04. What Should I do?

636 92 2
                                    

"Kau bisa memasak?" Yuki menopang dagunya sembari menatap tak yakin pada pemuda di hadapannya.

Beberapa menit yang lalu mereka memutuskan untuk memasak sarapan bersama. Namun, saat mereka sampai di dapur, pemuda itu berkata; "aku akan memasak hari ini" -membuat Yuki jadi gugup. Bisakah?

William mengangguk tak yakin. Pemuda itu menatap bahan makanan di atas meja lalu berganti menatap Yuki yang sedang duduk di depan meja makan. Ini sebagai rasa terimakasih. Kau harus bisa, tuan asing. "Aku hanya lupa ingatan, bukan berarti aku tidak bisa masak, bukan?" -semoga saja bisa.

"Henh..." Yuki ragu. "Baiklah." Jawabnya pasrah. "Apa yang ingin kau masak?"

Pemuda itu tampak menimbang-nimbang mengenai apa yang harus ia masak. Bahan yang mereka punya ada kentang, daging, wortel, brokoli dan rookworst. Tiba-tiba saja, pemuda itu tersenyum. "Bagaimana kalau stamppot?"

Alis tebal Yuki menukik ke bawah, gadis itu berpikir sejenak. "Ku rasa itu ide bagus. Tolong buatkan yang enak!" Seru Yuki bersemangat.

"Oke! Serahkan pada ku!" Balas William tak kalas bersemangat.

.
.
.

Alley James duduk di hadapan Foster -adik sepupu dari kepala Negara tempatnya tinggal saat ini. Wanita itu berdecih mengabaikan tatapan tajam setajam pedang yang bisa membelah apa saja -Di lontarkan Foster padanya.

Tempatnya duduk dan pria paruh baya laknat itu, hanya berbataskan meja kayu selebar setengah meter. Rasanya, Alley ingin melompat mencekik atau membenturkan kepala bedebah itu hingga hancur. Itu bisa di lakukannya dengan mudah kalau saja Sean tidak berada di sisinya.

Alley terkejut, wanita itu bingung. Ia tidak tahu kenapa si bresngsek Sean ada di sini. Satu yang terpikirkan oleh otak cerdasnya; Sean pengkhianat. Bodohnya, ia tak menyadari hal itu. Sialan!

"Bangsat, kau pengkhianat!" Seru Alley menahan amarahnya yang sudah hampir melampaui batas. Ia memandang rekan seperjuangannya -Sean- dengan tatapan persis seperti tatapan Foster. "Berapa lama kau bekerja pada bedebah ini, Brengsek! Aku akan memukul mu hingga hancur!"

Sean melirik Alley dengan wajah datar, jika di tilik lebih dalam, pria itu terlihat sedih, walau nyatanya pria itu pandai menyembunyikannya, melipat ekspresi itu dan menyembunyikannya entah di mana.

"Aku tidak punya waktu untuk berdebat dengan mu, comrade Alley." Ucap Sean dingin. Pria itu mengambil sepasang borgol, memasangkannya pada kaki dan tangan Alley. "Jika kau ingin hidup lebih lama, belajarlah mengontrol cara bicara mu dan beradaptasilah untuk tinggal di sini."

"Comrade?" Alley mendongak, tertawa sinis mendengar ucapan Sean. "Pengkhianat seperti mu tidak pantas memanggil ku comrade." Balas Alley pedas. "Lebih baik aku mati, dari pada tinggal di tempat bedebah ini."

"Kau tidak perlu khawatir, saat kau sudah tidak di butuhkan, aku akan mencincang mu dengan tangan ku sendiri." Untuk pertama kali, Foster mengeluarkan suaranya.

Alley berganti, menatap Foster dengan tatapan membunuh. Wanita itu membusungkan dadanya, meludahi wajah Foster. "Sebelum itu terjadi, aku yang akan mencincang mu lebih dulu!" Serunya lantang.

"Kau..." Foster menggeram. Ia merasa terhina ketika seorang wanita meludahi wajahnya. Wajah pria paruh baya itu memerah, tangannya hendak melayang menampar Alley, namun suara Sean menyela.

"Wanita ini milik saya. Sesuai perjanjian, anda tidak di perbolehkan menyentuhnya, tuan."

Foster mati-matian berusaha menahan emosinya. Pria itu hanya mampu mengepal jemarinya erat-erat. "Terserah kau saja. Urus wanita itu dan ajari dia sopan santun. Jangan biarkan dia kabur. Kunci keberhasilan kita ada padanya."

.
.
.

Sean mendorong kursi roda yang di duduki oleh Alley menuju ke ruang tahanan, pria itu tak ingin mengambil resiko dengan membiarkan Alley berjalan -meskipun dengan kaki tangan terborgol sekalipun- mengingat betapa bahayanya kemapuan wanita itu.

"Kau baik-baik saja?"

Lagi-lagi Alley berdecih. "Menurut mu apa aku terlihat baik-baik saja?"

Hening, keduanya kembali terdiam setelah melakukan percakapan yang cukup singkat.

"Di mana Stefan? Apa kau telah membunuhnya?" Tanya Alley memecah keheningan di antara mereka. Wanita itu tak bisa diam lebih lama lagi saat hati kecilnya memberontak ingin menanyakan tentang atasan sekaligus tunangan yang sangat ia cintai.

"Dia tidak perlu merasa menderita lagi." Balas Sean dingin.

Tubuh Alley tiba-tiba menegang. Wanita itu mendongak menatap Sean, detik selanjutnya tubuhnya bergetar hebat. "Kau! Brengsek! Kau membunuhnya?" Teriak Alley histeris. Wanita itu bahkan meronta mencoba untuk melepaskan diri -tak mempedulikan rasa sakit serta tangan dan kakinya yang berdarah. Hati wanita itu benar-benar hancur. Mengetahui bahwa tunangannya telah meninggal. Cacian, makian masih wanita itu keluarkan, tangisannya semakin menjadi-jadi.

Sean hanya bisa terdiam, pria itu tetap mendorong kursi roda milik Alley. Membiarkan wanita itu menangis selama yang ia mau.

.
.
.

"Bagaimana? Apa rasanya enak?" William harap-harap cemas melihat Yuki mulai menyendokan sarapan yang telah di masaknya. Perasaan pemuda itu sedikit was-was. Apakah dia menyukainya?

Yuki tak segera menjawab, gadis itu hanya diam, mulutnya tak bergerak. Masih mengecap rasa dari masakan William lalu sedetik kemudian, ia mulai mengunyahnya perlahan. "Tidak buruk, ini enak." Balas Yuki dengan senyum tulusnya.

"Benarkah?" Tanya William antusias. Apa berhasil?

"E'm. Kalau tidak percaya, kau boleh mencobanya." Jawab Yuki masih dengan senyum yang membingkai wajahnya.

Tak butuh waktu lama, William segera mengikuti perintah Yuki. Pemuda itu menyendokan makanan ke dalam mulutnya lalu mengecap rasanya. "Oh!" Ia merasa kaget. "Kau benar, tidak buruk!" Pekiknya dengan gembira.

"Sepertinya, kau bisa menjadi seorang chef yang hebat." Yuki kembali berucap dengan tawa kecil. Entah mengapa gadis itu jadi gemas melihat ekspresi William. Persis seperti anak kecil yang merasa senang ketika berhasil melakukan sesuatu.

"Aku akan mencobanya di masa yang akan mendatang." Balas pemuda itu. Ia juga ikut tertawa namun tawanya itu terhenti ketika ia melihat wajah Yuki yang tiba-tiba seperti sedang memikirkan sesuatu. "Yuki, kau kenapa?"

Yuki hanya diam tak menanggapi perkataan William. Sepertinya gadis itu sedang melamun.

"Yuki?"

"Eh?" Yuki tersentak. Gadis itu segera menatap William. "Ada apa?" Tanyanya.

"Apa kau sedang memikirkan sesuatu?"

Yuki tampak berpikir sejenak. Gadis itu kembali teringat dengan perkataan Hannah. Apa yang harus aku lakukan? mengatakannya sekarang?

STEFAN & YUKITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang