1506, tahun pertama pemerintahan Raja baru Joseon.
Permaisuri itu menatap kosong pelataran eksekusi Kerajaan Joseon yang jaraknya masih 10 meter. Langkahnya terasa berat, namun sarat ketegaran. Tepat di belakangnya, ia diapit 2 baris prajurit bersenjata dengan atribut lengkap. Ia sang Ratu Joseon, yang dielukan sebagai lambang kecantikan dan keagungan Korea, harus berakhir hidupnya dengan sangat tragis di atas tanah kekuasaan suaminya.
Dituntun kasar oleh dua orang prajurit yang dulunya adalah penjaga setia sang ratu, tubuh wanita itu berdiri tegak di atas pelataran eksekusi, menjadi pusat dan tontonan seluruh rakyat Hanyang. Tangis, jeritan histeris, permohonan pengampunan untuk ratu mereka yang dilontarkan seluruh penjuru Hanyang, membuat dadanya semakin sesak. Matanya yang sembab tak lagi mampu memproduksi air mata, meski setetes.
"Astaga, malangnya dia."
"Dulu dia seorang ratu."
"Ratu?"
"Belum sampai 10 hari dia menjadi ratu."
"Astaga, lihatlah dia."
"Dia sungguh kasihan."
***
"Ayah.. ayah! Ayah.."
"Ibu, bangun bu, tidak! kalian tidak bisa.."
Gadis itu menangis histeris melihat keadaan kedua orangtuanya yang terbujur kaku diatas lapangan utama kerajaan yang panas. Ia menggoyang-goyangkan, menampar, bahkan berusaha membuat dua tubuh yang telah mati itu berdiri. Namun, sia-sia. Besi runcing panah yang tertancap di leher sang ibu, pedang tajam yang melintang di tubuh sang ayah, seakan menjadi jawaban atas segalanya. Orangtuanya telah mati, mereka tak akan bisa berdiri lagi.
***
Permaisuri itu berjalan anggun, sangat pelan sesuai tata krama perempuan kerajaan. Tangannya yang terlipat rapi di depan perut, langkahnya yang gemetar namun tetap menyiratkan aura keanggunan. Manik coklat terangnya meredup ketika menangkap sosok di depan, seorang lelaki yang pernah sangat ia cintai, duduk dengan sorot mata sama rapuhnya seperti sang istri. Raja Negeri Korea, Penguasa Joseon.
Langkah itu berhenti dua meter di depan kursi singgasana.
"Moo Ra.." Sang raja sontak berdiri dan berjalan menuruni tangga dengan langkah tergesa. Ia menghambur, memenjarakan tubuh sang istri, menghirup aroma itu sebanyak-banyaknya seperti kebutuhan oksigen. Dua insan terluka itu berbagi kehangatan, semu. Sang istri mengeratkan pelukannya.
Air mata permaisuri menetes. Tangan kanannya yang memegang sebuah belati perak perlahan terangkat menuju leher suaminya. Matanya tertutup, sekali lagi airmatanya tumpah. Tangan lemah itu gemetaran, satu ayunan diambil oleh wanita itu sebelum sebuah tangan kokoh menangkap punggung tangannya. Raja menyadarinya, ia ketahuan. Tangan itu dipaksa turun. Pelukan mereka terlepas. Cinta mereka terkelupas. Butiran air mata terjatuh dari manik kelam sang suami. Wajahnya mengeras.
"Seharusnya aku membunuhmu.." permaisuri mengucapkannya setengah berbisik bercampur tangis pilu, disambut sorot tak percaya suaminya.
***
"Melaksanakan eksekusi Ratu Shin yang digulingkan." Titah kepala algojo.
Permaisuri menatap lemah lautan manusia dibawahnya. Mereka semua menunduk, berduka, tak ingin menyaksikan pembunuhan sadis yang melibatkan ratu mereka.
Permaisuri mendongak ke langit, menatap perih kumpulan burung gagak hitam yang seakan turut berduka atas kematiannya.
"Jika dilahirkan kembali, aku tak mau bertemu denganmu lagi.. Yang Mulia."
Dan sedetik kemudian, sebuah sarung putih membungkus kepala sang ratu. Alam menjadi saksi kematian Ratu Joseon.
***