BAB 2

10.6K 291 3
                                    

Mata Vivian bergerak ke kiri dan kanan melihat komplek rumah elit ia lihat ini bahwa cukup sunyi, padahal sekarang baru saja pukul empat sore.

"Nona, sudah sampai." Sopir taksi berkata.

"Oh iya, Pak, ini. Makasih." Vivian menyerahkan uang lembar 20 ribu kepada Sopir taksi.

Besar. Mata Vivian menatap rumah besar berarsitektur modern dan enak di pandang.

Bibir Vivian mencebik, hatinya tiba-tiba berat menginjakkan kaki ke halaman rumah pemuda yang sedikit sombong.

Vivian mengernyit kesal, bel yang dibunyikannya belum terjawab sejak tadi. Inilah Vivian tidak suka jika bertamu ke rumah orang, lama merespon.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang di balik pintu terbuka, rumah dari orang sekelas dengan ia dan tentu saja ia juga sangat kenal orang tersebut.

"Ya, ada yang bisa saya bantu untuk Anda, Nona?"

Vivian sejenak memerhatikan seorang pembuka pintu, berciri-ciri pakaian hitam dan putih, tinggi sekitaran 83 atau lebih dan jenis kelamin perempuan dan mata biru terang dan rambut bewarna cokelat gelap. Dari pakaian, secara harfiah tampak pelayan rumah.

Merasa diperhatikan juga, Vivian langsung mengubah gestur tubuh menegak sesopan mungkin.

"Axcel. Apa bisa saya bertemu dengan Axcel?" tanya Vivian santai.

Vivian mengulum bibir dengan kesal, jik bukan karena nilai mata pelajaran kimia yang mengulang 3 kali, ia tidak ingin pergi ke rumah Axcel sekarang ini.

Meski unggul dalam pelajaran fisika dan matematika, namun kelemahan Vivian adalah menganalisis bahan-bahan tentang kimia.

Salah satu kelemahan Vivian York di sekolah adalah rumus-rumus kimia saja yang memang rumit dipelajari. Kelemahan kedua adalah Vivian tidak ingin banyak berpikir meskipun arti nama Vivian adalah pemikir. Vivian tetap tidak ingin memikirkan sesuatu yang tidak penting.

Pelayan itu menatap bingung.

"Axcel. I want meet with Axcel. Me and Excel are school friend."

Perkataan Vivian masih belum terespon. Masih bersabar, Vivian berkata sekali lagi, "Excuse miss, can I meet with Axcel Wijaya?"

Lagi-lagi, pelayan perempuan rumah berdiri di pintu rumah keluarga Wijaya masih belum merespon pertanyaan Vivian. Mata biru dia mulai bergerak melakukan observasi pada penampilan Vivian.

Vivian mendengkus setengah gusar. Ekspresi pelayan dari rumah Axcel seakan-akan melatih kesabaran Vivian.

"Vivian?"

Suara sedikit akrab dikenal Vivian dari rumah tiba-tiba menyahut lalu langkah kaki juga terdengar mengarah ke pintu depan.

Di balik pundak pelayan rumah di pintu itu, Vivian melihat Axcel mundul.

Axcel memandang kepada pelayan perempuan bermata biru, "Rose? Kenapa kau tidak memanggil aku kalau ada Vivian?"

"Maafkan saya, Tuan. Lalu Nona, maafkan atas ketidaksopanan saya yang belum lama bekerja di sini. Tadi, saya sebenarnya sedang berpikir."

Pelayan rumah berkerja sebagai pelayan rumah Axcel menjawab ucapan Vivian dan Axcel bergantian lalu beralih menatap sepenuhnya ke arah Vivian.

"Lupakanlah. Aku sudah tidak mengingatnya juga." Vivian menampilkan senyum segaris, dari dalam hati, Vivian setengah kecewa. Ternyata pelayan perempuan bermata biru tersebut sangat fasih berbahasa Indonesia.

"Rose, sebaiknya kau kembali saja ke dalam dan terima kasih."

Pelayan bermata biru itu mengangguk sopan kepada Axcel dan berkata sopan, "Baiklah Tuan. Saya permisi undur diri."

Behind Forbidden Love | #Vol (1). PPTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang