[ Bagian 2 : Tugas Rahasia ]

33 1 0
                                    

Pernah di suatu misi, misi pengintaian tentunya, aku menyamar menjadi anggota dari kelompok bawah tanah yang mempunyai rencana untuk menculik orang-orang Librium sebagai propaganda. Pada waktu itu, dengan mata aku sendiri, aku menyaksikan suatu kejadian yang menhantam nuraniku sendiri. Membuat segala apa yang aku percayai tentang kemanusiaan pada para pemberontak bukan hal yang sepatutnya dibela. Mengubah kepercayaanku bahwa para pelanggar ini tidak lain lebih buruk daripada binatang. Bahkan jauh lebih menjijikan daripada babi-babi hutan. Dengan bergemetar takut, namun aku harus paksakan diri agar nampak setuju dengan tindakan mereka, anak-anak tak berdosa dari golongan perlente ini dibakar hidup-hidup, dalam suatu ruangan tertutup yang dipenuhi pelontar api. Mereka menggeliat-geliat meminta tolong, beberapa ada yang berlarian di sepanjang dinding ruangan, serta mereka yang terus menggedor-gedor pintu pasrah. Aku melihat sendiri bagaimana tubuh-tubuh itu mulai menghitam, gosong, dan tak lagi berbentuk. Sementara, orang-orang ini, dengan dalih pembalasan dan penghinaan, tertawa riang sambil merekam penderitaan anak-anak tersebut. Beberapa bahkan merayakannya seakan-akan ini pesta.

Pada saat tersebut, tidak ada lagi belas kasih yang tersisa untuk mereka. Tidak ada satu hal yang harus dibela dari mereka, mereka adalah binatang yang harus dimusnahkan,yang nanti hanya akan menjadi hama bagi masyarakat, yang akan meracuni orang-orang dengan kepercayaan primitif mereka akan dunia damai versi mereka. Orang-orang urban bodoh ini tidak dapat melihat betapa negeri ini sedang dalam keadaan yang lebih baik, dan mereka dengan brutal dan tidak manusiawinya, melakukan hal tersebut demi tercapainya hal bodoh yang mereka cita-citakan? Aku sampai tidak habis pikir. Pada malam itu, aku ingin Baron mengirim regu terbaik, dan tebas kepala mereka di depan gedung Dewan Pagi nanti.

Esok paginya, darah-darah mengalir membasahi jalanan di depan Gedung Dewan Distrik, darah-darah itu berasal dari para pemberontak yang membakar para anak-anak kaum Perlente. Untuk pertama kalinya, aku tidak merasa marah, menangis, sedih atau rasa-rasa kemanusiaan lain pada mereka. Justru, sebuah rasa puas dan penuh gairah, aku rasakan saat kepala-kepala mereka terlepas satu persatu. Semua karena anak-anak itu, semua untuk mereka. Dalam hatiku, apa yang terjadi pada mereka adalah hal yang pantas di terima. Darah harus dibayar darah, dan itu wajib.

Efek dari kejadian pembakaran itu telah menciptakan pandangan baruku tentang para Pemberontak, membuatku semakin semangat dan efektif untuk terus memburu lebih banyak para pemberontak dan kepala-kepala mereka. Ini meningkatkan penyamaranku hingga tidak pernah ada yang mencurigai diriku. Setiap upaya penyerangan ke pemerintahan selalu gagal dan berhasil di tangkap sebelum dimulai. Semua kekuatan yang berpotensi untuk memusnahkan hilang dan musnah, tanpa mereka ketahui bagaimana gerakan rahasia mereka dengan mudahnya diketahui.

Namun, dari semua aktivitas mata-mata amatir yang aku lakukan, satu hal yang selalu membuatku dalam masalah, yaitu para penjaga perbatasan distrik. Jam malam kota menjadi penghambat utamaku, mereka tidak paham saat aku memberikan kartu berhologram gambar mata tersebut, mereka tidak tahu tentang para mata-mata amatir, berbeda dengan para polisi. Mereka sering menghambat jalanku, Aku sempat ingin memakai pistol namun, Baron selalu menghimbauku agar tidak memakai senjata kepada aparatur pemerintah, maka hal dalam hal ini aku harus berimprovisasi, atau menerima saja peringatan yang mereka berikan.

Akan tetapi, improvisasi terkadang tidak menyelesaikan masalah. Seperti yang terjadi padaku sekarang, karena sudah muak dengan alasan-alasan yang terus aku katakan setiap telat dari misi pengintaian, mereka bermain dengan tangannya sendiri. Itu kali pertama tubuh agak rampingku dipukuli hingga lebam di banyak tempat, terutama wajah dan pelipis. Jika saja tindakan mereka itu dilarang undang-undang, tentu aku berhak protes, namun sudah jelas tertera di kitab undang-undang bahwa mereka berhak membuat wajah siapapun berdarah-darah karena melanggar peraturan, termasuk wajahku. Maka aku tidak bisa berbuat banyak, apalagi memakai senjata akan membuat status mata-mata amatirku akan dicabut. Malam hari itu, 30 menit setelah jam malam di dengungkan di penjuru distrik dan setelah para opas penjaga gerbang puas menghajarku sebagai bentuk hukuman represif teringan saat ini, aku berjalan bagai pemabuk yang dirampok sekelompok gelandangan liar di jalanan.

Pandanganku agak buram dan kepala berdenyut-denyut, rasa nyeri berpusat di pelipis kanan dan ada dua jalur darah mengalir hingga dibawah rahang. Mereka benar-benar membuatku harus beristirahat lama karena ini. Aku berharap tidak ada yang melihatku dalam kondisi mengenaskan ini, namun secara tidak sengaja aku bertemu dengan Tuan Muzam yang terkejut saat melihat kondisiku di balkon. Dia tidak segera menanyakan alasan kenapa wajahku bonyok, akan tetapi dia segera menyiapkan satu kantung es. Aku terkejut saat benda yang kemarin dikabarkan krisis itu kini ada di genggaman tanganku.

Aku lanjutkan langkah untuk ke lantai tiga, dimana apartemenku berada setelah berterima kasih kepada Tuan Muzam atas es yang dia beri. Sebelum sempat menyentuh tangga pertama, Tuan Muzam menanyakan sesuatu padaku, " Aku tidak menyangka, masih ada orang yang saling memukul satu sama lain, siapa yang memukulimu?"

Jelas dari pernyataannya, Tuan Muzam jarang pergi keluar dari apartemennya. Sebenarnya, pemukulan dan pembunuhan karena hal-hal sepele sudah sering terlihat di jalanan. Darah-darah mereka sudah bisa bercecaran di sekitaran gang. Aku tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya terjadi padaku, ini terlalu berbahaya untuk diriku maupun dirinya, tidak ada jalan lain kecuali berimprovisasi-kau boleh juga menyebutnya berbohong, lagi pula itu sama menurutku. " Bukan apa-apa, hanya kumpulan remaja berandalan yang suka mengganggu ketrentaman orang lain, mereka ingin merampok sesuatu dariku."

Kedua alis lawan bicaraku yang tebal ini saling bertaut, wajah gelap tersebut nampak terkejut dan mendadak berubah khawatir " Oh, benarkah? Apa mereka mengambil sesuatu yang penting darimu?"

" Tidak, hanya beberapa lembar bit, itupun sisa kembalian ku dari bar di perbatasan distrik, sepenuhnya aku baik-baik saja, hanya luka..ashhh..ini saja." Aku menunjuk ke pelipis, arah dimana luka itu berada. Darah sudah cukup kering, dan aku rasa es ini akan meredakan rasa ngilunya sebentar.

" Syukurlah, kau masih bisa kembali dalam keadaan yang tidak terlalu buruk, berhati-hatilah, aku dengar mereka bahkan tega menikam seseorang demi sebotol anggur murahan, sebisa mungkin kau harus bisa menjaga diri. Jangan biarkan esnya mencair, atau itu tidak akan bekerja secara maksimal." Ia tersenyum sampai kumis tipisnya iku melengkung.

Aku memeriksa kantong es ini, beberapa air mulai menetes ke lantai. " Baiklah, untuk kedua kalinya terima kasih atas esnya, ini akan sangat membantu."

Perjalanan melelahkan karena berurusan dengan para opas sudah berlalu, kini aku sudah berdiri di depan pintu kamar apartemen dengan dinding kusam dan berbau jamur. Pintu yang terbuat dari kayu murahan dan di cat dengan cat kualitas buruk ini terkadang macet dengan sendirinya saat aku buka, seperti di waktu yang tidak beruntung seperti sekarang. Aku terus berusaha memutar-mutar lubang kunci agar pintu bisa terbuka, terkadang membutuhkan tenaga ekstra untuk melakukannya. Mungkin karena terlalu lelah dan sakit, pintu ini tidak kunjung terbuka. Aku merasa kesal, dan kutendang pintu ini beberapa kali namun tidak juga menunjukkan hasil yang mumpuni. Rasa sakit dipelipis semakin menjadi-jadi, aku hanya menyender tubuh di balik pintu. Hingga seseorang di seberang kamarku menyadari ada yang tidak beres dengan tetangganya.

Tentang Ursulanda | dan bagaimana kami memenangkannya [ TAMAT ] [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang