Pacaran itu pada prosesnya terbagi dua yaitu;
1. Pacarannya becanda, ujungnya serius (baca: nikah)
2. Pacarannya serius, ujungnya becanda (baca: putus)Pada kasusku, nomor 2 yang berlaku. Diseriusin, disayang, diniatkan tiba di pernikahan lah ujungnya sampai pertengkaran. Siapa yang pernah menyangka sepupu yang dipercaya nggak lebih dari parasit. Numpang sedot darahku. Gila, ya, penyebaran pelakor itu.
Lebih gila lagi pada takdir. Ketika senang mendapat sokongan bulan depan dan dapat kenalanーyang tampaknyaーmenyenangkan, aku harus berpapasan dengan mantan bejad. Mau move on jadi terhalang.
"Odie," panggil Irfan si mantan bejad.
Aku diam. Malas menyahut. Tolong catat, nggak semua ciwik siap mental baja dan hati platina sewaktu bertemu mantan bejad. B.E.J.A.D.
"Odie," panggil Irfan lagi. Aku masih bertahan pada sikap diamku.
Ini posisinya menjepit banget. Aku dan Keita ditahan persis di depan muka oleh Irfan. Mau mengelak pura-pura nggak dengar pun gagal.
"Sorry, Odie is busy now. We have to catch a meeting very soon," cetus Keita tiba-tiba.
Irfan seperti baru menyadari keberadaan Keita. Dan aku, jangan tanya, menyeringai lebar. Keita tetap lempeng. Bergaya super serius menatap Irfan. Ini cowok pintar juga menilai situasi, sekaligus handal berakting.
"Sorry," gumam Irfan. Dia menepikan diri, memberi ruang bagi kami melanjutkan perjalanan.
Langkahku mendadak ringan. Oye, oye, muka Irfan dongkol berat saat aku dan Keita pergi. Biarin. Syukurin. Meski aku senang berhasil menghindari Irfan, hatiku masih menjeritkan luka. Penghianatan nggak semudah itu terlupakan.
"Kei, aku nggak mau ke Starbucks," ucapku saat kami di eskalator turun.
"As your wish," balas Keita cepat. "Saya antar maukah? Dimana rumah kamu?"
Wetdeh, baru kenal mau langsung antar? Nggak salah?
Kilas-kilas headline koran lampu kuning, lampu merah, dan lampu hijau bertebaran dalam benak. Jangan sampai namaku yang berikutnya muncul. Aku mengingat kasus ciwik yang berkenalan dengan cowok lewat FB lalu nggak pulang selama sekian hari. Begitu kembali, kondisinya sudah nggak sama. Kata Mama Fenita, mamanya Kilau Odelia dan suaminya Papa Syarif Hidayatullah, aku nggak boleh sembarangan membagikan informasi pribadi pada orang yang baru dikenal. Mengantar ke rumah termasuk dalam informasi pribadi.
Baik, aku sudah memutuskan. "Aku naik grab aja. Kamu nggak perlu mengantar aku."
"Begitu?" Keita tampak terkejut sedetik. Dia mungkin menyangka aku akan oke pada tawarannya. Eis, aku ini Kilau Odie ciwik paling jaga gengsi dan keamanan pribadi.
"Santai. Aku bisa jaga diri," jawabku jumawa.
Kami terus berjalan sampai di lobi FX. Pemandangan pertama dari situasi luar yang tembus kaca mol ialah hujan. Hujan berangin yang menutup pemandangan. Wanjay, cuaca pun berkonspirasi menjatuhkan diriku. Aku menengok ke samping dan mendapati Keita sibuk pada ponselnya.
Calm, selain grab motor masih ada grab mobil. Semua aman. Kemudian aku menyesali pemikiran segalanya aman. Sinyal ponselku hilang. Benar-benar hilang, lenyap, nggak bersisa. Provider payah. Baru hujan badai sedikit saja hilang ketangguhan. Mana jargon sinyal kuat sepanjang hayat?
"Kamu pulang mau?" Keita mendadak sudah berdiri di sisiku. Ponselnya tenggelam dalam saku celana.
"Mau tapi..." aku menunjuk pemandangan di luar mol, "hujan."
Keita menengok ke arah yang kutunjuk, lalu membeokan 'a' sembari mengangguk. Dari samping, tulang rahang wajahnya bagus juga. Berkebalikan kalau tampak depan. Wajah Keita dari samping terlihat dewasa dan lakik banget karena potongan rahangnya. Kalau dari depan, kesannya muda dan kekanakan. Memang jangan sembarangan menilai orang pada pertemuan pertama. Bisa saja banyak sisi yang baru diketahui belakangan.
"Kamu berrsama saya pulang mau?"
Tawaran pulang bareng di kala hujan memang menggiurkan. Cuma gimana gitu dengan ketetapan hati yang aku niatkan beberapa detik lalu.
"Mobil datang jemput. Pulang?" Tanya Keita kacau balau.
Aku menggeleng lemah. Tawarannya bagus, sekaligus mengandung unsur nggak tertebak. Kebaikan orang yang baru dikenal kurang dari setengah jam nggak boleh asal diterima. Ingat, aku sudah memercayakan hati pada pria yang aku percaya sejak masih unyu dan hasilnya minus seratus.
"Are you sure? Ini ada dabai," kata Keita lagi.
"Badai, Kei," koreksiku dengan santai. Keita meringis lucu atas kesalahannya. Aku terkikik kecil. Dia sama sekali nggak tersinggung dikoreksi olehku. Kalau begini, aku jadi menduga dia tipe pelajar sejati. Dikoreksi kapanpun, dimanapun, dan siapapun nggak akan membuat dia berkecil hati.
"Aku akan nunggu hujannya reda. Kamu pulang saja. Aku baik-baik saja," kataku mantap sambil tersenyum. Keita tersenyum membalas. Dia meninggalkanku saat ponselnya berdering. Aku memerhatikan Keita yang berjalan menjauh dengan ponsel menempel di telinga.
Aku tersenyum kecil. Yang aku lakukan setelahnya adalah apa yang sepatutnya aku lakukan. Ambil ponsel, buka setelan, lalu uninstall aplikasi ArrowDarling. Bye, Strangers!
***
Tahu apa yang paling salah dari sotoy?
Itu adalah waktu aku menolak tawaran Keita untuk mengantar pulang, lalu terjebak bersama segelas kopi di Starbucks. Sendirian. Harap-harap cemas kapan hujan reda, berapa argo taksi, bagaimana respons orang rumah, dan kabar hatiku. Kemudian tersadar jam sudah merapat ke angka sepuluh.
"Selamat ya, Mbak Kilau." Gito datang membawa cengiran konyol yang membuatku merinding.
"Apanya yang selamat?" Tanyaku agak kesal. Jumlah surat yang masuk dan barang yang diterima kantor luar biasa banyak. Entah serangan dari mana sampai teritorialku digembur invoice barang masuk dan telepon berdering.
"Kata Mbak Frankie, Mbak Kilau sudah menemukan Beljiw. Eciye, Jepang lagi," goda Gito.
OB satu ini memang sering lupa diri. Tanggung jawabnya selain menyediakan minum dan ruang meeting adalah membantu tetek bengek pekerjaanku. Dia malah baru menampak diri dengan membawa kabar maha tak penting. Ketahuan banget, Gito sibuk menggosip di pantri. Narasumbernya pun ketahuan, Frankie. Kabar ini akan menyebar secara ekstrem ke penjuru kantor. Aku tersenyum lemah menebak godaan apalagi yang akan aku terima.
"Nggak usah sibuk ngurusin kehidupan saya," sentakku menutupi malu. "Ini antar ke HR," aku menunjuk dua tumpuk dus yang berisi folder. "Lalu yang itu ke finance," giliran tumpukan surat yang aku angkat ke tangan Gito.
"Banyak ya, Mbak," ucap Gito dengan polosnya.
"Masih ada lagi di sana." Aku menunjuk pada pintu masuk. Seorang pria datang sambil mendorong troli pengangkut barang. Di atas troli itu ada enam atau tujuh dus.
"Banyak sekali," rintih Gito.
Aku pun menjeritkan yang sama dalam hati. Banyak sekali!
###
01/02/2019
Hoii...
Siapa yang rencana bolos kerja dan sekolah di hari Senin depan?
Gw pengen banget tapi terhalang fakta masih jadi cungpret 😭
Oke, buat yg baca cerita ini... tolong ingat yes, yg nulis senang holidei ngetik sesukanya hahaha
KAMU SEDANG MEMBACA
Gabble
ChickLitLulus kuliah, nyari kerja, pacaran, umur 25 tahun menikah. Sempurna! Kilau Odelia menata rencana hidupnya se-mainstream itu. Dia nggak butuh hidup muluk nemu cowok level hawt mampus yang bisa bikin wanita menggelepar. Atau anak milyuner minyak asal...