yang mungkin masih menyimpan rasa kecewa terhadap perpisahan kedua orangtuanya.
"Dyrin terus minta biar dia tinggal sama kamu dan Dylan. Awalnya aku diamin, tapi dia bahkan nangis-nangis. Aku gak tahu mau berbuat apalagi selain ngerelain dia tinggal sama kamu, Yuta." Jelas Danela mengambil jeda sesaat. "Mungkin Dyrin memang lebih nyaman bareng kamu."
Tiba-tiba Dyrin berkata, "Rin lebih suka Papa Yuta daripada Om itu!"
"Rin, siapa yang ajarin kamu bicara begitu?" Tegur Yuta membuat Dyrin bersembunyi pada lehernya. Tidak menunggu waktu lama, Danela berpamitan untuk meninggalkan Yuta dan Dyrin.
"Hati-hati kalau begitu." Ujarwn Yuta yang membuat Danela mengangguk. Wanita itu berbalik, benar-benar melenggang pergi dari kantornya.
Jeffrey yang masih berada dalam ruangan yang sama sedang menatap ponselnya yang terus berderit, menunjukkan nomor tak dikenal yang berusaha menghubungi. Setelah panggilan itu berubah menjadi panggilan tak terjawab, Jeffrey menyimpan ponselnya pada saku kemeja sembari menyesap kopi hitamnya.
"Halo, Dyrin." Panggil Jeffrey setelah merasa kalau dirinya sudah dapat melakukan percakapan. "Dyrin gak kangen sama Om?"
"Eh, Om Jeff!"
Pergerakan Dyrin yang begitu aktif membuat Yuta dengan ringan hati membiarkan Dyrin melepas rindu bersama Jeffrey. Sesaat kemudian Yuta meletakkan undangan tadi di atas meja kerjanya. Memikirkan cara yang tepat untuk menyampaikan pesan ini pada Dylan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUPERIOR MANSION ✓
FanficNever mess with families in this superior place! 2019.