Tiada penghakiman yang ia terima, bahkan lemparan tatapan itu terkesan lembut, ditambah dengan tarikan sudut bibir mencipta lengkung senyum yang agaknya sedikit membuat wanita itu terenyuh. "Jaga kesehatan, jangan stres, udah ke dokter?"
Barangkali, pertanyaan terakhir itu cukup mengusiknya hingga kini. Belum terpikirkan sama sekali untuk mengunjungi dokter kandungan perihal kehamilannya yang mungkin sudah mau masuk penghujung tiga atau mungkin empat bulan. Kana sendiri tidak paham bagaimana perhitungan usia kehamilannya dengan kondisi perut yang tampak sudah tidak datar lagi itu.
Dulu, dirinya memang tidak pernah menghitung siklus menstruasi setiap bulannya—untuk mengetahui ketepatan dirinya mengalami periode tersebut. Namun, sebagai perempuan, dia paham betul, apalagi terkait fungsi fisiologis tubuhnya sendiri, bahwa menstruasinya mengalami kemunduran lebih dari dua minggu.
Mungkin kelelahan; mungkin, dan mungkin. Masih ada kemungkinan terburuk lainnya, kan, mengapa saat itu siklus menstruasinya belum juga dimulai?
Hingga kala itu dirinya memutuskan untuk melakukan tes sendiri dibanding harus mengunjungi dokter. Sebab Kana pikir, bila hasilnya merupakan sesuatu yang sangat tidak diinginkan, biar dirinya saja yang tahu, kendati pada dasarnya dokter selalu memegang rahasia setiap pasiennya yang merupakan sebuah kode etik profesinya.
Dan tentu saja hasil yang tampak; dua garis merah; keduanya jelas; tak samar di antara salah satunya; yang menandakan adanya kehidupan lain pada organ reproduksinya.
Dirinya sudah memikirkan kehancuran demi kehancuran yang mungkin akan terjadi, bila kehidupan itu terus saja berkembang hingga menjadi adam ataupun hawa. Apabila saja saat itu akalnya sudah benar-benar terputus untuk mengakhiri kehidupan dalam kandungannya; mungkin saat ini dirinya masih bisa melakukan aktivitas seperti biasa; mungkin hubungan dengan kedua orang tua angkatnya masih baik-baik saja; dan mungkin Rayan serta Ayara sudah memiliki kebahagiannya satu sama lain.
Tapi, mungkin hanyalah mungkin; bisa menjadi buruk, atau bahkan semakin memburuk. Keputusan yang diambilnya saat itu sudah menjadi hadiah yang dirasakannya saat ini; dikucilkan, dimusuhi, dan di- dengan konotasi buruk lainnya. Tapi, dia tidak peduli. Menurutnya, merupakan suatu keputusan yang tepat untuk membiarkan nyawa dalam kandungannya tetap berkembang. Dia pikir, hukuman di dunia tidak akan lebih kejam dibanding saat raga dan jiwa sudah terputus, kan?
Maka dari itu, saat ini dia berusaha untuk mencoba menjadi calon ibu yang baik—ah, mungkin lebih tepat sebagai calon-ibu-yang-semestinya; baik dalam segi pemenuhan nutrisi, menghilangkan stressor, atau melakukan pemeriksaan kesehatan untuk memastikan perkembangan kandungannya.
"Tapi, sendirian banget? Sedih kali hidupmu, Kana," dirinya bermonolog sendiri, serta menggelengkan kepala; tersenyum remeh. Toh, dia tidak mungkin juga mengajak Wisnu; di saat pria itu saja belum tahu perihal kandungannya—tidak tahu juga bila Nami sudah memberitahu adiknya atau belum.
Dan apabila Wisnu sudah tahu serta pria itu menyetujui untuk menemani, sepertinya Kana juga tak mau mengambil kesempatan itu; karena dia berpikir bahwa hal yang dilakukannya akan mencoreng nama Rayan sebagai suami sahnya.
Baiklah, sendiri juga tak apa. Sudah terbiasa, kan?
Saat dirinya sudah bersiap meninggalkan unit apartemen, passcode apartemen berbunyi; yang kemudian dilanjutkan dengan dorongan pintu dari arah luar, menampakkan sosok suaminya yang sudah absen dalam pandangan mungkin empat belas hingga lima belas hari, atau lebih dari itu, karena sepertinya memang sudah lebih dari dua minggu.
Pria itu mengenakan pakaian serba hitam dari atas hingga bawah, tak membawa apa pun di kedua tangannya yang bahkan sedari tadi dimasukkan ke dalam saku celana; seperti baru saja keluar mencari udara segar. Tapi, siapa pula yang mencari udara hingga mencapai dua minggu lamanya?
"Oleh-olehnya mana? Masa business trip selama itu nggak sempet jalan-jalan, sih?"
Berharap mendapatkan ketenangan di apartemen untuk merehatkan diri, tetapi Rayan malah langsung diserang oleh istrinya yang tampak ingin bepergian dengan pakaian rapinya serta riasan di wajah. Sebab itu, dirinya hanya melengos masuk dan mengabaikan presensi wanita yang terus saja mengekorinya lewat pandangan, karena sejujurnya Kana merasa ada yang tidak beres dengan raut pria itu, walau pada dasarnya Rayan memang selalu bersikap jutek dengannya.
"Lo sakit?"
Kana ikut masuk ke ruangan, melihat Rayan yang menyeburkan diri dalam lautan kasurnya dan berposisi tengkurap, sedikit memiringkan kepala agar tetap dapat bernapas. Pria itu pun hanya berdeham, tidak memiliki ketertarikan untuk mengobrol atau bahkan mengeluarkan vokal, sebab energinya saat ini benar-benar sedang terkuras tak tersisa.
"Gue bikinin wedang jahe, ya?"
Lagi, pria itu hanya berdeham—lebih kepada tak mendengar apa yang diucapkan oleh Kana. Sakit kepala yang mendera membuatnya dalam batas ambang sadar.
Selanjutnya, tas yang sudah tersampir di bahu itu pun kembali dilepas, ditaruhnya pada sofa di ruang tengah, kemudian menyambangi dapur untuk membuatkan minuman penghangat tubuh.
Dulu, juga seperti ini; selalu. Obat menjadi lini kedua untuk penyembuhan tubuh. Rayan juga sering memintanya untuk membuatkan minuman tersebut apabila habis melembur di kantor. Padahal, dia bisa menyeduh sendiri dengan wedang sasetan. Tapi, katanya, lebih enak langsung dari jahe asli dibanding menyeduh sendiri.
Selesai membuat wedang dan menyisakan pada wadah lain agar dapat dipanaskan kembali, dirinya melangkah menuju kamar Rayan, mendapati pria itu yang sepertinya belum sama sekali bergerak se-inci-pun. Cangkir yang menguar asap tipis pun itu ia taruh di nakas, selanjutnya melangkah lebih dekat untuk memastikan kondisi pria yang baru ia sadari masih menggunakan sandal santainya.
Setelah melepas sandal tersebut, dilihatnya sejenak Rayan yang tidak merespon sedikitpun. Ditariknya pelan bahu Rayan agar berposisi terlentang. "Yan, ayo, jangan tengkurap, nanti nggak bisa napas."
Pria itu sempat mengeluh, terkesan merengek dan tidak mau diganggu. Namun pada akhirnya, dirinya mau untuk berpindah posisi yang lebih nyaman. Selimut yang hanya menutupi kakinya itu pun ditarik oleh Kana hingga mencapai batas leher si pria, lalu sedikit membenarkan susunan bantal yang mungkin saja dalam beberapa jam ke depan akan menyakiti engsel leher.
Sejemang, ditatapnya Rayan yang terlelap, memastikan bahwa kepergiannya sejenak tidak akan mempengaruhi kondisi pria itu. Sebab, jika dalam keadaan sakit, Rayan terkesan manja dan tidak mau ditinggal. Apalagi dirinya selalu 'serba lemah' untuk melakukan sesuatu, hingga dia membutuhkan orang lain di sisinya saat dalam keadaan sakit.
Tapi, dan mungkin, Rayan lebih memilih untuk terlelap dalam jangka waktu yang lama, melihat tak ada tanda keringat dingin pada kulitnya yang mengharuskan Kana tetap berjaga di sampingnya. Maka dari itu, ia memutuskan untuk tidak pamit, keluar dari ruangan dan menarik pintu hingga mencipta sedikit celah. Tak lupa mengambil tas yang ia taruh di sofa, lalu beranjak keluar dari unit apartemen, hendak kembali pada tujuan awal, yaitu memeriksakan kondisi kandungannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelakon Antagonis [Sudah Terbit]
General FictionSemua tak lagi sama, lebur seketika dalam satu kedipan mata. Demi mereka yang kusebut sebagai keluarga dan sahabat, aku rela mengoyak perih luka sendiri. ©astaghiri Sebagian cerita masih ada di wattpad, ya.