Menjadi OSIS tentu saja sangat melelahkan apalagi saat menjadi mentor Masa Orientasi Sekolah calon peserta didik baru. Belum lagi jika yang diMOS lebih sering membantah daripada menuruti perkataan para OSIS. Dengan almamater per-angkatan para OSIS itu berdiri memanjang berhadapan dengan para peserta MOS. Hanya mengandalkan muka tegas sudah bisa membuat para peserta menunduk enggan menatap OSIS.
"Lo jadi mentor kelompok tiga, gue kelompok satu," kata salah satu anggota OSIS.
Gadis itu mengangguk dan berjalan menuju kelompok tiga. Memperhatikan satu persatu anggota kelompok. Sebelum menyuarakan suaranya, "Perkenalkan nama gue Karissa Arabella, gue yang akan jadi mentor kalian. Dan dalam waktu 3 menit kalian harus menentukan siapa ketua kelompoknya." Perkataan yang sontak saja langsung membuat anggota kelompok itu berembuk menentukan ketua kelompoknya.
Meninggalkan kelompok tiga, gadis itu kembali berjalan menuju ketua OSIS. "Gue udah suruh mereka buat nentuin ketua kelompoknya. Selanjutnya apa?" Menjadi OSIS baru membuatnya sedikit bingung untuk melangkah.
"Kasih pasal OSIS seluruh Indonesia," jawabnya diselingi kekehan kecil.
"Oke," jawab Karissa, kembali menuju kelompok tiga, "Gimana? Udah ditentuin ketua kelompok kalian?"
"Sudah, Kak..." Jawab mereka serempak.
"Siapa ketuanya?"
"Saya, Kak." Salah seorang anak laki menunjuk tangannya.
"Nama lo siapa?"
"Beni, Kak."
Karissa mengangguk, "Gue mau kalian nurut dengan semua omongan OSIS baik itu gue atau OSIS lainnya. Gue nggak mau denger ada omongan dari OSIS lain tentang kelompoknya tiga ini. Kalo salah satu dari kalian melakukan kesalahan maka kalian semua juga kena hukuman. Kenapa? Karena kalian itu kelompok, kalian harus tunjukkin solidaritas kalian."
"Dan lo, Beni." Tunjuk Karissa pada Beni, " Lo yang megang tanggung jawab kelompok ini, pastiin kalo semua anggota kelompok lo bawa peralatan yang disuruh. Atau lo yang bakal dapet hukuman."
"Kalian semua paham?" Tanya Karissa memastikan.
"Pahammm, Kak."
"Mana suaranya? Gue nggak denger, udah pada makan belum, sih? Lemes banget!"
"Kar," seseorang tiba-tiba menepuk pundak Karissa yang membuat gadis itu menoleh, "ini ada satu anggota kelompok lo yang baru dateng."
Mata Karissa langsung tertuju pada seorang anak laki bertubuh jangkung di sebelah Irene. "Dia..."
Ucapan Irene terputus oleh Karissa, "oke, Ren. Thanks," setelah kepergian Irene perhatian Karissa tertuju sepenuhnya pada cowok yang berada di hadapannya.
"Kenapa baru dateng?"
Diem, kepala cowok itu bahkan menunduk.
Karissa melihat jam yang ada di tangannya, "lo telat satu jam. Ngapain aja di rumah? Luluran dulu sebelum ke sini? Kasih gue alasan yang jelas supaya lo bisa gabung di kelompok."
Karissa menunggu dengan tangan terlipat di dada. Hingga lima menit lamanya cowok itupun tidak mengeluarkan suara.
"Siapa nama lo?"
"Gavriil, Kak." Jawaban itu bukan dari orang yang ditanya oleh Karissa melainkan dari salah satu anggota kelompok tiga. "Yang gue tanya dia bukan lo."
"Gue itu nanya sama lo bukan sama patung," terlihat gurat kekesalan pada wajah Karissa. "Lo nggak punya mulut? Atau budek? Tuli?"
Masih tidak ada jawaban.
"Jawab! Tuhan nyiptain lo mulut buat apa kalo bukan buat ngomong?"
"Kak..." Panggilan itu malah membuat kekesalan Karissa meningkat. "Diam! Gue nggak ngomong sama lo!" Bentakan itu membuat kini semua mata terpusat pada kelompok tiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Just Words
Teen FictionHari pertama menjadi mentor Masa Orientasi Siswa Karissa malah menyakiti hati seorang siswa dengan perkataan yang keluar dari mulutnya tanpa sengaja. Rasa bersalahnya pada Gavriil--seorang penyandang tuna wicara--membuatnya berusaha mendapatkan maaf...