"Aku lelah", kataku didepan cermin sambil menatap wajah lusuh dan tatapan redup milikku sendiri.
Sepuluh detik aku memejamkan mata mencoba melupakan semua yang sudah terjadi hari ini. Nyatanya melupakan sesuatu sangat sulit, apalagi hal itu terus muncul didalam otakmu.
Tempo hari Daniel bertanya padaku apakah aku punya waktu luang untuknya atau tidak. Aku membaca pesannya sambil memijit kening dan mulai bertanya-tanya apa yang ia inginkan dariku. Maka dari itu aku memutuskan untuk menelponnya.
"Kau ada waktu?", katanya padaku. Aku terkesiap.
"Jika kau mau, akan kukatakan ada"
"Aku rindu", katanya tepat setelah aku menjawab.
"Kau rindu?"
"Hm. Aku rindu"
Kami berdiam sejenak di telpon untuk saling menyiapkan kata selanjutnya yang bisa diucapkan dengan ringan.
"Kau yakin merindukanku?", tanyaku sekali lagi.
"Aku punya sejuta alasan untuk merindukanmu"
"Tapi aku bukan lagi kekasihmu", sergahku cepat.
Benar, Daniel adalah kekasihku, dulu. Dulu kami menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai lelah dengan ritme hubungan kami yang mulai membosankan. Terlebih pekerjaannya yang semakin tak masuk akal. Ia sering sekali pergi keluar negeri hanya karena ia adalah seorang pengacara.
Aku ingin tahu pekerjaan pengacara seperti apa dan mengapa ia harus ke luar negeri hampir setiap minggu. Di hari normal ia banyak mengerjakan kasus-kasus setebal kamus yang tertumpuk tinggi di mejanya.
Sedangkan aku adalah seorang staff HRD yang tak punya pekerjaan lain selain memeriksa surat lamaran, melakukan evaluasi harian dan membuat laporan progress lainnya. Sempat aku berpikir jangan-jangan aku akan mati di kantor hanya karena bosan dengan pekerjaan ini.
Kesibukan itu ternyata membuat jurang yang cukup besar diantara kami berdua. Perlahan kami saling mencari alasan untuk bertengkar atau membahas apapun untuk meluapkan amarah. Kami tak pernah sadar bahwa sebenarnya, kami hanya lelah.
Sampai sebulan yang lalu, aku berkata padanya untuk mengakhiri hubungan ini. Aku bilang, aku lelah. Aku ingin terbebas dari masalah yang menyulitkanku. Termasuk Daniel, ia juga menjadi masalahku. Sayangnya, aku tak memastikan apakah Daniel benar-benar memintaku untuk putus atau tidak.
Pada akhirnya hari itu aku mengiyakan untuk berkunjung ke apartemennya selepas bekerja. Aku tak berkata dengan pasti, pukul berapa aku akan kesana dan kapan. Aku hanya berkata bahwa aku akan berkunjung.
Aku sudah berharap setengah mati, setelah pertemuan ini semoga kami bisa sedikit berbaikan. Setidaknya kami tak lagi marah-marah soal hal yang tidak jelas. Namun, semuanya berakhir begitu menyakitkan bagiku.
Awalnya aku cukup senang ketika aku tahu bahwa Daniel tak mengganti sandi apartemennya, masih tanggal hari jadi kami. Dengan senyum merekah aku masuk dan membawakan ayam goreng asam manis kesukaannya.
Tapi katakan padaku, apa yang harus kau lakukan ketika kau melihat kekasihmu sedang bercumbu dengan wanita lain. Di atas tempat tidur. Tanpa sehelai benang pun.
Rasanya begitu malu ketika aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku dengan bodohnya mencoba kembali kepada orang yang menyakitiku sejak lama. Aku bahkan tak sempat berpikir, bagaiman jika perkataan Daniel tempo hari itu bohong? Bagaimana jika ia hanya menggodaku saja?
Dan bagaimana jika memang Daniel dan wanita itu sudah berhubungan sejak lama? Aku tak habis pikir.
Daniel mengejarku hingga ke depan lift. Ia masih sempat memegang tanganku dan menahanku untuk pergi. Tapi aku tak punya alasan apapun untuk berada disana.
YOU ARE READING
Escape - Kim Jaehwan
Fanfictiona one-shot story of Wannaone Kim Jaehwan. It's my 2nd one-shot story about him. It's light enough I hope you enjoy my story. Kadang suka kaget kalo mau tidur tiba-tiba dapet ide buat nulis, jadilah seperti ini. Selamat membaca.