Aku dan Nara masih bertukar kabar lewat chatting. Dari setiap malam, lama-lama menjadi tiga malam sekali. Lalu satu minggu sekali, dua minggu sekali, sebulan sekali, dua bulan sekali. Hingga akhirnya kami berhenti bertukar kabar. Entahlah mungkin Nara terlalu sibuk disana. Atau mungkin kami sedang membiasakan diri untuk tidak kecanduan satu sama lain. Aku tak tahu, perasaan yang mulai bisa kupahami ini juga tidak menghilang siring dengan menghilangnya obrolan-obrolan kecil kami.
Aku sekarang sudah duduk di bangku SMA sama seperti Nara. Aku juga kadang sibuk dengan pelajaran-pelajarn di sekolah. Hingga tak pernah lagi mengunjungi rumah pohon yang dimana aku di amanahkan untuk menjaga rumah pohon itu seperti aku menjaga dirinya.
Aku belajar giat setiap hari untuk mewujudkan janjiku kepada Nara bahwa aku akan menyusulnya ke kota. Aku akan berniat melanjutkan pendidikanku diperkuliahan. Aku berhasil mendapat beasiswa untuk kuliahku disana. Paling tidak kerja kerasku selama ini terbayar, janjiku kepada Nara akan segera aku tepati. Walaupun harus ada yang aku korbankan. Aku akan meninggalkan Bunda dan rumah pohon itu didesa untuk melanjutkan pendidikanku di kota.
***
Tahun-tahun berlalu. Tiba pada masanya hari kelulusanku. Aku yang lulus dengan nilai terbaik mendapatkan satu tempat di salah satu Universitas yang ada di kota tanpa mengikuti tes apapun. Aku bangga, namu aku tidak puas. Aku tak sabar melihat sahabatku lagi yang berada jauh disana dan memamerkan hasil kerja kerasku selama ini.
Aku berangkat dari desa, kupandangi raut wajah bunda yang mulai menua. Ku peluk erat tubuhnya menandakan perpisahanku padanya. Kepergianku ke kota membuatnya sedih. Walaupun aku bukan anak kandung bunda tapi Bunda sudah menganggap aku adalah segalanya dalam hidupnya. Aku mninggalkan desa dengan langkah yang berat. Meninggalkan masa kecilku, meninggalkan semua yang pernah aku lakukan disini, meninggalkan rumah pohon yang pernah menjadi tempatku lari dari segala hal tentang dunia. Aku pergi, dengan sejuta alasan untuk cepat kembali.
***
Aku duduk di bagian belakang mobil angkutan umum. Berhimpitan dengan beberapa manusia yang baru saja menyelesaikam rutinitas harian mereka. Aku menyandarkan kepala dijendela, merasakan getaran mesin mobil yang membawaku pulang dari tempatku berkuliah.
Aku berharap sakit kepalaku segera hilang. Tekanan dari tugas-tugas kuliah membuat kepalaku ingin meledak. Namun aku hanya bisa menunduk. Aku sudah terbiasa menunduk hingga lupa menikmati langit yang mulai memerah.
Ibu kota sore ini cukup ramah, tak terlalu gerah, tak banyak suara klakson dari pengemudi yang hobi marah-marah. Aku melirik ke arah langit tempat kawanan burung melintas. Aku sampai lupa bagaimana cara menikmati suasana ini seperti dahulu. Dulu senja pernah indah seindah janji-janji yang berujung menjadi sumpah serapah.
Lama melamu aku mengangkat kepalaku dan menengok ke arah depan. Mobil anguktan umum yang aku naiki sudah sepi hanya ada satu pemuda yang duduk tepat di belakang bangku si pengemudi yang asyik berbincang tentang sepak bola dengan pak supir.
"Kiri, bang." Ucapku.
Mobil angkutan itu perlahan berhenti dan menepi disisi pembatas jalan. Tempat tukang nasi goreng yang baru saja ingin membuka warungnya. Kemudian aku melangkah menuju rumah indekosku yang terletak tidak jauh dari jalan raya. Rasa pusing di kepalaku mulai meredah, aku tak sabar mengguyur seluruh badanku yang berkeringat dengan air dingin.
***
Malam datang. Sehabis mandi aku keluar dari kamar melihat sudah ada beberapa teman-temanku yang berdiskusi tentang tugas kuliah hari ini. Aku hanya keluar berniat ingin membeli santapan malam, aku baru ingat sedari siang perutku tak tersentuh apapun.
Aku keluar menuju warung nasi goreng langgananku.
"Bang satu ya, seperti biasa telurnya di dadar."
"Siap bang Bim." Jawabnya sambil menaruh tangannya di pelipis.
Aku mengecek kembali ponselku dan melihat beberapa pesan singkat yang tak pernah terbalaskan. Aku sudah mengirimkan lebih dari 50 pesan kepada Nara namun tak satupun dia membalasnya. Aku hanya menghela nafas panjang berpikir postif, mungkin dia sedang sibuk-sibuknya mengerjakan tugas kuliah.
Aku mengalihkan nomor Nara dengan nomor bunda. Aku berniat menelpon bunda.
"Halo Bun? Gimana kabarnya?" Ucapku
"Alhamdulillah Bunda baik-baik saja Bima. Kamu disana bagaimana nak?" Jawab bunda dari sebrang sana.
"Bima disini baik-baik saja bun."
"Bagaimana tugas-tugas kuliah kamu? ada yang menyulitkan tidak?"
"Ada beberapa bunda."
"Tetap semangat ya sayang. Jangan lupa ibadah dan jangan lupa makan. Bunda enggak mau kamu sakit disana. Ohiya? sudah bertemu dengan Nara belum? Bagaimana keadaannya?"
Bunda menjatuhkan pertanyaan bertubi-tubi. Namun ada pertanyaannya yang tak bisa aku jawab.
"Sudah bunda, Nara baik-baik saja." Kataku bebohong.
Jujur saja. Sudah tiga tahun disini tapi aku belum juga bertemu dengan Nara. Entah apa yang ia lakukan sekarang. Beberapa pesan tak pernah ia balas. Dan telfon dari ku tak pernah dia angkat. Sampai-sampai aku hampir lupa kalau aku punya sahabat kecil yang bernama Nara.
***
Aku kembali ke kamar indekosku dengan perut yang sudah terisi. Aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur, mataku sekilas melihat amplop besar berwarna coklat yang berisi naskah tulisanku yang akan segera diterbitkan.
"Ra, aku sudah bisa menerbitkan tulisanku. Tapi kenapa perasaanku tak karuan seperti ini ya. Aku tak yakin bisa menginspirasi banyak orang dalam tulisanku, kalau bukan karena....."
gumamku sambil menatap amplop berisi naskah bukuku yang siap terbit.Bersamaan dengan gumamku terdengar suara seseorang memanggil dari luar.
tok tok tokkk
"Bim. Bimaa..." suara dari luar
"Iya sebentar." aku beranjak dari kasur dan membuka pintu.
"Iya gas ada apa?" kataku membuka pintu.
"Aku pinjam laptop boleh?" kata seorang teman yang tinggal di samping kamarku.
"Boleh. Laptopmu kenapa Gas?" ucapku sambil mempersilahkan masuk
"Biasa laptop tua, suka eror." ujar Bagas.
"Lembiru aja."
"Lembiru? Emang kalo laptop di lem bisa bagus ya Bim?"
"Maksudnya "Lempar Beli Baru", Gas." aku tertawa sembari memberikannya laptopku.
"Aellah boro boro beli laptop. Makan nasi goreng di depan aja masih ngutang aku sama abang itu."
Aku tertawa.
"Ohiya, gimana naskahmu? kapan bukunya mulai di cetak?" ucap Bagas tiba-tiba.
"Pertengahan minggu ini Gas." jawabku singkat.
"Alhamdulillah temanku satu ini akhirnya jadi penulis."
"Jangan berlebihan begitu. Ini bukan apa-apa, kalau bukan karna seseorang aku enggak akan bisa nerbitkan naskah ini."
"Siapa Bim? pacarmu ya?
"A..aahh, sudah sudah jangan di pikir."
"Yasudah aku ke kamar dulu ya. Makasih buat laptopnya Bim aku pinjam dulu." katanya sambil keluar dari kamarku.
Aku hanya mengangkat jari jempolku kepadanya. Aku menutup pintu dan kembali dengan perasaan yang sedang gundah. Aku rebahkan lagi tubuhku dan memandangi lagi naskah yang akan dibukukan tiga hari dari sekarang.
Aku membalikkan badan, memejamkan mata, dan tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang
Cerita PendekKau masih lagu-lagu yang sering aku nyanyikan. Kau bukan hanya orang yang ingin aku bagi ketika aku mendapat kebahagiaan. Kau adalah momen-momen bahagiaan yang pernah aku bayangkan. Kau masih doa-doa yang sering aku panjatkan. Mata yang ingin aku t...